Di jam istirahat, Juanita langsung menculik Eritha begitu saja. Arlando menebak, wanita itu pasti sedang mengajaknya berkeliling sambil membuatnya lelah seharian ini dengan tur keliling sekolahnya. Astaga, memiliki ketu kelas yang terlalu bersemangat juga adalah bencana tersendiri.
Arlando yang terpaksa harus menunda keinginannya untuk berbicara dengan siswa baru itu pun, memilih untuk bermain basket untuk menghabiskan waktu luangnya. Apalagi sekarang di depannya sudah berdiri Eric Philip yang sangat gila basket, hingga membuat siapapun kelelahan dengan semangatnya yang berapi-api. Pria ini sangat mirip dengan Juanita, hanya mereka menggunakan metode yang berbeda untuk melelahkan sekitarnya.
"Aku akan beristirahat," ujarnya sambil melemparkan bola yang ada di tangannya ke arah pria tersebut dan pergi meninggalkannya bermain seorang diri.
"Baiklah."
Lantaran kekurangan cairan tubuh, Arlando berjalan menuju kantin. Namun tak ia sangka, ia secara kebetulan melihat Eritha yang sedang membelakanginya selagi berdiri di depan kantin.
Ingin memastikan kalau ia tidak salah melihat, Arlando memanggil nama wanita itu. "Eritha."
Wanita itu pun menoleh ke kanan dan ke kiri, sebelum akhirnya dia berbalik dan menemukannya.
Lucunya, wanita itu tidak menunjukkan tanda-tanda bersahabat ketika melihat dirinya. Dia justru mendelik dan menatapnya dengan kaku.
Lalu dengan sikapnya yang pengertian, Arlando pun mencoba untuk mengerti dengan rasa asing yang mungkin dirasakan wanita itu karena dia baru saja pindah kemari.
"Aku mencarimu. Ternyata kau ada di sini?"
Melihat wajah waspadanya, Arlando mencoba untuk menjelaskan identitasnya yang mungkin akan membuat wanita itu menurunkan sedikit pertahanannya.
"Ah, sepertinya aku belum memperkenalkan diri." Dengan gayanya yang sangat sombong, ia menyisir ke atas rambutnya yang basah dan memperkenalkan dirinya. "Namaku Arlando. Kau pasti tidak lupa kalau kita satu kelas, bukan?"
Wanita itu tidak menjawab, dan setiap kali ia berjalan maju, Eritha akan mengambil satu langkah mundur yang hanya akan membuat jarak mereka tidak berkurang.
Tak hanya itu, anehnya ketika dia melihat wajah Arlando, anehnya wanita pindahan itu justru menutup mulutnya dan mengangkat tangan untuk menghentikannya berjalan mendekatinya.
"Ada apa?" tanya Arlando yang sedikit khawatir melihat wanita itu tampak pucat, ditambah kini dia memegang lututnya dan menumpukan tubuh bagian atasnya pada lengannya yang kurus.
Apakah dia sakit?
"Nanti kuganti." Dengan sangat lancang, Arlando merebut minuman dari temannya yang masih disegel, lalu bermaksud untuk memberikannya pada wanita itu.
Namun di saat ia ingin memberikannya, wanita itu berdiri jauh-jauh dan berlari pergi.
Tak hanya dirinya yang dibuat bingung dengan tingkah wanita itu, temannya yang berdiri di sampingnya itu juga menatap wanita tersebut dengan wajah heran.
"Apa yang dia lakukan?" gumamnya yang merasa bahwa mungkin dirinya-lah yang tidak mengerti wanita.
Namun dengan menggelengkan kepala, temannya menyatakan bahwa dia juga sepaham dengannya dan tidak mengerti kenapa wanita tersebut bertingkah seperti itu. "Entahlah."
Lantaran ia tak membutuhkan minuman temannya lagi, ia pun mengembalikan botol minum yang sudah ia curi itu kepada temannya. "Ini minumanmu. Aku tidak jadi memintanya."
Lalu sambil membuka botol minuman tersebut dan menghabiskannya, dia mengajukan beberapa pertanyaan.
"Omong-omong, siapa dia? Aku belum pernah melihat wajahnya."
Berbeda dengan Arlando yang tidak mempedulikan sekitar, teman yang saat ini ada di sampingnya itu adalah orang yang suka mengamati sekitar dengan sangat rinci.
Sehingga setiap kali ada orang baru, dia akan langsung menyadarinya.
"Dia siswa baru di kelasku." jawabnya singkat yang membuat pria itu mengangguk percaya diri lantaran tebakannya yang tepat.
"Pantas saja, aku belum melihatnya." Lalu pria itu terganggu oleh hal lain yang membuatnya melirik ke arah Arlando dengan sorot mata menyelidik. "Lalu kenapa kau mengikutinya? Apakah dia berutang padamu?"
"Siapa yang mengikutinya? Aku tidak merasa mengikuti wanita itu," ujarnya merasa tersinggung pada kata-kata temannya yang seolah dia sedang mengejar seorang wanita.
Namun bukannya berhenti, orang tersebut justru terus mengusiknya dan bersikeras dengan dugaannya yang melukai harga diri Arlando. "Aku melihat kalau kau sedang mengejarnya. Apakah kau mencoba untuk menebarkan pesona mu?"
Dengan mendengus sombong, Arlando membual mengenai dirinya. "Untuk apa aku menebarkan pesona? Tanpa aku melakukan apapun, dia pasti akan jatuh dalam pesonaku."
Lalu sambil terkekeh, temannya menyerah padanya, atau lebih tepatnya mengalah pada Arlando. "Baiklah. Namun kenapa kau mendatanginya? Tidak seperti kau biasanya."
"Itu karna ..." Arlando merogoh kantong celananya dan menyadari kalau ponsel wanita itu tidak ada di saku celananya. "Kemana aku menyimpannya?"
Temannya ikut menjadi panik dan menatap sakunya seolah dia memiliki mata laser yang dapat membantunya mencari ponselnya yang hilang. Ralat, maksudnya adalah ponsel wanita itu yang hilang.
"Apa? Apa yang hilang?" tanyanya yang sedari tadi terus mencari tanpa tahu benda apa yang hilang.
"Ponsel. Ponselnya tidak ada," jawabnya sambil mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia melihatnya dan di mana ia menyimpannya.
"Eh," Dengan raut wajah kesal temannya menunjuk kantong celananya yang dari luar membuat bentuk ponselnya. "Bukankah ini dia ponselmu."
"Memang," kini ia yang giliran merasa kesal. "Sejak dari tadi aku juga tahu kalau ini ponselku."
"Lalu kenapa kau masih mencarinya?" tanya lagi temannya yang sedari tadi gagal paham dengan apa yang Arlando lakukan.
"Karena bukan ponselku yang hilang," ujarnya dengan sedikit frustasi, lantaran pusing mencari benda tersebut.
Temannya kini semakin bingung dan memiringkan kepalanya. "Lalu ponsel siapa?"
Sambil menunjuk ke arah Eritha pergi, Arlando menyebutkan pemilik ponsel yang ia hilangkan, "Milik wanita tadi. Punya siswwa pindahan itu."
"Eh?!" Mata temannya terbuka lebar-lebar, "Bagaimana kau bisa mempunyai ponselnya? Kau tidak mencurinya, kan?"
Dengan menghela napas, Arlando memperingatkan imajinasi kawannya yang terlalu berlebihan. "Kau pikir aku tipe orang yang akan mengambil barang milik orang lain?"
"Tidak," tegas temannya. "Coba ingat-ingat di mana kau menyimpannya terakhir kali.
Arlando mengurutkan ketika ia datang ke sekolah dan keluar dari ruang kesiswaan. Seingatnya ia menyimpannya di ... Ah!
"Aku menyimpannya di kantong jaketku." serunya tiba-tiba.
"Lalu di mana jaketmu?"
"Di dalam tasku."
Bersama-sama mereka menghela napas lega, lantaran mendadak mereka senam jantung bersama.
Lalu dengan pertanyaan yang masih belum terjawab, temannya menuntutnya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang masih membuatnya penasaran itu.
"Kau belum menjawabnya. Katakan padaku, bagaimana kau bisa menyimpan ponselnya?"
"Kemarin sepulang sekolah tanpa sengaja kami bertabrakan dan dia menjatuhkan ponselnya. Dia masih belum masuk saat itu dan menggunakan pakaian bebas, jadi aku menyimpan ponsel itu lantaran aku tidak mengenal pemilik ponselnya. Namun begitu tadi pagi dia memperkenalkan diri dan aku mengenalinya, aku ingin mengembalikan ponsel ini padanya. Hanya seperti yang kau lihat tadi, dia langsung kabur begitu aku datang."
"Wah, aku hampir mengira ini cerita novel," ujar temannya yang tampak takjub dengan kisahnya. "Bukankah itu artinya kalian 'ditakdirkan' bertemu? Tinggal satu kali pertemuan tak terduga lagi, kalian akan jadi 'berjodoh'. Coba diingat kembali, mungkin kalian sudah pernah bertemu sebelumnya."
Tak hanya temannya, Arlando pun sempat menyimpulkan kalau ini adalah 'takdir'. Namun setelah dipikirkan ulang, ia sadar kalau ia bukan orang yang percaya dengan hal semacam takdir atau apalah itu namanya.
"Hentikan. Aku? Berjodoh dengannya?" jawabnya dengan nada sedikit merendahkan.
"Memang ada apa dengannya? Wajahnya tidak buruk," sahut temannya yang lansung mendapat desisan dari Arlando.
"Jangan bicara omong kosong." Lalu ia melanjutkan tujuannya untuk pergi ke kantin. "Aku lelah. Aku ingin membeli minum."
...****************...
Kriiinngg ...Suara telepon yang berdering di ruang kerjanya berbunyi sangat keras, hingga tanpa istrinya perlu berteriak memberitahunya, Ayah Eritha sudah mengangkat telepon itu dan menempelkan gagang teleponnya di telinga."Halo.""Halo."Terdengar suara atasannya dari ujung telepon tersebut. "Bagaimana kabarmu? Kau sudah melihat bagaimana kantormu di sana?"Meskipun itu bukan panggilan video, Ayah Eritha mengangguk dan menjawabnya dengan suara yang terdengar sangat bersyukur. "Ya. Aku sudah melihat kantornya. Terimakasih sudah mengirimkanku kemari, pak.""Apa maksudmu? Aku sangat menyesal mengirim seorang yang kompeten sepertimu ke sana." terdengar suara atasannya yang tampak tidak senang dengan ucapan terimakasih darinya, "Kenapa kau harus pergi ke sana? Padahal aku sudah menyediakan jabatan yang sangat tinggi untukmu? Kau tahu, jabatan pimpinan cabang tidak akan ada apa-apanya dibanding menjabat sebagai direktur di kantor pusat."
Eritha berangkat ke sekolah dengan seluruh energi yang meluruh dari dirinya. Semalam ia tak bisa tidur. Ia tak bisa berhenti memikirkan bagaimana kejadian besok. Meskipun hari kemarin ia bisa menghindari pria yang bernama Arlando itu, tapi ia sadar bahwa ia tak bisa melakukan itu selamanya. Terlebih mereka teman sekelas, pasti ada banyak hal yang harus dilakukan teman sekelas, walaupun tidak dekat satu sama lain.Itu belum lagi dengan adanya kemungkinan pria lain. Bagaimanapun laki-laki tampan tak hanya ada satu di sekolah sebesar itu. Pasti ada beberapa.Bagaimana jika ia bertemu dengan beberapa sekaligus dan menunjukkan tanda-tanda trauma?Padahal ia ingin merahasiakan hal itu di sekolahnya yang baru.Pikiran demi pikiran membuat terlalu kalut pada masalahnya. Hingga ketika ia tersadar, ia melihat bahwa gerbang sekolah yang sangat ingin dihindari olehnya ternyata sudah ada di depan mata.Di dalam hati ia mulai memikir-mikirkan h
Arlando tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.Sesaat yang lalu ia masih sibuk bermain basket di pagi hari bersama temannya Eric. Pertandingan individu mereka sangat ketat dan di tengah bermain, mendadak temannya kehilangan fokus lantaran ada seorang wanita yang berjalan cepat dengan gerak-gerik yang mencurigakan."Eritha," panggil Eric yang membuat Arlandi terkejut lantaran tidak menyangka wanita yang berjalan aneh itu adalah siswa baru yang sedang dipuji oleh para pria dengan kecantikannya.Meskipun namanya dipanggil, wanita itu hanya terdiam memaku, tanpa memalingkan wajah ke arah Eric. Hingga pria itu pun kembali memanggil namanya untuk kedua kali.""Eritha."Lalu perlahan wanita itu pun menoleh dan ternyata dia memang benar-benar si siswa pindahan.Kenapa dia tindak sangat aneh?Meskipun Arlando sudah melihat keanehannya di depan kantin hari itu, tapi ia tetap tak bisa terbiasa dengan ke-antikannya.
Seolah kepalanya dipukul oleh benda keras, Eritha merasakan kepalanya pusing dan berat. Ia membuka matanya, sebelum dengan perlahan ia bangkit duduk di ranjang berwarna putih polos tersebut. Di mana dirinya?Aroma obat-obatan dan alkohol masuk ke dalam hidungnya, hingga ia pun tersadar bahwa ia sedang berada di UKS. Terlebih walaupun ia belum pernah melihat isi dalam UKS sekolahnya yang baru, ia sudah seharusnya tahu dimana ia sekarang. Karena jika dipikirkan matang-matang dengan kepala yang jernih, mana ada ruangan di dalam sekolah yang mempunyai ranjang selain UKS?Lalu dengan merintih samar ia menurunkan kakinya untuk berjalan meninggalkan bilik tempatnya berbaring. Namun sebelum kakinya menyentuh lantai, dari luar tirai, tiba-tiba muncul seorang pria —yang memakai jubah putih dokter—, mendatanginya.Ah, dia pasti dokter UKS."Kau baik-baik saja?" tanya dokter tersebut padanya yang ia jawab dengan anggukan kepala."Ya, aku baik-baik
Arlando menatap kesal punggung guru wali kelasnya yang sekarang sedang menulis di depan kelas.Beberapa menit yang lalu, ia sengaja mencari-cari alasan untuk keluar kelas agar dapat menemui Eritha di ruang UKS. Jika ada yang berkata kalau ia melakukannya lantaran cemas, yah bisa dibilang begitu, tapi juga bisa dibilang tidak.Bagaimana ia mengatakannya ya? Ia hanya sedikit tertarik dengan wanita itu lantaran kondisi pertemuan mereka yang selalu tidak terduga. Pertama, mereka bertabrakan di depan sekolah. Kemudian, yang kedua mereka mereka bertemu di kelas dan mereka ternyata teman sekelas. Pertemuan ketiga adalah ketika mereka berbicara di depan kantin dan Eritha melarikan diri. Yang terakhir, wanita itu pingsan tiga kali di depannya. Wah, bagaimana ia bisa mengabaikan empat peristiwa aneh tersebut?Jadi dengan secuil ketertarikannya, ia pun bermaksud melihat kondisinya. Tepat di saat itu, ketika ia hendak medatanginya dan melihat keadaannya, Eritha
Awalnya tak ada yang terasa berbeda dengan sekolahnya hari itu. Seperti biasa Juanita berangkat pagi-pagi dan begitu sampai di ruangannya, seluruh ruang kelas dipenuhi suara riuh teman-temannya yang saling mengobrol satu sama lain. Meskipun ia seorang ketua kelas, Juanita tidak melewatkan jam pagi itu untuk mengobrol bersama Eritha dan Eric. Kami bertiga berbicara dengan asik, walaupun percakapan mereka terkadang bisa terdengar membosankan.Namun nuansa yang sangat biasa itu, mendadak terganggu oleh sikap aneh Arlando yang Juanita rasakan pagi itu. Pria yang selalu datang dengan menimbulkan suara berisik —lantaran sikap mudah bergaulnya yang dengan sangat mudah meraih rasa antusias 'pengikutnya'—, hari itu anehnya masuk ke dalam kelas dengan suara yang hening. Teman-teman serta para wanita yang terus merecokinya, tiba-tiba mengekorinya dengan wajah yang murung.Lalu tanpa menghiraukan orang-orang tersebut, dia duduk di kursinya dan menaruh kepal
Setelah paginya yang sangat romantis, Eritha harus menerima tatapan pahit dari banyak wanita.Baiklah, ia memang pernah mendengar dari beberapa orang yang mengatakan bahwa Arlando adalah seorang idola sekolah. Meskipun menurut sumber informasinya, Arlando hanya memiliki wajah sebagai modalnya. Namun parasnya yang rupawan itu mampu menyihir para wanita sehingga tergila-gila padanya. Begitu pula dengan Eritha yang selalu dibuat mual dan pusing setiap kali dia mendekat.Hanya tetap saja, perang mental ini terlalu berlebihan untuknya. Bagaimana ia harus bertahan ketika dalam hitungan detik ia dibenci tidak hanya segelintir siswa, tapi banyak siswa sekaligus?Terlebih dari semua hal kenapa ia hanya dapat memberikan alasan tak masuk akal tersebut? Alih-alih menulis konflik yang lebih masuk akal?Kini dengan kata-katanya, ia terjerat oleh para penggemarnya dan juga Arlando yang menetapkan kalau hari ini adalah hari pertama mereka.Mengap
Kejadian pagi tadi sungguh tidak terduga. Arlando bahkan tidak pernah merancangkan dirinya untuk menjadi pria romantis satu sekolah, yang menyatakan perasaannya di tengah orang banyak. Namun setelah mencobanya, Arlando merasakan keseruan dalam hubungan palsu tersebut. Arlando mengakui bahwa dirinyalah yang mencari masalah pertama. Ia tahu, ketika Juanita terus menginterogasi masalah di antara mereka, Eritha sangat ingin menutup pembicaraan mereka lantaran dia merasa malu dengan muntahnya kemarin. Oleh sebab itu, beberapa kali Eritha terus menampik dan memberi alasan masuk akal untuk menghentikan Juanita. Namun seperti yang ia tahu, Juanita adalah tipe ketua kelas yang cukup merepotkan. Rasa tanggung jawabnya itu yang menjadi masalahnya dan dia menjadi sangat menyebalkan. Hingga hanya Juanita seorang di antara para ketua kelas lain, yang memasuki urusan orang lain semacam ini dengan memposisikan dirinya sebagai 'hakim' lantaran jabatannya sebagai ketua kel