'Siapa yang pernah menyangka?' itulah kata yang tepat untuk semua situasi yang dihadapi Sheryn pagi ini.
Di saat ia ingin menyudutkan Eritha dan menekannya, wanita yang belum genap pindah seminggu itu justru yang jadi menyudutkannya dan menghancurkan pertahanan teman-temannya.
Lalu dalam kondisi yang memalukan tersebut, Arlando datang!
Pria itu tampak ingin menyelamatkan Eritha, tapi —seperti yang dia lihat— Eritha cukup baik-baik saja untuk ditolong. Sedangkan Sheryn, ia sudah terlalu lemah untuk dilawan Arlando.
Namun kebingungan yang dirasakan pria itu hanya bertahan sesaat, lantaran kondisi mendesak lainnya datang. Guru disiplin yang sesekali berkeliling untuk memastikan kondisi sekolah tertib, hari itu mendapati pertengkaran yang Sheryn mulai. Sehingga dalam hitungan detik, semua penonton bubar. Lalu dengan tidak disangka olehnya, Eritha mendorong Sheryn ke pelukan Arlando dan berlari seorang diri.
Hingga, setelah
"Kau baik-baik saja?" tanya Juanita sambil menatapnya lekat-lekat."Tenang, aku baik-baik saja. Namun hanya saja jantungku kini yang sedang tidak baik-baik saja," keluhnya atas perbuatan Juanita yang benar-benar tak terduga. "Aku benar-benar sangat terkejut saat mendengar kalau guru disiplin akan datang. Hingga aku berlari gugup karena kukira aku akan mendapat masalah besar jika sampai tertangkap. Namun siapa sangka itu adalah ulahmu. Bagaimana kau bisa menjadikan sesuatu yang mengerikan itu sebagai bahan candaan? Bahkan aku tidak bisa tertawa meskipun sudah mendengarnya darimu."Eric dan Juanita pun tersenyum dalam rasa bersalah."Maafkan aku. Kupikir dengan membubarkan semua orang, aku bisa membantumu," Jelas Juanita yang tidak dapat sepenuhnya ia pahami. "Lagipula kukira dengan membuat sedikit keributan, aku bisa menciptakan sedikit adegan romantis dan kalian bisa berlari sambil bergandengan tangan bersama."Selagi mengernyit, Eritha menatap dua temannya d
Tak pernah ia duga, mendapatkan nilai yang bagus akan jadi semenarik ini. Pagi tadi, ketika ia kira akan mendapatkan teguran dari gurunya, Arlando justru diberi sebuah hadiah oleh Bu Via. Dengan dirinya yang mendapat peringkat terburuk dan 'kekasih'nya yang mempunyai nilai tertinggi, guru wali kelasnya berharap Eritha dapat menaikkan sedikit nilai Arlando. Tentu sebagai 'kekasih'nya, Eritha tidak bisa menolak permintaan gurunya dan kini dengan berdiri dua meter dihadapannya, wanita itu mengajaknya untuk memulai pembelajaran bersama. "Ayo kita ke perpustakaan," ujarnya dengan senyum yang dipaksakan, lantaran semua temannya sedang melihat mereka. Nyaris Arlando menjatuhkan buku yang hendak ia masukkan ke dalam tas, karena tak percaya dengan yang ia dengar. Ia kira, Eritha hanya meng-iyakannya di depan guru dan tidak menepati janjinya. Namun dia ternyata bukan wanita yang sangat konsisten dengan ucapannya, Arlando menyukai sikapnya.
Seperti orang bodoh, Eritha berlari begitu melihat senyuman Arlando. Hingga ketika ia sudah berada di jarak yang cukup jauh dari pria itu, ia memegang dadanya yang berdebar tidak karuan. "Ada apa denganmu?" Tangan Eritha menyentuh dadanya dan ia bergumam sendiri bak orang tidak waras. "Kenapa aku merasa seperti ini padahal sudah menjaga jarak dua meter. Astaga, sampai gila rasanya." "Eritha." Terdengar kembali suara Arlando yang membuatnya harus segera meneruskan pelariannya dan bergegas menuju tempat teraman bagi dirinya. Glek. "Eritha, kaukah itu? Kenapa pulang terlambat?" Senyum ibunya mendadak berubah menjadi kekhawatiran ketika dia melihat putrinya banjir keringat. "Ada apa denganmu? Kenapa kau berkeringat sebanyak ini?" "Tidak apa-apa," ujar Eritha sambil menggelengkan kepalanya. Lalu mencoba menenangkan ibunya dengan senyuman lebar yang menampakkan kalau dirinya baik-baik saja. "Aku hanya ingin berolah raga saj
"Eritha, cepat keluar dan ayo kita segera sarapan. Sebentar lagi kau akan terlambat."Begitulah gambaran pagi harinya yang diwarnai dengan teriakan ibunya."Ya. Aku keluar sekarang," teriak Eritha yang masih terpaku memandangi pantulan dirinya —yang terdiam tanpa ekspresi— di depan cermin. Lalu setelah mengamati lebih lama, akhirnya ia membuka pintu dan menapakkan kakinya keluar dari kamar."Aku akan pergi sekarang," ujar Eritha pada ibunya yang tampak sangat sibuk berjalan bolak-balik antara dapur dan ruang makan."Kenapa terburu-buru? Ayo, kita sarapan bersama," bujuk ibunya yang berusaha menahannya lebih lama."Iya, ayah dapat mengantarkanmu ke sekolah." Ayahnya yang sibuk membantu ibunya, kini menguatkan pendapat ibunya dan menawarkannya tawaran yang cukup menarik.Namun dengan rasa bersalah, Eritha menolak tawaran kedua orang tuanya dan mencangklong tas punggungnya selagi berjalan keluar, menuju sepatu hitamnya yang su
"Kau mau kemana?" tanya teman satu kamarnya, ketika melihat Eritha tidak segera mengenakan seragam untuk masuk sekolah.Selagi memamerkan pakaian bebasnya, Eritha menunjukkan hari liburnya lantaran sudah mengantongi ijin dari kedua orang tuanya. "Pagi ini orang tuaku meminta ijin pada guru untuk memperbolehkan aku meninggalkan kelas dan asrama. Katanya mereka ingin mengatakan hal yang penting padaku.""Benarkah?" sahut temannya yang tampak sangat iri. "Andai orang tuaku juga memiliki hal yang ingin dibicarakan denganku."Mereka pun terkekeh bersama."Omong-omong, apa yang ingin orang tuaku bicarakan ya?" tanyanya penasaran lantaran tidak biasa orang tuanya akan memanggilnya seperti itu untuk hanya mengobrol hal yang biasa.Pembicaraan kali ini pasti sangat penting sehingga mereka mengijinkannya tidak hadir dalam kelas."Kuharap itu bukan kabar buruk," ujar temannya yang seolah sedang menyuarakan harapannya."Benar."
Pemandangan macam apa ini?Di pagi hari yang masih tergolong cerah, seorang wanita duduk di pinggir lapangan sambil menatap kosong ke arah depan. Wanita itu tidak lain adalah Eritha Yessie yang baru-baru ini membuatnya merasa geram."Hei, Eritha." Dengan berlaku seolah ramah, Nora menyisir lembut rambut Eritha dengan jemarinya dan menjambaknya rambut wanita itu untuk sedikit mengintimidasi dirinya. "Apa yang kau lakukan di sini?"Anehnya, wanita itu sama sekali tidak bergerak ataupun melawan, hingga ia sedikit menggerakkan tangannya yang mencengkram erat rambut panjang Eritha. "Jawab aku."Namun Eritha bersikap terlalu tenang, bahkan tidak menunjukkan perlawanan seperti yang bisa dia lakukan."Tinggalkan aku kali ini. Kumohon," jawabnya dengan masih sibuk melamun dalam pikirannya.Tidak suka diacuhkan begitu saja, Nora membuat masalah lain dengan melemparkan uang ke tanah. "Belikan aku roti."Namun Eritha bukan siswi biasa, dia tidak
Kepindahan orang tua Erita adalah sebuah peristia yang tidak terelakkan. Erita tahu betapa ia seharusnya bersyukur dan mendukung ayahnya dalam promosi yang didapatkannya. Atas dasar pemikiran tersebut, Eritha memilih untuk menjadi pihak yang mengerti orang tuanya, setelah selama ini orang tuanya yang terus-menerus mencoba mengerti dan juga selalu memahami dirinya.Dengan berbicara empat mata, ia menyatakan kesediaannya untuk pindah dan sebelum ia merubah pikirannya, ayahnya segera memproses kepindahannya. Sehingga hanya berselang beberapa hari setelah pengambilan keputusannya yang sangat besar tersebut, ia beserta keluarganya sudah siap untuk pindah ke tempat baru yang tentu sudah dipersiapkan dengan sangat baik oleh ayahnya.Pindahan yang ada di bayangannya Eritha, ternyata sangat berbeda dalam kenyataannya. Ia kira, ia akan mengemasi beberapa hal dan orang tuanya harus menyewa angkutan untuk membawa sejumlah perabotan. Namun kenyataannya sangat bertolak b
Hari pertama sekolah Eritha akhirnya tiba. Mungkin terlalu berlebihan mengatakan bahwa 'ini hari pertamanya sekolah', mengingat sekarang bukan bulan Juli dan dia sudah dibangku kelas tiga. Namun melihat Eritha berangkat ke sekolah setiap hari, setelah selama ini ia selalu mengirimkan putrinya ke sekolah asrama, membuatnya merasa sangat senang.Hingga ia tak bisa menahan rasa antusiasnya dan bangun sangat awal untuk membuatkan bekal bagi putri semata wayangnya."Apa yang ibu lakukan? Sekarang masih terlalu pagi." Eritha mendekatinya sambil menggosok matanya yang masih enggan terbuka."Astaga, maafkan Ibu. Ibu pasti memasak dengan sangat berisik," ujar ibu Eritha dengan wajah yang merasa bersalah.Namun putrinya menggelengkan kepala dan menampik suara berisik yang timbul ketika pisau dapurnya berantukan dengan talenan kayu yang mengalasi sayurannya."Kenapa sudah bangun? Pergilah ke kamarmu dan lanjutkan tidurmu sebentar lagi," peri