Maura berusaha tenang sembari memegang dadanya yang masih bergetar. Ini benar-benar perasaan yang aneh. Kelakuan Maura seperti itu dilihat oleh Rani dan Anaya. Mereka tampak kesal, terutama Anaya. Rani melirik sekilas kepada temannya, sepertinya akan ada permusuhan yang sengit jika melihat dari gelagat gadis yang ada di sampingnya itu. "Sialan! Itu cewek belum juga satu hari udah buat masalah. Kemarin dia buat kita masuk ke BK, sekarang dia malah menggaet calon pacar gue, kurang ajar!" seru Anaya benar-benar kesal.Rani mulai khawatir kalau temannya ini akan emosi. Jika sampai terjadi, bisa-bisa Anaya melabrak Maura dan mungkin berakhir di BK lagi."Nay, gue tahu pasti lo kesel, tapi masalahnya jangan buat masalah dulu, deh," ucap Rani dengan hati-hati, karena dia tahu kalau tabiat Anaya itu mudah sekali tersinggung. Meskipun tampak tenang dari luar, tapi jika sudah tahu Anaya itu bisa menghalalkan segala cara agar semua keinginannya tercapai. Gadis itu menoleh kepada Rani dengan t
"Kenapa? Apa aku tidak bisa seperti Raka dan tidak menguasai bidang itu?" tanya Devan, tiba-tiba saja membuat Lusi benar-benar kaget mendengarnya. Biasanya pria ini begitu tenang menghadapi sesuatu, tetapi baru kali ini dia melihat Devan benar-benar marah seperti sekarang. "Bukan, Mas. Bukan maksudku seperti itu. Cuma, kamu kan di bidang restoran. Sementara aku di penerbitan, jadi menurutku itu beda sekali.""Beda? Apanya yang beda? Lalu, coba kamu cek laporan keuangan buatanku. Benar, kan?" "Iya, aku paham. Laporan keuangannya memang benar, tapi masalahnya untuk hal-hal lain semacam klien dan perihal apa pun yang berkaitan dengan penerbitan juga percetakan itu beda sekali dengan restoran, Mas."Devan diam. Dia menatap Lusi dengan tatapan menyelidik. Ini membuat jantung wanita itu berdetak dengan sangat kencang. Takut, jika pria itu berpikir macam-macam kepadanya. Padahal, niatnya bukan seperti itu. Dia memang sebelumnya berpikir untuk memperkerjakan Raka. Hanya saja karena Devan
Maura hendak membela diri, tapi tiba-tiba saja Anaya memegang pipinya dengan keras, membungkam gadis itu agar tidak berkata apa-apa. "Gue bilang diam! Kalau lo nggak mau hidup lo berantakan di sini, lo harus ikutin kemauan gue."Maura ingin menjawab, tapi tidak bisa. Karena mulutnya sulit sekali untuk digerakkan. "Kecuali kalau lo ingin menderita, ya terus berontak dan seolah-olah lo itu orang yang hebat. Ingat, ya! Ini tawaran dari gue," ucap Anaya. Setelah itu melepaskan cengkraman pada sang gadis dengan keras. Untung saja Maura tidak terjerembab lagi ke lantai. Rani dan Anaya memilih pergi sembari menertawakan wajah Maura yang begitu kesakitan. Maura menatap dua temannya dengan kekesalan penuh. Andaikan saja dia punya kekuatan untuk melawan mereka, mungkin sudah dilakukan dari tadi. Tetapi apalah daya, posisinya hanya sebagai siswa baru. Bahkan tidak ada satu pun teman yang mau mendekat kepadanya. Gadis itu pun memilih untuk pergi ke kantin, takut jika waktunya habis. Kalau ti
"Kamu yakin dengan kata-katamu? Aku melakukan ini karena belas kasihanmu, tidak mau sampai ada korban Devan lagi." Lusi membacanya pun tampak membayangkan. Hati yang berusaha untuk percaya dan tidak begitu saja termakan dengan omongan dari orang yang tak dikenal itu, mulai meragukan kepercayaannya sendiri. Mungkinkah apa yang dikatakan orang di seberang sana itu benar, jika Devan sedang bersama seorang wanita? Dan ini bukan editan seperti yang dipikirkan Lusi. Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, membuat Lusi mulai berpikiran buruk perihal Devan. Arya tersenyum miring melihat Lusi tak membalas pesan darinya. Dia pun melancarkan kembali aksi. Arya memberikan alamat tempat Amanda tinggal, tentu saja ini akan lebih menyenangkan. Makin cepat mereka berpisah, semakin baik untuknya. Dia juga bisa semakin cepat menghancurkan Devan, karena memang sepertinya meluluhlantakan seseorang bukan dari mentalnya, tetapi dari hatinya. Jika hatinya sudah tersakiti, apalagi tentang
"Lus, kenalkan. Dia calon suamiku."Alis Lusi bertaut kencang ketika mendengar Mila memperkenalkan seorang pria di hadapan sebagai calon suaminya. Daging merah di dalam dadanya berdenyut keras mendapati sosok pria yang sedang berdiri mematung di sana.Suara Lusi pun terasa tersekat di tenggorokan. Matanya berubah nanar melihat pria yang hanya diam memandangnya dengan tatapan yang tak dapat ia artikan. Sungguh, ini bagaikan mimpi buruk bagi Lusi.Pijakan Lusi di atas bumi ini seperti berputar dan suara Mila seakan makin menjauh dari pendengaran wanita itu.'Tuhan, jika ini hanya mimpi buruk, tolong biarkan aku terjaga.' Lusi membatin dengan perasaan yang penuh kegundahan."Kamu kenal dia, kan?" tanya Mila. "Dia Mas Raka, suamimu," ucapnya sembari tersenyum. Ia melontarkan kalimat itu tanpa rasa bersalah.Jelas saja Lusi kenal dengan pria itu!Dulu, Lusi akan ikut senang jika Mila tersenyum seperti itu. Karena, dia adalah sahabatnya. Ya, orang yang Lusi sayangi setelah keluarganya. Aka
Lusi kembali menjerit di depan Raka. Akan tetapi, pria itu tetap bergeming.Tatapan Lusi teralihkan pada sahabat yang sekarang sudah menjadi musuhnya. Padahal, dia menyayangi Mila seperti saudara sendiri. Namun, malah air tuba yang Mila balas untuk susu yang telah Lusi berikan.Senyum itu, kini tampak menjijikkan di mata Lusi. Mila masih saja tersenyum walaupun sudah ia hina. Mungkin urat malunya sudah putus sampai Mila dengan bangga mengakui kehamilan hasil dari perselingkuhan. Luar biasa sekali."Untuk kamu! Aku baru tahu kalau kamu ternyata cuma seorang jalang!"Wajah Mila seketika berubah. Ada kemarahan yang mulai terlihat di rautnya. Entah kenapa, itu justru membuat rasa sakit Lusi pelan-pelan tersamarkan."Aku memberimu kepercayaaan, tapi malah disalahgunakan. Aku tidak tahu kalau selama ini kamu hanyalah barang murahan!"Kali ini ekspresi dua orang itu menegang. Mungkin tidak menyangka jika seorang Lusi bisa mengeluarkan kata-kata pedas dan menohok."Kalau memang kamu mau Mas
"Aku brengsek, katakanlah begitu. Tapi, aku terpaksa melakukan ini semua."Lusi tersenyum miring mendengar perkataan pria itu. 'Terpaksa katanya? Mana ada hubungan terpaksa yang menyebabkan wanita sundal itu hamil?' rutuk Lusi dalam hati."Terpaksa yang nikmat, ya, Mas. Kamu sampai menghamili Mila karena keterpaksaanmu."Raka mengerang keras. Dia mengguyar rambutnya dengan kasar, lalu kembali menatap Lusi dengan sendu. Wah, hebat sekali suaminya itu. Dia bisa melakukan akting dengan baik."Makanya, dengarkan aku dulu, Lus. Aku akan jelaskan kenapa sampai Mila hamil. Aku hanya ingin kamu mendengarkan penjelasanku." Suara Raka sangat lirih, sesaat Lusi tersentuh. Tetapi, bayangan Mila yang memeluk mesra lengan Raka membuat iba itu hilang begitu saja."Tidak perlu kamu jelaskan apa pun, Mas. Karena semua sudah terlambat. Tidak ada yang berubah, karena nyatanya kamu harus menikahi Mila."Raka terdiam. Dia masih menatap Lusi sendu. Kali ini sesal menyelinap antara kesedihan di mata Raka. L
"Mas!" Lusi menaikkan nada bicara karena kesal pada Raka. Untuk apa Raka memohon pada Lusi jika tidak mau jujur? Tadi saja memaksanya untuk mendengarkan penjelasan Raka. Tetapi, sekarang? Kenapa dia bungkam? Apakah dia sudah berubah pikiran? Semua pertanyaan itu berputar di benak Lusi. "Kalau kamu tidak jawab pertanyaanku, maka--" "Tiga bulan, Lus." Jawaban Raka seperti petir yang menggelegar di atas kepala Lusi. Menyentak jantung dan meluluh lantak1an persendiannya. Apa katanya? Tiga bulan? Itu artinya saat Lusi mencarikan kontrakan baru untuk Mila dan itu kontrakan milik Lusi. Gila! Bagaimana bisa mereka melakukan pengkhianatan di belakang Lusi semulus ini? Lusi kecolongan sampai akhirnya Mila hamil duluan. "Hahaha. Luar biasa, Mas." Entah apa yang mendorongnya sampai tertawa seperti ini. Tidak ada yang lucu, justru hanya ada kepiluan dan miris akan nasib diri. Lusi menertawakan diri sendiri yang bodoh karena terpedaya oleh dua orang pengkhianat itu. "Tiga bulan? Itu artinya