"Wah, gurame bakar dan sate ayam kesukaan ibu itu. Nah gitu dong, jadi menantu itu yang pengertian. Ada mertua datang disambut dengan baik. Disiapin makanan yang enak-enak, jangan hanya sayur sama sambel aja."Seketika gerakan tanganku saat ingin memasukkan suapan yang ke sekian terhenti saat mendengar suara itu. Terlihat Ibu langsung menghenyakkan tubuhnya di kursi yang ada di sampingku."Mana buat ibu, Ren?" tanya ibu mertua saat aku melanjutkan makan malamku tanpa memperdulikan kehadirannya. Sungguh, sebenarnya aku bukanlah sosok menantu yang begitu buruk. Hanya saja, rasa hormatku pada Ibu juga hilang saat tahu kalau ibu mendukung perselingkuhan putranya. "Rena cuma pesan satu, Bu," jawabku dengan enteng. Kuambil satu tusuk sate, lalu langsung melahapnya. Mendengar penuturanku, secepat kilat Ibu langsung berdiri dari tempat duduknya. Menatapku dengan sorot mata penuh api. "Cuma pesan satu?! Ibu, Mutia dan juga suamimu nggak kamu belikan?"Aku menggelengkan kepala. Memasang rau
Aku mengerjapkan kedua netraku saat sayup-sayup aku mendengar suara adzan yang berkumandang. Sejenak aku merenggangkan otot-otot di tubuhku. Saat aku membalikkan tubuh, ternyata Mas Yoga sudah tertidur di sampingku. Entah jam berapa semalam ia pulang, terlalu nyenyak aku tertidur hingga tak menyadari kepulangannya. Aku pun beranjak dari pembaringan, bergegas berjalan menuju ke arah kamar mandi setelah menyambar handuk yang menggantung di tempatnya. Setelah mandi pun bergegas kuselesaikan ritual mandiku. Aku melipat mukena berikut dengan sajadahnya lalu kuletakkan di tempat semula. Sekilas aku melirik ke arah jarum jam, ternyata sudah menunjukkan pukul hampir lima pagi. Kubangunkan Mas Yoga dan memintanya untuk segera menunaikan sholat dua rakaatnya. Aku berjalan keluar kamar, langkahku langsung tertuju ke arah dapur. Hal yang pertama aku lakukan setiap hari adalah memasak untuk menu sarapan pagi. "Nanti pokoknya bilang saja kalau semua ini hasil masakan kamu. Biar si mand*l itu n
Saat aku ingin beranjak dari tepi ranjang, tiba-tiba sebelah kakiku merasakan ada sesuatu yang kuinjak. Dan ternyata benar saja, dompet Mas Yoga terjatuh di bawahnya. Dengan sedikit berjongkok, aku pun meraih benda persegi berwarna hitam itu. Niat hati ingin meletakkan dompet milik Mas yoga di atas nakas, akan tetapi entah kenapa hati kecilku meminta agar membuka benda persegi berlipat itu. Sejenak aku melirikkan kedua netraku ke arah Mas Yoga. Tentu untuk memastikan kalau lelaki itu masih terlelap dalam tidurnya. Setelahnya aku pun lantas membuka benda berlipat itu.Sesuatu yang langsung tertangkap dalam pandanganku adalah lembaran-lembaran merah yang berjejer dengan rapi di dalam sana. Tanganku beralih pada bagian tempat penyimpanan kartu. Mengernyitlah dahiku saat melihat ada dua buah kartu Atm dari bank yang berbeda. Aku mengeluarkan dua kartu tersebut, menatapnya dengan perasaan penuh tanya. Sebab seingatku, Mas Yoga hanya memegang satu kartu dari bank B*a, akan tetapi di dala
Aku melangkah menuju ke meja makan saat sayup-sayup aku mendengar denting sendok yang mulai beradu."Sarapan dulu, Mbak," ucap Mutia yang sepertinya sedang berusaha sok manis padaku. "Iya, makasih," jawabku. Lantas aku pun menghenyakkan tubuhku di kursi yang biasa aku tempati saat makan. Saat kedua netraku menyusuri isi meja, di sana hanya terhidang satu mangkok kecil yang berisi dua potong ayam. Mangkok yang berbeda dengan mangkok yang digunakan oleh Ibu mertua untuk menaruh potongan-potongan ayam yang terbilang banyak itu. Aku yakin, ini adalah ayam yang sudah kutukar tadi. Di samping olahan ayam itu ada piring yang berisi olahan sayur bayam."Kenapa dilihatin aja? Nggak doyan sama masakan ibu?!" ketus Ibu mertua sembari melerikku tak suka. "Makanlah, Ren," ucap Mas Yoga. Lantas aku pun mulai memindahkan secentong nasi ke piringku lalu mengambil satu potong ayam. Sengaja aku tak mengambil sayur bening, sebab aku khawatir jika sayuran itu sudah dibubuhkan serbuk pencahar perut.
Beberapa kali Mas Yoga keluar masuk ke kamar mandi, ada rasa kasihan sebenarnya, akan tetapi lebih baik mereka lah yang merasakan sakit perut daripada aku yang terkena jebakan mereka. "Ren, kamu ada obat mules? Perutku rasanya seperti dikuras habis-habisan. Baru juga keluar, ini rasanya udah melilit lagi," ucap Mas Yoga dengan wajah pucatnya. "Nggak ada, Mas. Mau aku belikan?" "Boleh. Buruan ya. Mas udah nggak tahan."Belum sempat aku bangkit dari tempat dudukku, Mas Yoga pun langsung berlari kembali masuk ke dalam kamar mandi. Aku pun bergegas keluar dari kamar. Saat baru saja sampai di ruang tamu, tiba-tiba suara ibu memanggilku. "Ren, kamu baik-baik saja?" tanya Ibu yang disampingnya berdiri seorang Mutia. "Seperti yang ibu lihat, Rena baik-baik saja," ucapku sesantai mungkin. Dua orang perempuan beda usia itu lantas saling berpandangan. Saling melempar pertanyaan melalui sorot matanya. "Rena mau belikan Mas Yoga obat sakit perut, Bu. Rena pergi dulu." "Eh, tunggu!""Kenapa
Pov Yoga**"Mas, kapan kamu akan mengatakan semuanya pada Mbak Rena kalau kamu akan menikahiku secara resmi?" tanya Mutiara yang saat ini sedang menemuiku di rumah makan milikku. Aku mengusap tengkuk leherku. Meskipun tanggal yang sudah kami sepakati untuk melangsungkan acara pernikahan sudah semakin dekat, aku tak kunjung mendapatkan keberanian untuk mengatakannya pada Rena– istriku. Novita Mutiara Absari– sosok perempuan yang merupakan cinta pertamaku. Sosok perempuan yang membuatku mengenal artinya cinta. Sosok perempuan yang sempat terpisah karena takdir yang tak berpihak pada kami. Ya, bertahun-tahun aku menjalin hubungan dengan Mutiara. Bahkan sejak sekolah SMA, hingga suatu ketika Mutiara dijodohkan oleh kedua orangtuanya dengan sosok lelaki kaya yang ternyata tak mampu membahagiakan Mutiara. Jangankan membahagiakan, lelaki tak bisa memperlakukan Mutia dengan selayaknya. Dia sosok lelaki yang kasar, perhitungan dan tempramental. Aku tahu semuanya. Dan Mutia lah yang mence
"Sayang!" "Eh, iya. Maaf ...." Panggilan dari Mutia mampu membuatku terkesiap. Suara itu mampu membuyarkan lamunan atas kejadian beberapa tahun yang lalu. "Jadi kapan kamu akan bicara sama istri kamu? Aku nggak mau lagi menunggu terlalu lama," ucap Mutia sembari wajah yang terlihat kusut. "Sebanarnya kita bisa menikah secepatnya, tapi siri." "Aku nggak mau kalau kamu nikahi secara siri, Mas! Kamu gimana sih, kemarin-kemarin kan kamu udah janji secepatnya akan membicarakan hal ini dengan istri tuamu, tapi kenapa sekarang kamu jadi ingkar seperti ini?!" Mutia berucap dengan nada tinggi. Terlihat dengan jelas raut ketidaksukaannya. Aku menghembuskan napas berat. "Kalau kamu tetap seperti ini, sepulang dari sini aku akan mengatakan semuanya pada istrimu itu!" ucap Mutia yang terkesan seperti suatu ancaman. Aku pun segera mencekal tangan Mutia agar tak berdiri dari tempat duduknya. "Iya-iya, Mas janji nanti malam akan mengatakan hal ini pada Rena. Tapi kamu jangan bicara apapun ya
Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Bergegas aku pun memasukkan ponsel itu ke dalam tas kerja milikku, lalu meraih tas tersebut. Aku pun lantas melangkah keluar ruanganku dan menuju ke arah di mana mobilku terparkir.Belasan menit kendaraan roda empatku menyusuri jalanan beraspal, hingga akhirnya kendaraanku masuk ke dalam halaman. Saat baru saja aku keluar dari mobil, tiba-tiba Mutia datang menyambut dan melangkah mendekat ke arahku. Cepat mataku menyusuri ke segala penjuru, takut jika Rena akan melihat kejadian ini. "Mas, jangan lupa kamu hari ini harus bilang sama istri tuamu itu ya," ucap Mutia mengingatkanku atas janji yang kuucapkan tadi padanya. "Kan masih ada waktu sampai besok malam," lirihku. "Ya usahakan malam ini, Mas! Jangan lama-lama, pernikahan kita tinggal menghitung hari!" pekik Mutia sembari melotot ke arahku. "Iya, iya. Nanti akan aku bicarakan dengan Rena. Sekarang kamu masuk, jangan sampai Rena melihat ini," pintaku."Halah, Mas. Orang be