Share

Bab 3

"Lakukan sekali lagi di sini, di depanku!" bentakku.

Kedua makhluk tak beradab di depanku terperangah. Sejurus kemudian, si Jalang tampak memucat, sedangkan Mas Herlan menyorotku tajam penuh amarah. Kutajamkan pandangan ke arah dua manik mata suamiku. Aku melihat kilatan api kemarahan di matanya.

Dia memang suamiku, orang yang mengatakan telah berubah karena diriku, kini menampakkan wujud aslinya. Inikah wujud asli suamiku sebelum menikah?

Lima tahun dia menutup perbuatan amoralnya di depanku. Di balik topeng lemah lembutnya dia mengelabui. Andai aku tak membutakan mata, tak menulikan telinga, tidak mematikan logika atas perbuatan Mas Herlan di masa lalu, aku tidak akan menelan kekecewaan sebesar ini.

Susah payah aku mematikan rasa, mengubur dalam-dalam rasa cinta yang tak bertuan, dan  menyerahkan segenggam hati ini untuk mengabdi padanya yang bernama suami. Apa balasannya?

Sendirian menggenggam bara, berharap kupantikkan di atas pelita, mengubah sisi gelap  hidupku yang hampir tanpa cahaya menjadi terang seiring waktu. Nyatanya, aku kecewa.

Seperti wanita di luar sana yang menyandang predikat istri, aku pun terluka. Peraduan yang menjadi saksi pergumulan kami dalam ikatan halal, kini nampak tak ubahnya kubangan lumpur hina. Aku jijik!

Sejijik apa pun aku memandang mereka yang telah menorehkan setitik noda di atas ranjang pengantinku, aku tidak boleh berbuat di luar logika. Apa tadi, aku menyuruh mereka melakukan perbuatan menjijikkan itu sekali lagi di depanku? 

Aku masih waras.

Tuhan, ampuni aku. Aku juga manusia biasa, di mana sisi gelap dan cahaya bertahta mengisi ruang dalam raga yang hina ini.

Kutatap sekali lagi kedua sosok di hadapanku bergantian. Mas Herlan masih dengan amarahnya, sementara wanita jalang itu masih memaku di tempatnya.

"Pergi kalian!" jeritku.

"Dan kau, sundal! Jangan tampakkan lagi wajah menjijikkanmu di hadapanku!" tunjukku ke wajahnya.

Secepat kilat perempuan itu menyambar tasnya di atas meja rias dan segera berlari ke arah pintu tanpa menghiraukan keberadaan Mas Herlan.

Napasku masih memburu menahan gejolak yang sedari tadi meminta untuk diluapkan. Detik ini aku masih berharap Mas Herlan memohon, meminta untuk dimaafkan. Sakit memang sakit, tapi pernikahan yang telah berjalan selama lima tahun, tidak begitu saja ingin aku putuskan.

Tak menyangka, kata maaf yang aku harapkan keluar sekali lagi dari mulut suamiku, nyatanya sorot tajam penuh kebencian yang aku dapatkan.

"Awas kau, perempuan mandul!" 

Kedua tangan suamiku yang lima tahun mendekapku, memberikan ketenangan saat aku butuh sandaran, memeluk tubuh di malam-malam panjang, mendorong kedua bahuku hingga aku terhempas di atas ranjang. Aku diam melihat suamiku mengejar wanita jalang itu dan membanting pintu.

Ya Allaah, ya Rabb. Akankah Kau takdirkan pernikahanku hanya sampai di sini? 

Kuatkan aku, jadikan sabarku tak berbatas, ya Allaah.

Kubaringankan tubuhku memeluk guling. Kuremas kuat-kuat guling dalam pelukan, berharap bisa meredakan nyeri di dada. Sakit sekali ya Allaah. 

***

"Tak berpikir sekali lagikah untuk menerima Herlan, Ndhuk?" kata Ibu, saat aku memberitahu bahwa aku menerima pinangan Mas Herlan, lebih dari lima tahun yang lalu.

"Setiap orang punya masa lalu, Bu. Icha pun sama. Restui kami agar bisa saling melengkapi. Doakan Icha," kataku sambil menjatuhkan kepala di pangkuan Ibu.

"Ibu mana yang tidak akan merestui pernikahan anaknya, Ndhuk?"

Ibu menarik tubuhku dalam pelukannya. Aku yang meminta restu, kenapa Ibu yang menangis?

Kulonggarkan pelukan Ibu. Ada anak sungai di sana, siap mengalir. 

"Ibu ...?" panggilku mengisyaratkan tanya melalui suara.

Kepala Ibu menengadah, mencoba menghalau bulir bening agar tak lolos. Tangan tuanya menyeka kedua sudut netra.

"Sabar, Ndhuk. Kamu pasti kuat." lirihnya.

Ibu, aku hanya meminta restumu, tapi mengapa justru kau memberikan apa yang tidak aku minta? 

Sabar? Sabar atas apa? Atas takdirku memilih Mas Herlan sebagai suamikukah?

***

Aku tak ingin menjadi wanita lemah di mata para pengkhianat itu. Aku harus kuat, aku harus sabar, seperti pinta Ibu. 

Beranjak dari tempat tidur, kulangkahkan kaki gontai menuju lemari pakaian. Kuambil koper besar di atas nakas. Satu persatu baju yang telah tertata rapi, kumasukkan ke koper. Sesekali, kuusap ujung mata dengan jemari. Cincin pernikahan yang selama lima tahun melekat di jari manis, kulepas lalu kuletakkan di kotak kecil berwarna biru, kuselipkan di antara tumpukan baju suamiku. Aku berjanji, ini adalah terakhir aku menginjakkan kaki di ruang peraduanku dan Mas Herlan. Entah suatu hari takdir akan mempertemukan kami kembali, aku tak bisa menolaknya.

Kurapikan sisa-sisa pergulatan suamiku dan perempuan itu. Aroma parfum itu bahkan masih memenuhi indera penciuman.

Berpisah mungkin bukan pilihan terbaik, tapi pengkhianatan yang nyata terpampang di depan mata juga bukan hal yang bisa aku terima. Aku bisa memaafkan, tapi untuk melanjutkan pernikahan yang sudah tidak sehat, apa aku sanggup? Keyakinanku bahwa semua akan berubah dan baik-baik saja, nyatanya terpatahkan.

Selesai merapikan semua, kusemprot seluruh ruangan dengan pengharum sebanyak-banyaknya. Aku tidak ingin ada jejak wanita itu tertinggal di ruang tidur kami. Sprei dan selimut yang telah ternoda cairan laknat dari pergulatan dua manusia tak berakhlak itu, kubuang begitu saja di kolong tempat tidur. Biarlah Mas Herlan saja yang akan mencucinya.

Aku jijik.

Tidak banyak baju yang aku bawa, hanya beberapa potong yang muat di koper. Peralatan make up kumasukkan ke dalam tas tersendiri beserta charger ponsel. Perhiasan selain cincin pernikahan, kubawa semua karena itu sudah menjadi hakku. Surat tanah dan kendaraan, aku tidak berpikir untuk mengambilnya. Hanya saja, buku rekening bank  atas namaku dan Kartu ATM, aku bawa serta. Lumayan cukup untuk kebutuhanku selama menenangkan diri.

Hati tak rela sebenarnya harus menyerah pada pelakor itu, tapi apa daya janji sudah terucap. Tidak ada konsekuensi selain berpisah bila salah satu di antara kami melakukan perselingkuhan.

Kutarik gagang koper menuju ruang tamu. Aku tak bermaksud pergi hari ini, namun untuk 2-3 hari ke depan, aku perlu menenangkan diri, tidak ingin bertemu muka dulu dengan suamiku.

Di pojokan ruang tamu, koper itu kuletakkan. Kuhempaskan tujuh di sofa sambil membuka gawai. Pada aplikasi hijau, kutambahkan chat pada kontak yang aku beri nama Josh.

[,,,???] send.

Itu adalah kode yang kami sepakati saat aku dan Josh berkomunikasi, baik chat Wa, messenger, atau yang lain.

Centang biru. Josh mengetik ....

[???,,,] 

Aman.

[Would you please to call me Josh?]

[Sure, i can]

Tenggorokanku terasa kering. Aku pun beranjak ke dapur untuk mengambil minum. 

Baru beberapa langkah, aku merasakan kepalaku berat. Kupejamkan mata beberapa saat sambil mencari pegangan. Gawai di tanganku bergetar. Kuangkat tanpa melihat nama si pemanggil.

"Cha!" sapa suara di seberang sana. 

Tubuhku limbung sebelum aku bersuara. Selanjutnya aku tak ingat apa-apa.

***

Kepalaku masih terasa pusing saat aku membuka mata. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan di mana aku terbaring. Wallpaper berbentuk papan catur dengan warna hitam putih mendominasi dinding ruangan. Ini bukan kamarku. Batinku.

Pintu kamar terbuka. Kulihat Josh membawa nampan berisi makanan dan segelas susu. Tersenyum manis dia mendekatiku dan duduk di bibir ranjang. 

"Josh?"

"Makanlah, perutmu perlu diisi."

"Aku di mana?"

"Di rumahku."

"Jadi...?"

"Ya. Kamu pingsan saat aku tiba di rumahmu."

"Josh ...."

Aku ingin mengatakan semua pada Josh, tapi kepalaku masih berdenyut.

"Sudahlah, jangan banyak tanya. Makan dan minum obatnya!" titah Josh.

"Obat?"

"Ya."

"Aku kenapa?"

"Sudah kubilang, jangan banyak tanya. Dokter bilang kamu harus makan dan banyak istirahat."

Kuambil piring berisi makanan dan lauknya dari nampan. Aku makan dengan lahapnya karena sedari pagi belum ada makanan sedikit pun yang masuk ke perutku.

Mendapati tatapan dan senyum aneh Josh, kuhentikan kegiatan makanku.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?"

Josh salah tingkah.

"Eh, itu, nggak papa."

"Katakan Josh, dokter bilang apa?"

Nasi yang tinggal satu suapan, urung kumakan. Kuletakkan piring ke atas nakas di sisi tempat tidur.

"Menginaplah beberapa hari di sini." 

"Tapi Josh ...."

"Jangan aktifkan hpmu!" perintahnya.

Kulihat dia mengambil gawaiku yang tergeletak di atas bantal kemudian memasukannya ke dalam saku celananya. 

"Josh!" panggilku.

Josh hanya melirik sekilas, kemudian berlalu  tanpa menghiraukan panggilanku.

.

.

.

TBC

Lara Hati Icha

#3

#Kubawa_benihmu_Saat_Kau_menalakku

"Lakukan sekali lagi di sini, di depanku!" bentakku.

Kedua makhluk tak beradab di depanku terperangah. Sejurus kemudian, si Jalang tampak memucat, sedangkan Mas Herlan menyorotku tajam penuh amarah. Kutajamkan pandangan ke arah dua manik mata suamiku. Aku melihat kilatan api kemarahan di matanya.

Dia memang suamiku, orang yang mengatakan telah berubah karena diriku, kini menampakkan wujud aslinya. Inikah wujud asli suamiku sebelum menikah?

Lima tahun dia menutup perbuatan amoralnya di depanku. Di balik topeng lemah lembutnya dia mengelabui. Andai aku tak membutakan mata, tak menulikan telinga, tidak mematikan logika atas perbuatan Mas Herlan di masa lalu, aku tidak akan menelan kekecewaan sebesar ini.

Susah payah aku mematikan rasa, mengubur dalam-dalam rasa cinta yang tak bertuan, dan  menyerahkan segenggam hati ini untuk mengabdi padanya yang bernama suami. Apa balasannya?

Sendirian menggenggam bara, berharap kupantikkan di atas pelita, mengubah sisi gelap  hidupku yang hampir tanpa cahaya menjadi terang seiring waktu. Nyatanya, aku kecewa.

Seperti wanita di luar sana yang menyandang predikat istri, aku pun terluka. Peraduan yang menjadi saksi pergumulan kami dalam ikatan halal, kini nampak tak ubahnya kubangan lumpur hina. Aku jijik!

Sejijik apa pun aku memandang mereka yang telah menorehkan setitik noda di atas ranjang pengantinku, aku tidak boleh berbuat di luar logika. Apa tadi, aku menyuruh mereka melakukan perbuatan menjijikkan itu sekali lagi di depanku? 

Aku masih waras.

Tuhan, ampuni aku. Aku juga manusia biasa, di mana sisi gelap dan cahaya bertahta mengisi ruang dalam raga yang hina ini.

Kutatap sekali lagi kedua sosok di hadapanku bergantian. Mas Herlan masih dengan amarahnya, sementara wanita jalang itu masih memaku di tempatnya.

"Pergi kalian!" jeritku.

"Dan kau, sundal! Jangan tampakkan lagi wajah menjijikkanmu di hadapanku!" tunjukku ke wajahnya.

Secepat kilat perempuan itu menyambar tasnya di atas meja rias dan segera berlari ke arah pintu tanpa menghiraukan keberadaan Mas Herlan.

Napasku masih memburu menahan gejolak yang sedari tadi meminta untuk diluapkan. Detik ini aku masih berharap Mas Herlan memohon, meminta untuk dimaafkan. Sakit memang sakit, tapi pernikahan yang telah berjalan selama lima tahun, tidak begitu saja ingin aku putuskan.

Tak menyangka, kata maaf yang aku harapkan keluar sekali lagi dari mulut suamiku, nyatanya sorot tajam penuh kebencian yang aku dapatkan.

"Awas kau, perempuan mandul!" 

Kedua tangan suamiku yang lima tahun mendekapku, memberikan ketenangan saat aku butuh sandaran, memeluk tubuh di malam-malam panjang, mendorong kedua bahuku hingga aku terhempas di atas ranjang. Aku diam melihat suamiku mengejar wanita jalang itu dan membanting pintu.

Ya Allaah, ya Rabb. Akankah Kau takdirkan pernikahanku hanya sampai di sini? 

Kuatkan aku, jadikan sabarku tak berbatas, ya Allaah.

Kubaringankan tubuhku memeluk guling. Kuremas kuat-kuat guling dalam pelukan, berharap bisa meredakan nyeri di dada. Sakit sekali ya Allaah. 

***

"Tak berpikir sekali lagikah untuk menerima Herlan, Ndhuk?" kata Ibu, saat aku memberitahu bahwa aku menerima pinangan Mas Herlan, lebih dari lima tahun yang lalu.

"Setiap orang punya masa lalu, Bu. Icha pun sama. Restui kami agar bisa saling melengkapi. Doakan Icha," kataku sambil menjatuhkan kepala di pangkuan Ibu.

"Ibu mana yang tidak akan merestui pernikahan anaknya, Ndhuk?"

Ibu menarik tubuhku dalam pelukannya. Aku yang meminta restu, kenapa Ibu yang menangis?

Kulonggarkan pelukan Ibu. Ada anak sungai di sana, siap mengalir. 

"Ibu ...?" panggilku mengisyaratkan tanya melalui suara.

Kepala Ibu menengadah, mencoba menghalau bulir bening agar tak lolos. Tangan tuanya menyeka kedua sudut netra.

"Sabar, Ndhuk. Kamu pasti kuat." lirihnya.

Ibu, aku hanya meminta restumu, tapi mengapa justru kau memberikan apa yang tidak aku minta? 

Sabar? Sabar atas apa? Atas takdirku memilih Mas Herlan sebagai suamikukah?

***

Aku tak ingin menjadi wanita lemah di mata para pengkhianat itu. Aku harus kuat, aku harus sabar, seperti pinta Ibu. 

Beranjak dari tempat tidur, kulangkahkan kaki gontai menuju lemari pakaian. Kuambil koper besar di atas nakas. Satu persatu baju yang telah tertata rapi, kumasukkan ke koper. Sesekali, kuusap ujung mata dengan jemari. Cincin pernikahan yang selama lima tahun melekat di jari manis, kulepas lalu kuletakkan di kotak kecil berwarna biru, kuselipkan di antara tumpukan baju suamiku. Aku berjanji, ini adalah terakhir aku menginjakkan kaki di ruang peraduanku dan Mas Herlan. Entah suatu hari takdir akan mempertemukan kami kembali, aku tak bisa menolaknya.

Kurapikan sisa-sisa pergulatan suamiku dan perempuan itu. Aroma parfum itu bahkan masih memenuhi indera penciuman.

Berpisah mungkin bukan pilihan terbaik, tapi pengkhianatan yang nyata terpampang di depan mata juga bukan hal yang bisa aku terima. Aku bisa memaafkan, tapi untuk melanjutkan pernikahan yang sudah tidak sehat, apa aku sanggup? Keyakinanku bahwa semua akan berubah dan baik-baik saja, nyatanya terpatahkan.

Selesai merapikan semua, kusemprot seluruh ruangan dengan pengharum sebanyak-banyaknya. Aku tidak ingin ada jejak wanita itu tertinggal di ruang tidur kami. Sprei dan selimut yang telah ternoda cairan laknat dari pergulatan dua manusia tak berakhlak itu, kubuang begitu saja di kolong tempat tidur. Biarlah Mas Herlan saja yang akan mencucinya.

Aku jijik.

Tidak banyak baju yang aku bawa, hanya beberapa potong yang muat di koper. Peralatan make up kumasukkan ke dalam tas tersendiri beserta charger ponsel. Perhiasan selain cincin pernikahan, kubawa semua karena itu sudah menjadi hakku. Surat tanah dan kendaraan, aku tidak berpikir untuk mengambilnya. Hanya saja, buku rekening bank  atas namaku dan Kartu ATM, aku bawa serta. Lumayan cukup untuk kebutuhanku selama menenangkan diri.

Hati tak rela sebenarnya harus menyerah pada pelakor itu, tapi apa daya janji sudah terucap. Tidak ada konsekuensi selain berpisah bila salah satu di antara kami melakukan perselingkuhan.

Kutarik gagang koper menuju ruang tamu. Aku tak bermaksud pergi hari ini, namun untuk 2-3 hari ke depan, aku perlu menenangkan diri, tidak ingin bertemu muka dulu dengan suamiku.

Di pojokan ruang tamu, koper itu kuletakkan. Kuhempaskan tujuh di sofa sambil membuka gawai. Pada aplikasi hijau, kutambahkan chat pada kontak yang aku beri nama Josh.

[,,,???] send.

Itu adalah kode yang kami sepakati saat aku dan Josh berkomunikasi, baik chat Wa, messenger, atau yang lain.

Centang biru. Josh mengetik ....

[???,,,] 

Aman.

[Would you please to call me Josh?]

[Sure, i can]

Tenggorokanku terasa kering. Aku pun beranjak ke dapur untuk mengambil minum. 

Baru beberapa langkah, aku merasakan kepalaku berat. Kupejamkan mata beberapa saat sambil mencari pegangan. Gawai di tanganku bergetar. Kuangkat tanpa melihat nama si pemanggil.

"Cha!" sapa suara di seberang sana. 

Tubuhku limbung sebelum aku bersuara. Selanjutnya aku tak ingat apa-apa.

***

Kepalaku masih terasa pusing saat aku membuka mata. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan di mana aku terbaring. Wallpaper berbentuk papan catur dengan warna hitam putih mendominasi dinding ruangan. Ini bukan kamarku. Batinku.

Pintu kamar terbuka. Kulihat Josh membawa nampan berisi makanan dan segelas susu. Tersenyum manis dia mendekatiku dan duduk di bibir ranjang. 

"Josh?"

"Makanlah, perutmu perlu diisi."

"Aku di mana?"

"Di rumahku."

"Jadi...?"

"Ya. Kamu pingsan saat aku tiba di rumahmu."

"Josh ...."

Aku ingin mengatakan semua pada Josh, tapi kepalaku masih berdenyut.

"Sudahlah, jangan banyak tanya. Makan dan minum obatnya!" titah Josh.

"Obat?"

"Ya."

"Aku kenapa?"

"Sudah kubilang, jangan banyak tanya. Dokter bilang kamu harus makan dan banyak istirahat."

Kuambil piring berisi makanan dan lauknya dari nampan. Aku makan dengan lahapnya karena sedari pagi belum ada makanan sedikit pun yang masuk ke perutku.

Mendapati tatapan dan senyum aneh Josh, kuhentikan kegiatan makanku.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?"

Josh salah tingkah.

"Eh, itu, nggak papa."

"Katakan Josh, dokter bilang apa?"

Nasi yang tinggal satu suapan, urung kumakan. Kuletakkan piring ke atas nakas di sisi tempat tidur.

"Menginaplah beberapa hari di sini." 

"Tapi Josh ...."

"Jangan aktifkan hpmu!" perintahnya.

Kulihat dia mengambil gawaiku yang tergeletak di atas bantal kemudian memasukannya ke dalam saku celananya. 

"Josh!" panggilku.

Josh hanya melirik sekilas, kemudian berlalu  tanpa menghiraukan panggilanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status