"Lakukan sekali lagi di sini, di depanku!" bentakku.
Kedua makhluk tak beradab di depanku terperangah. Sejurus kemudian, si Jalang tampak memucat, sedangkan Mas Herlan menyorotku tajam penuh amarah. Kutajamkan pandangan ke arah dua manik mata suamiku. Aku melihat kilatan api kemarahan di matanya.
Dia memang suamiku, orang yang mengatakan telah berubah karena diriku, kini menampakkan wujud aslinya. Inikah wujud asli suamiku sebelum menikah?
Lima tahun dia menutup perbuatan amoralnya di depanku. Di balik topeng lemah lembutnya dia mengelabui. Andai aku tak membutakan mata, tak menulikan telinga, tidak mematikan logika atas perbuatan Mas Herlan di masa lalu, aku tidak akan menelan kekecewaan sebesar ini.
Susah payah aku mematikan rasa, mengubur dalam-dalam rasa cinta yang tak bertuan, dan menyerahkan segenggam hati ini untuk mengabdi padanya yang bernama suami. Apa balasannya?
Sendirian menggenggam bara, berharap kupantikkan di atas pelita, mengubah sisi gelap hidupku yang hampir tanpa cahaya menjadi terang seiring waktu. Nyatanya, aku kecewa.
Seperti wanita di luar sana yang menyandang predikat istri, aku pun terluka. Peraduan yang menjadi saksi pergumulan kami dalam ikatan halal, kini nampak tak ubahnya kubangan lumpur hina. Aku jijik!
Sejijik apa pun aku memandang mereka yang telah menorehkan setitik noda di atas ranjang pengantinku, aku tidak boleh berbuat di luar logika. Apa tadi, aku menyuruh mereka melakukan perbuatan menjijikkan itu sekali lagi di depanku?
Aku masih waras.
Tuhan, ampuni aku. Aku juga manusia biasa, di mana sisi gelap dan cahaya bertahta mengisi ruang dalam raga yang hina ini.
Kutatap sekali lagi kedua sosok di hadapanku bergantian. Mas Herlan masih dengan amarahnya, sementara wanita jalang itu masih memaku di tempatnya.
"Pergi kalian!" jeritku.
"Dan kau, sundal! Jangan tampakkan lagi wajah menjijikkanmu di hadapanku!" tunjukku ke wajahnya.
Secepat kilat perempuan itu menyambar tasnya di atas meja rias dan segera berlari ke arah pintu tanpa menghiraukan keberadaan Mas Herlan.
Napasku masih memburu menahan gejolak yang sedari tadi meminta untuk diluapkan. Detik ini aku masih berharap Mas Herlan memohon, meminta untuk dimaafkan. Sakit memang sakit, tapi pernikahan yang telah berjalan selama lima tahun, tidak begitu saja ingin aku putuskan.
Tak menyangka, kata maaf yang aku harapkan keluar sekali lagi dari mulut suamiku, nyatanya sorot tajam penuh kebencian yang aku dapatkan.
"Awas kau, perempuan mandul!"
Kedua tangan suamiku yang lima tahun mendekapku, memberikan ketenangan saat aku butuh sandaran, memeluk tubuh di malam-malam panjang, mendorong kedua bahuku hingga aku terhempas di atas ranjang. Aku diam melihat suamiku mengejar wanita jalang itu dan membanting pintu.
Ya Allaah, ya Rabb. Akankah Kau takdirkan pernikahanku hanya sampai di sini?
Kuatkan aku, jadikan sabarku tak berbatas, ya Allaah.
Kubaringankan tubuhku memeluk guling. Kuremas kuat-kuat guling dalam pelukan, berharap bisa meredakan nyeri di dada. Sakit sekali ya Allaah.
***
"Tak berpikir sekali lagikah untuk menerima Herlan, Ndhuk?" kata Ibu, saat aku memberitahu bahwa aku menerima pinangan Mas Herlan, lebih dari lima tahun yang lalu.
"Setiap orang punya masa lalu, Bu. Icha pun sama. Restui kami agar bisa saling melengkapi. Doakan Icha," kataku sambil menjatuhkan kepala di pangkuan Ibu.
"Ibu mana yang tidak akan merestui pernikahan anaknya, Ndhuk?"
Ibu menarik tubuhku dalam pelukannya. Aku yang meminta restu, kenapa Ibu yang menangis?
Kulonggarkan pelukan Ibu. Ada anak sungai di sana, siap mengalir.
"Ibu ...?" panggilku mengisyaratkan tanya melalui suara.
Kepala Ibu menengadah, mencoba menghalau bulir bening agar tak lolos. Tangan tuanya menyeka kedua sudut netra.
"Sabar, Ndhuk. Kamu pasti kuat." lirihnya.
Ibu, aku hanya meminta restumu, tapi mengapa justru kau memberikan apa yang tidak aku minta?
Sabar? Sabar atas apa? Atas takdirku memilih Mas Herlan sebagai suamikukah?
***
Aku tak ingin menjadi wanita lemah di mata para pengkhianat itu. Aku harus kuat, aku harus sabar, seperti pinta Ibu.
Beranjak dari tempat tidur, kulangkahkan kaki gontai menuju lemari pakaian. Kuambil koper besar di atas nakas. Satu persatu baju yang telah tertata rapi, kumasukkan ke koper. Sesekali, kuusap ujung mata dengan jemari. Cincin pernikahan yang selama lima tahun melekat di jari manis, kulepas lalu kuletakkan di kotak kecil berwarna biru, kuselipkan di antara tumpukan baju suamiku. Aku berjanji, ini adalah terakhir aku menginjakkan kaki di ruang peraduanku dan Mas Herlan. Entah suatu hari takdir akan mempertemukan kami kembali, aku tak bisa menolaknya.
Kurapikan sisa-sisa pergulatan suamiku dan perempuan itu. Aroma parfum itu bahkan masih memenuhi indera penciuman.
Berpisah mungkin bukan pilihan terbaik, tapi pengkhianatan yang nyata terpampang di depan mata juga bukan hal yang bisa aku terima. Aku bisa memaafkan, tapi untuk melanjutkan pernikahan yang sudah tidak sehat, apa aku sanggup? Keyakinanku bahwa semua akan berubah dan baik-baik saja, nyatanya terpatahkan.
Selesai merapikan semua, kusemprot seluruh ruangan dengan pengharum sebanyak-banyaknya. Aku tidak ingin ada jejak wanita itu tertinggal di ruang tidur kami. Sprei dan selimut yang telah ternoda cairan laknat dari pergulatan dua manusia tak berakhlak itu, kubuang begitu saja di kolong tempat tidur. Biarlah Mas Herlan saja yang akan mencucinya.
Aku jijik.
Tidak banyak baju yang aku bawa, hanya beberapa potong yang muat di koper. Peralatan make up kumasukkan ke dalam tas tersendiri beserta charger ponsel. Perhiasan selain cincin pernikahan, kubawa semua karena itu sudah menjadi hakku. Surat tanah dan kendaraan, aku tidak berpikir untuk mengambilnya. Hanya saja, buku rekening bank atas namaku dan Kartu ATM, aku bawa serta. Lumayan cukup untuk kebutuhanku selama menenangkan diri.
Hati tak rela sebenarnya harus menyerah pada pelakor itu, tapi apa daya janji sudah terucap. Tidak ada konsekuensi selain berpisah bila salah satu di antara kami melakukan perselingkuhan.
Kutarik gagang koper menuju ruang tamu. Aku tak bermaksud pergi hari ini, namun untuk 2-3 hari ke depan, aku perlu menenangkan diri, tidak ingin bertemu muka dulu dengan suamiku.
Di pojokan ruang tamu, koper itu kuletakkan. Kuhempaskan tujuh di sofa sambil membuka gawai. Pada aplikasi hijau, kutambahkan chat pada kontak yang aku beri nama Josh.
[,,,???] send.
Itu adalah kode yang kami sepakati saat aku dan Josh berkomunikasi, baik chat Wa, messenger, atau yang lain.
Centang biru. Josh mengetik ....
[???,,,]
Aman.
[Would you please to call me Josh?]
[Sure, i can]
Tenggorokanku terasa kering. Aku pun beranjak ke dapur untuk mengambil minum.
Baru beberapa langkah, aku merasakan kepalaku berat. Kupejamkan mata beberapa saat sambil mencari pegangan. Gawai di tanganku bergetar. Kuangkat tanpa melihat nama si pemanggil.
"Cha!" sapa suara di seberang sana.
Tubuhku limbung sebelum aku bersuara. Selanjutnya aku tak ingat apa-apa.
***
Kepalaku masih terasa pusing saat aku membuka mata. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan di mana aku terbaring. Wallpaper berbentuk papan catur dengan warna hitam putih mendominasi dinding ruangan. Ini bukan kamarku. Batinku.
Pintu kamar terbuka. Kulihat Josh membawa nampan berisi makanan dan segelas susu. Tersenyum manis dia mendekatiku dan duduk di bibir ranjang.
"Josh?"
"Makanlah, perutmu perlu diisi."
"Aku di mana?"
"Di rumahku."
"Jadi...?"
"Ya. Kamu pingsan saat aku tiba di rumahmu."
"Josh ...."
Aku ingin mengatakan semua pada Josh, tapi kepalaku masih berdenyut.
"Sudahlah, jangan banyak tanya. Makan dan minum obatnya!" titah Josh.
"Obat?"
"Ya."
"Aku kenapa?"
"Sudah kubilang, jangan banyak tanya. Dokter bilang kamu harus makan dan banyak istirahat."
Kuambil piring berisi makanan dan lauknya dari nampan. Aku makan dengan lahapnya karena sedari pagi belum ada makanan sedikit pun yang masuk ke perutku.
Mendapati tatapan dan senyum aneh Josh, kuhentikan kegiatan makanku.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?"
Josh salah tingkah.
"Eh, itu, nggak papa."
"Katakan Josh, dokter bilang apa?"
Nasi yang tinggal satu suapan, urung kumakan. Kuletakkan piring ke atas nakas di sisi tempat tidur.
"Menginaplah beberapa hari di sini."
"Tapi Josh ...."
"Jangan aktifkan hpmu!" perintahnya.
Kulihat dia mengambil gawaiku yang tergeletak di atas bantal kemudian memasukannya ke dalam saku celananya.
"Josh!" panggilku.
Josh hanya melirik sekilas, kemudian berlalu tanpa menghiraukan panggilanku.
.
.
.
TBC
Lara Hati Icha
#3
#Kubawa_benihmu_Saat_Kau_menalakku"Lakukan sekali lagi di sini, di depanku!" bentakku.
Kedua makhluk tak beradab di depanku terperangah. Sejurus kemudian, si Jalang tampak memucat, sedangkan Mas Herlan menyorotku tajam penuh amarah. Kutajamkan pandangan ke arah dua manik mata suamiku. Aku melihat kilatan api kemarahan di matanya.
Dia memang suamiku, orang yang mengatakan telah berubah karena diriku, kini menampakkan wujud aslinya. Inikah wujud asli suamiku sebelum menikah?
Lima tahun dia menutup perbuatan amoralnya di depanku. Di balik topeng lemah lembutnya dia mengelabui. Andai aku tak membutakan mata, tak menulikan telinga, tidak mematikan logika atas perbuatan Mas Herlan di masa lalu, aku tidak akan menelan kekecewaan sebesar ini.
Susah payah aku mematikan rasa, mengubur dalam-dalam rasa cinta yang tak bertuan, dan menyerahkan segenggam hati ini untuk mengabdi padanya yang bernama suami. Apa balasannya?
Sendirian menggenggam bara, berharap kupantikkan di atas pelita, mengubah sisi gelap hidupku yang hampir tanpa cahaya menjadi terang seiring waktu. Nyatanya, aku kecewa.
Seperti wanita di luar sana yang menyandang predikat istri, aku pun terluka. Peraduan yang menjadi saksi pergumulan kami dalam ikatan halal, kini nampak tak ubahnya kubangan lumpur hina. Aku jijik!
Sejijik apa pun aku memandang mereka yang telah menorehkan setitik noda di atas ranjang pengantinku, aku tidak boleh berbuat di luar logika. Apa tadi, aku menyuruh mereka melakukan perbuatan menjijikkan itu sekali lagi di depanku?
Aku masih waras.
Tuhan, ampuni aku. Aku juga manusia biasa, di mana sisi gelap dan cahaya bertahta mengisi ruang dalam raga yang hina ini.
Kutatap sekali lagi kedua sosok di hadapanku bergantian. Mas Herlan masih dengan amarahnya, sementara wanita jalang itu masih memaku di tempatnya.
"Pergi kalian!" jeritku.
"Dan kau, sundal! Jangan tampakkan lagi wajah menjijikkanmu di hadapanku!" tunjukku ke wajahnya.
Secepat kilat perempuan itu menyambar tasnya di atas meja rias dan segera berlari ke arah pintu tanpa menghiraukan keberadaan Mas Herlan.
Napasku masih memburu menahan gejolak yang sedari tadi meminta untuk diluapkan. Detik ini aku masih berharap Mas Herlan memohon, meminta untuk dimaafkan. Sakit memang sakit, tapi pernikahan yang telah berjalan selama lima tahun, tidak begitu saja ingin aku putuskan.
Tak menyangka, kata maaf yang aku harapkan keluar sekali lagi dari mulut suamiku, nyatanya sorot tajam penuh kebencian yang aku dapatkan.
"Awas kau, perempuan mandul!"
Kedua tangan suamiku yang lima tahun mendekapku, memberikan ketenangan saat aku butuh sandaran, memeluk tubuh di malam-malam panjang, mendorong kedua bahuku hingga aku terhempas di atas ranjang. Aku diam melihat suamiku mengejar wanita jalang itu dan membanting pintu.
Ya Allaah, ya Rabb. Akankah Kau takdirkan pernikahanku hanya sampai di sini?
Kuatkan aku, jadikan sabarku tak berbatas, ya Allaah.
Kubaringankan tubuhku memeluk guling. Kuremas kuat-kuat guling dalam pelukan, berharap bisa meredakan nyeri di dada. Sakit sekali ya Allaah.
***
"Tak berpikir sekali lagikah untuk menerima Herlan, Ndhuk?" kata Ibu, saat aku memberitahu bahwa aku menerima pinangan Mas Herlan, lebih dari lima tahun yang lalu.
"Setiap orang punya masa lalu, Bu. Icha pun sama. Restui kami agar bisa saling melengkapi. Doakan Icha," kataku sambil menjatuhkan kepala di pangkuan Ibu.
"Ibu mana yang tidak akan merestui pernikahan anaknya, Ndhuk?"
Ibu menarik tubuhku dalam pelukannya. Aku yang meminta restu, kenapa Ibu yang menangis?
Kulonggarkan pelukan Ibu. Ada anak sungai di sana, siap mengalir.
"Ibu ...?" panggilku mengisyaratkan tanya melalui suara.
Kepala Ibu menengadah, mencoba menghalau bulir bening agar tak lolos. Tangan tuanya menyeka kedua sudut netra.
"Sabar, Ndhuk. Kamu pasti kuat." lirihnya.
Ibu, aku hanya meminta restumu, tapi mengapa justru kau memberikan apa yang tidak aku minta?
Sabar? Sabar atas apa? Atas takdirku memilih Mas Herlan sebagai suamikukah?
***
Aku tak ingin menjadi wanita lemah di mata para pengkhianat itu. Aku harus kuat, aku harus sabar, seperti pinta Ibu.
Beranjak dari tempat tidur, kulangkahkan kaki gontai menuju lemari pakaian. Kuambil koper besar di atas nakas. Satu persatu baju yang telah tertata rapi, kumasukkan ke koper. Sesekali, kuusap ujung mata dengan jemari. Cincin pernikahan yang selama lima tahun melekat di jari manis, kulepas lalu kuletakkan di kotak kecil berwarna biru, kuselipkan di antara tumpukan baju suamiku. Aku berjanji, ini adalah terakhir aku menginjakkan kaki di ruang peraduanku dan Mas Herlan. Entah suatu hari takdir akan mempertemukan kami kembali, aku tak bisa menolaknya.
Kurapikan sisa-sisa pergulatan suamiku dan perempuan itu. Aroma parfum itu bahkan masih memenuhi indera penciuman.
Berpisah mungkin bukan pilihan terbaik, tapi pengkhianatan yang nyata terpampang di depan mata juga bukan hal yang bisa aku terima. Aku bisa memaafkan, tapi untuk melanjutkan pernikahan yang sudah tidak sehat, apa aku sanggup? Keyakinanku bahwa semua akan berubah dan baik-baik saja, nyatanya terpatahkan.
Selesai merapikan semua, kusemprot seluruh ruangan dengan pengharum sebanyak-banyaknya. Aku tidak ingin ada jejak wanita itu tertinggal di ruang tidur kami. Sprei dan selimut yang telah ternoda cairan laknat dari pergulatan dua manusia tak berakhlak itu, kubuang begitu saja di kolong tempat tidur. Biarlah Mas Herlan saja yang akan mencucinya.
Aku jijik.
Tidak banyak baju yang aku bawa, hanya beberapa potong yang muat di koper. Peralatan make up kumasukkan ke dalam tas tersendiri beserta charger ponsel. Perhiasan selain cincin pernikahan, kubawa semua karena itu sudah menjadi hakku. Surat tanah dan kendaraan, aku tidak berpikir untuk mengambilnya. Hanya saja, buku rekening bank atas namaku dan Kartu ATM, aku bawa serta. Lumayan cukup untuk kebutuhanku selama menenangkan diri.
Hati tak rela sebenarnya harus menyerah pada pelakor itu, tapi apa daya janji sudah terucap. Tidak ada konsekuensi selain berpisah bila salah satu di antara kami melakukan perselingkuhan.
Kutarik gagang koper menuju ruang tamu. Aku tak bermaksud pergi hari ini, namun untuk 2-3 hari ke depan, aku perlu menenangkan diri, tidak ingin bertemu muka dulu dengan suamiku.
Di pojokan ruang tamu, koper itu kuletakkan. Kuhempaskan tujuh di sofa sambil membuka gawai. Pada aplikasi hijau, kutambahkan chat pada kontak yang aku beri nama Josh.
[,,,???] send.
Itu adalah kode yang kami sepakati saat aku dan Josh berkomunikasi, baik chat Wa, messenger, atau yang lain.
Centang biru. Josh mengetik ....
[???,,,]
Aman.
[Would you please to call me Josh?]
[Sure, i can]
Tenggorokanku terasa kering. Aku pun beranjak ke dapur untuk mengambil minum.
Baru beberapa langkah, aku merasakan kepalaku berat. Kupejamkan mata beberapa saat sambil mencari pegangan. Gawai di tanganku bergetar. Kuangkat tanpa melihat nama si pemanggil.
"Cha!" sapa suara di seberang sana.
Tubuhku limbung sebelum aku bersuara. Selanjutnya aku tak ingat apa-apa.
***
Kepalaku masih terasa pusing saat aku membuka mata. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan di mana aku terbaring. Wallpaper berbentuk papan catur dengan warna hitam putih mendominasi dinding ruangan. Ini bukan kamarku. Batinku.
Pintu kamar terbuka. Kulihat Josh membawa nampan berisi makanan dan segelas susu. Tersenyum manis dia mendekatiku dan duduk di bibir ranjang.
"Josh?"
"Makanlah, perutmu perlu diisi."
"Aku di mana?"
"Di rumahku."
"Jadi...?"
"Ya. Kamu pingsan saat aku tiba di rumahmu."
"Josh ...."
Aku ingin mengatakan semua pada Josh, tapi kepalaku masih berdenyut.
"Sudahlah, jangan banyak tanya. Makan dan minum obatnya!" titah Josh.
"Obat?"
"Ya."
"Aku kenapa?"
"Sudah kubilang, jangan banyak tanya. Dokter bilang kamu harus makan dan banyak istirahat."
Kuambil piring berisi makanan dan lauknya dari nampan. Aku makan dengan lahapnya karena sedari pagi belum ada makanan sedikit pun yang masuk ke perutku.
Mendapati tatapan dan senyum aneh Josh, kuhentikan kegiatan makanku.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?"
Josh salah tingkah.
"Eh, itu, nggak papa."
"Katakan Josh, dokter bilang apa?"
Nasi yang tinggal satu suapan, urung kumakan. Kuletakkan piring ke atas nakas di sisi tempat tidur.
"Menginaplah beberapa hari di sini."
"Tapi Josh ...."
"Jangan aktifkan hpmu!" perintahnya.
Kulihat dia mengambil gawaiku yang tergeletak di atas bantal kemudian memasukannya ke dalam saku celananya.
"Josh!" panggilku.
Josh hanya melirik sekilas, kemudian berlalu tanpa menghiraukan panggilanku.
POV AuthorTengah malam, Herlan kembali ke rumah. Keadaannya sangat kacau. Didapatinya rumah dalam keadaan gelap gulita, juga tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda ada orang di dalam. Sejak sore tadi, berkali-kali ia mencoba menghubungi Icha, tapi nihil. Nomor Icha tidak aktif dan status Wanya aktif 12 jam yang lalu. Itu artinya, satu jam setelah ia mengejar Nora, Icha menonaktifkan data seluler.Untuk menghubungi adik Icha dan mendatangi rumah ibunya, Herlan tak punya nyali. Dia tahu benar, Icha tidak akan mendatangi rumah orang tua ketika dia sedang bermasalah dengannya. Ditambah lagi, ibu dan adik Icha sangat membencinya. Icha hanya akan mendatangi sahabat baiknya, Josh.Sialnya, Herlan pun tidak punya cukup nyali untuk menanyakan keberadaan Icha pada sosok bar-bar Josh. Dua tahun yang lalu, nyawanya hampir melayang di tangan Josh kalau saja Icha tak mencegahnya. Saat itu terjadi pertengkaran hebat antara Icha dan Herlan setelah Herlan pulang diantar seorang perempuan dalam keadaan m
Bab 4bSementara itu di kediaman Josh.Icha sudah merasa lebih sehat setelah minum obat dan tidur beberapa jam. Tubuhnya menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Dia edarkan pandangan ke sekeliling kamar. Piring dan gelas susu sudah tidak ada di tempatnya. Josh yang melakukannya. Batin Icha.Perempuan cantik itu bangkit dari pembaringan. Tangannya meraba-raba tempat tidurnya. Dia mencari ponselnya. Ah, Icha lupa, ponsel itu sudah disita oleh Josh.Icha beranjak menuju meja rias. Diamati wajahnya yang tanpa polesan make up, sembab. Krieeet.Icha menoleh ke arah pintu. Wajah Josh muncul dengan senyum manis menghiasi wajahnya."Sudah baikan, Cha?" sapa Josh."Yeay, seperti yang kaulihat.""Mandilah! Air hangat sudah kusediakan.""Aku tak membawa ganti.""Hmmm, aku tak bodoh. Lihat di dalam lemari! Ada beberapa potong aku bawa.""Benarkah?""Yes!""Kau tampak rapi, mau ke mana?" tanya Icha."Ada urusan. Aku pulang mungkin larut malam."Kening Icha berkerut."Urusan apa
"Perempuan sundal! Di mana Icha?!"Tuuuttt ....Panggilan terputus.Sial, sial, sial!Rutuk Herlan frustrasi.Kenapa perempuan jadi-jadian itu yang ke sekian kalinya menjadi malaikat penolong Icha?ArrrggghhhPrang, prang!Herlan membanting apa saja yang ada di hadapannya. Dia benar-benar putus asa. Masalah menjadi semakin rumit dengan kehadiran Josh. Awalnya, dia bermaksud meminta maaf pada Icha, membujuknya kembali agar tidak meminta cerai. Namun sial, Josh telanjur mengetahui. Walaupun Icha akan bungkam mengenai masalahnya dengan Herlan, Josh bukanlah tipe orang yang akan tinggal diam jika ada sesuatu yang belum ia dapatkan informasinya tentang Icha.Ada hubungan apa sebenarnya perempuan bar-bar itu dengan Icha? Batin Herlan.Membuat perhitungan dengan Josh, sama saja ia mencari mati.***"Kamu masih beruntung, Icha belum siap mengirimmu ke neraka. Sekali lagi kau berbuat kasar pada Icha, nyawamu melayang," bisik Josh di telinga Herlan, sesaat setelah ia siuman di ranjang rumah sak
Di koridor kantor, Herlan berjalan cepat agar segera sampai di ruangannya. Pintu ruang kerjanya terbuka. Saat dia membuka pintu lebih lebar, ia mendapati seorang perempuan berbaju seksi mengenakan blazer warna marun dengan rok span di atas lutut, memperlihatkan pahanya yang putih mulus, duduk di kursi kerja Herlan. Jantung Herlan berdesir menyaksikan pemandangan di depannya. Perlahan ia mendekati perempuan seksi itu setelah menutup ruangan dan menguncinya."Morning, sayang ...!" sapa wanita itu yang tak lain adalah Nora.Nora mendekati Herlan, dilingkarkannya kedua tangan Nora di leher Herlan. Tangan Nora membelai wajah Herlan. Tubuh Herlan menegang. Saat jarak wajah mereka tersisa beberapa senti, Herlan mendorong tubuh Nora."Cukup, Nora!" seru Herlan."Hey, kamu kenapa, Sayang?" protes Nora tak terima. Herlan segera mengehenyakkan tubuh di kursi kerjanya."Aku sedang tidak ingin diganggu, please! Keluar dari ruanganku!" titah Herlan."Hey, jangan bilang kamu berubah pikiran!" sergah
Di rumah Josh, Icha tampak sedang membersihkan dapur yang sedikit berantakan. Ia ditemani oleh mbok Surti, Asisten Rumah Tangga yang sudah beberapa bulan ini bekerja di rumah Josh. Sebelumnya, Mbok Surti bekerja di rumah orang tua Josh semenjak Josh berusia enam tahun."Mbak Icha istrirahat saja, biar Mbok yang beresin," kata Mbok Surti."Nggak apa-apa, Mbok. Saya kuat," jawab Icha."Tapi Non Yoshi pasti nanti marah sama Mbok.""Nggak akan, Mbok. Biar saya yang ngomong sama dia.""Tapi Non ....""Ehmm ehmmm," gumam seseorang di belakang Icha dan Mbok Surti.Mereka menoleh bersamaan ke arah datang nya suara."Non Yoshi ...?""Josh ...?""Ngapain kamu, Cha?" tanya Josh."Maaf, Non. Mbok yang salah.""Enggak, Josh. Aku yang ingin melakukan ini, bukan Mbok Surti.""Mbok ...?""Maaf, Non," kata Mbok Surti masih menunduk."Terlihat seperti Tuan Takurkah aku, Mbok, sampai segitu takutnya sama aku?"Mbok Surti mendongak. Wajah polos dan ekspresi bingungnya membuat Josh dan Icha terkekeh."Kam
Part 6a dan 6bJam dinding menunjukkan pukul setengah lima sore. Icha sudah bertekad akan segera menyelesaikan masalahnya. Apa pun keputusannya nanti, Icha sudah siap menerima, bahkan kemungkinan terburuk bila ia harus bercerai dari suaminya yang sudah menikahinya selama lima tahun."Assalamu'alaikum ...." Suara seseorang membuat Icha dan Mbok Surti yang sedang menikmati acara televisi, menoleh berbarengan."Wa'alaikumsalam," jawab Icha dan Mbok Surti serempak.Sesosok yang pembawaannya maskulin, berjalan menuju ke arah Mbok Surti dan Icha yang terpaku di tempatnya."Hei, kenapa bengong, Cha, Mbok?"Icha tersenyym, begitupun Mbok Surti.Josh mengulurkan tas kerjanya kepada Mbok Surti lalu menghenyakkan tubuh di samping Icha."Sudah siap, Cha?""Udah. Sekarang? Enggak capai, kamu, Josh?""Lumayqn, sih, tapi nggak apa-apa.Ayo!""Nggak mandi dulu?""Udah mandi tadi di kantor.""Oh ...."Icha meraih slingbag di atas meja dan segera mengikuti langkah Josh menuju keluar setelah berpamitan p
"Cha!" lirih Herlan.Icha mengangkat kedua tangannya di depan wajah, mengisyaratakan tak mau lagi mendengar alasan apa pun dari sosok di depannya yang telah menalaknya beberapa saat yang lalu."Aku menerima masa lalu, tapi maaf! Aku tak bisa menerima pengkhianatan setelah ada ikatan halal di antara kita.""Jangan munafik, Cha! Aku tahu kamu masih mencintaiku, kan?"Shit"Omong kosong macam apa, huh? Aku mencintaimu, berusaha mencintaimu. Namun, apa yang sudah kamu lakukan, Mas?""Aku hanya melakukan sekali, tapi kamu begitu murka. Apa kamu pikir kamu Tuhan hingga kamu menghakimiku seperti ini, hah?""Dia hamil darah dagingku, Cha!""Darah daging yang belum Tuhan beri dalam ikatan halal kita, tapi kau dapatkan dari perbuatan hina!" tegasku."Sekali lagi, aku hanya melakukannya dengan perempuan itu.""Kau lakukan hanya dengan wanita suci itu, tapi berkali-kali. Apa bedanya kamu dengan laki-laki pemuja selangkangan di luar sana?""Cukup, Cha!"Icha menoleh pada suaminya dengan tatapan men
Beberapa saat kemudian, Josh kembali masuk dan duduk di depan kemudi. Josh melihat Icha menatapnya dengan pandangan aneh. "Katakan, Josh! Dari mana kamu dapatkan foto ini dan ada hubungan apa?"Bukannya menjawab pertanyaan Icha, Josh justru menarik napas adalam dan menghembuskannya kasar."Sudah minum a*ua, Cha?""Josh!""Apa?""Jawab!""Kamu itu aneh. Bukannya foto itu kamu yang kasih beberapa tahun yang lalu?""Aku serius, Josh! Kamu nggak bohong, kan?""Marissa Rahmadanti binti Suhendar yang baik hati dan tidak sombong cantik jelita sepanjang masaaa. Ingat baik-baik, ya! Kamu kasih foto itu, minta tolong samaku temukan kakakmu Rosa yang ada di dalam foto itu, lupa, hah? Lupa?""Kamu nggak bohong kan, Josh?""Enggak!"Gemas campur malu karena Icha memang lupa dan sekarang baru ingat, ia mencubit paha Josh dengan kerasnya."Awww! Sakit, Icha!""Udah, jalan sekarang!"Josh tersenyum mengejek. Icha tambah kesal."Nggak usah sok menang gitu," sindir Icha.Josh tergelak, Icha masih kesa