Saat aku menjadi seorang TKW, suami dan Sahabatku bermain api di belakangku, mereka diam-diam menikah. Parahnya lagi, mereka berlaku jahat pada putriku. Oke tak masalah, aku akan membuat perhitungan dengan kalian. Satu lagi, mereka pasti melongo karena saat ini mantan majikanku melamarku!
Lihat lebih banyak"Loh, kamu masih belum berangkat Mas?" tanyaku sambil berdiri di ambang pintu. "Em-eh itu, anu Dek. Ini sebentar lagi mau berangkat," jawab Mas Asep dengan wajah kikuk sembari membenarkan posisi duduknya. Waktu kurasa sudah hampir setengah delapan pagi, aku bahkan baru saja pulang dari mengantar Ais sekolah lagi, tapi Mas Asep malah belum berangkat kerja. Apa mereka baru saja melakukan sesuatu? Hmmm ... terserah deh! Aku sempat melihat bayangan Eka pergi dari kaca jendela, saat aku datang yang memang mendadak sekali tadi itu. "Memangnya masuk kerja jam berapa sih, Mas?" tanyaku lagi sembari duduk tepat di sampingnya. Mas Asep masih sedikit kelabakan. Pria itu menyesap kopinya dengan segera. "Jam setengah delapan, Dek. Hanya saja telat sedikit nggak apa apa." Pria itu menunjukkan deretan giginya yang sedikit kekuningan. Pagi tadi aku memang begitu bersemangat untuk datang ke sekolah Ais. Banyak hal yang harus kulakukan, yang paling penting bagiku kudulukan, Ais harus mendapat
"Ka, tolong bersihkan rumah ya. Aku mau honeymoon dulu." Tanpa lagi memperdulikan ekspresi Eka yang masih merengut, segera kutarik lengan Mas Asep. "Aku kangen banget deh sama kamu, Mas." Ku ucapkan dengan lantang kalimat itu. Melihat Eka nampak kesal dan cemburu buta, tapi tak bisa berbuat apa apa, menimbulkan sedikit rasa puas di hati. "Kamu kangen nggak sama aku?" tanyaku lagi dengan suara manja. Saat ini kami masihlah ada di depan pintu, jadi Mas Asep pun masih serba salah. "K-kangen banget dong, Dek," jawabnya sambil menoleh ke belakang. "Tapi kan nggak enak dilihat Eka." "Ya sudah, ayo kita melepas rindu. Eka juga pasti ngerti kok." Kutarik lagi lengan Mas Asep, sebenarnya jijik sekali, tapi tak masalah sih. Di kepalaku sudah terlintas cara untuk menghindar dari Mas Asep nantinya. Setelah hampir sampai di depan kamar kami, ponsel Mas Asep berdering. Sontak saja pria itu mengambil dari dalam saku. "Dek, ini dari temanku. Boleh aku angkat dulu?" ucapnya sambil menunju
"Nisa, kamu ngapain disini?" Eh. Berjingkat juga aku karena mendengar suara dari Eka tersebut. "Nggak. Hanya mau ngecek!" Untung aku masih bisa menguasai keadaan dan menyembunyikan rasa gugup ini dan langsung menoleh ke samping, menyuguhkan sebuah senyum termanis untuk maduku ini. Memang ya, orang yang sedang berbohong atau menyembunyikan sesuatu, seperti aku saat ini, akan langsung gelagapan juga ditanya. Tapi tidak apa apa, karena aku kan berbohong demi kebaikan. Mengambil yang memang seharusnya menjadi hakku. "Ngecek apa, Nis?" tanya Eka lagi penuh selidik sambil matanya jelalatan ke arah pintu kamar. Sepertinya dia sudah menganggap jika ini adalah rumahnya sendiri, lupa dia kalau aku adalah pemilik sebenarnya. "Ngecek kamu udah pulang belum dari rumah sakit. Soalnya aku baru bangun tidur sih." Kebohongan akan selalu ditutupi oleh kebohongan yang lain juga kan? Tak masalah. Eka tak berkata, tetapi aku tahu sorot matanya masih penuh selidik. "Kenapa memangnya Ka?" Sediki
"Ibu punya banyak baju baru untuk Ais," ucapku setelah kembali sampai di rumah. Tentunya lebih dulu dari pada kedua sampah itu. Karena terlalu fokus pada Eka dan Mas Asep, aku sampai lupa telah membelikan banyak baju untuk Ais. "Asyik!" Ais langsung bersorak sembari melihat semua baju yang kukeluarkan dari koper. "Ais mau mandi dulu ya, Bu." Ais kembali bersorak, putri kecilku itu pun langsung pamit untuk mandi, sepertinya dia begitu bersemangat memakai baju barunya. Mulai sekarang, aku tak akan lagi meninggalkan Ais, dan kupastikan senyum akan selalu menghiasi wajahnya. Saat akan menutup koper, mataku menangkap sesuatu. "Ya ampun, sepertinya barang ini akan sangat berguna." Sebuah kebetulan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Saat masih berada di luar negeri, majikan memberikan satu buah kamera ini padaku. Benda mungil yang kupikir tak akan ada gunanya sama sekali. Tapi ternyata, saat ini menjadi begitu berguna. Senyum segera mengembang di pipiku. 'Mari kita letakkan di te
"Panas ya Mas?" Saat Eka masih tertegun karena dibentak Mas Asep, aku berlagak sok simpati. Meniup tangan Mas Asep. "Ya ampun, Mas." Mengambil kesempatan dalam kesempitan, sepertinya itu yang harus aku lakukan. "Panas banget, Dek." Sepertinya yang dikatakan itu benar, dari wajahnya pun nampak kesakitan. "Harusnya kamu itu hati-hati. Kerja nggak becus! Jalan itu pakai mata dong!" Eh, tanpa diduga, Mas Asep malah masih terus membentak Eka. "M-maaf." Wajah Eka nampak semakin pias. Pelakor Itu sepertinya begitu kaget dengan kejadian ini. Feelingku mengatakan, sepertinya ini hal baru bagi Eka. Dibentak oleh Mas Asep. Mungkin selama ini yang dia terima hanya sikap manis saja. "Bisanya hanya maaf saja! Dasar nggak guna!" timpal Mas Asep lagi. Aku? Tentu senang dong menyaksikan kejadian seperti ini. Ini baru awal sih. "Lain kali kamu jangan ceroboh ya, Ka. Kasian banget loh ini Mas Asep baru pulang kerja, capek, haus. Eh malah kamu giniiin," ucapku sok perhatian. Tugasku disini, h
Tak terasa tangan ini mengepal melihat kelakuannya sampah itu."Aku harus selangkah lebih maju dari mereka."Rasanya sudah cukup aku menguping. jika mereka punya rencana, maka aku pun punya dengan pemikiran yang lebih matang.**"Gimana, Ais senang nggak belanja tadi?" ucapku sembari duduk di ruang tamu dan menaruh beberapa tas belanjaan."Seneng banget dong, Bu." Ais langsung menyahut. Dia pun langsung duduk juga di sampingku.Sebenarnya tanpa ditanyakan, sudah bisa terlihat dari raut wajah Ais. Senyum terus terpancar disana.Sejak pagi tadi, saat Mas Asep berangkat kerja, aku memang keluar bersama dengan Ais. Berbelanja, banyak barang yang harus dibeli untuknya. Dan, untuk membuat hatinya senang. Pasti sudah lama dia tak sesenang ini."Besok, kita belanja dan jalan jalan lagi ya Sayang."Ais segera bersorak. "Asyik!"Kubelikan banyak sekali barang untuk Ais, termasuk perlengkapan sekolah yang baru."Eka!" seruku, memanggil Eka.Sebenarnya dari pantulan layar tv yang tidak menyala
"Ya Allah, aku ketiduran." Suara kumandang azan sukses membuatku membuka mata. Seperti waktu magrib telah tiba, dari jendela nampak sudah gelap di luar. Karena begitu capek setelah dari perjalanan jauh, sepertinya aku tertidur cukup lama. Tidur bersama dengan Ais, membuatku menjadi lupa waktu juga. Segera aku pun bangun dan mengecup pipi Ais yang masih terlelap. Turun dari ranjang untuk mengambil air wudhu . Waktunya mengadukan seluruh keluh kesahku pada sang pencipta. Terdengar suara motor. "Sepertinya Mas Asep baru saja pulang." Senyum mengembang di bibir ini, sepertinya sebuah drama akan kembali dimulai. Kubuka sedikit pintu kamar, dan mulai menguping. Sebentar saja tak masalah bukan? "Lama banget sih kamu, Mas? Dari mana aja sih?" Tak salah bukan tebakanku? Eka langsung memberondong banyak pertanyaan pada Mas Asep. Meski sedikit lirih, tapi terdengar sekali jika sahabatku itu sedang begitu kesal. "Ya ampun, Yank. Ini tadi habis dari rumahnya si Johan." Mas Asep mulai be
Kutinggalkan Eka yang sudah pasti masih menggerutu di dapur sana. Terserah saja, yang penting aku nanti tahu semua beres. Tanpa harus dibantu oleh Mas Asep. Dia harus merasakan seperti apa sulitnya menjadi seorang pembantu. Enak saja mau menjadi kaya dengan cara instant. Tidak bisa seperti itu Marimar! Kuhela nafas panjang saat menyaksikan Ais yang masih duduk di ranjang. Putri kecilku itu, masih sibuk dengan mainan barunya. "Eh ibu, mau ikut main?" Saat aku masih terus menatapnya, Ais malah menatapku terlebih dahulu. Segera kusuguhkan senyum paling manis, sembari melangkah mendekatinya dan kini duduk di depannya. "Boleh. Sudah lama sekali kan Ibu sama Ais tidak main bareng." Kuambil salah satu boneka dan mulai bermain bersama dengannya. Melihatnya tersenyum, sungguh sebuah kebahagiaan tersendiri bagi seorang ibu. Selain itu, ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan beberapa hal dengannya. "Saat Ibu ada di luar negeri, apa semua baik-baik saja?" Memulai obrolan, hal
Dengan manik lurus aku menatap suamiku yang terperangah. Mulutnya tergagap. “D-Dek, kamu–” “Ha ha ha!” Tawa keras bergema di ruang tamu, membuat Mas Asep menatapku aneh. Aku tertawa hingga menangis, tapi tak ada yang benar-benar sadar kalau aku menangis bukan karena ada yang lucu, melainkan sakit hati. Bahkan, ketika ditembak kenyataan, Mas Asep hanya bisa terbengong seperti orang bodoh. Inikah pria yang telah kupilih untuk menjadi suamiku?! Inikah ayah dari putri malangku!? “D-Dek, kamu kenapa?” tanya Mas Asep. “Kamu … kamu nggak apa-apa, ‘kan?” “Aku bercanda saja, Mas,” ucapku pada akhirnya setelah tenang. “Kenapa kamu kelihatan takut begitu? Kamu nggak benar-benar mengkhianatiku dengan Eka, bukan?” "E-enggak dong, Dek! Demi Tuhan, Dek. Cintaku tetap utuh terjaga hanya untuk kamu. Karena kamu itu wanita paling cantik dan sempurna bagiku." Asep meluncurkan rayuan gombalnya. “Mana mungkin aku suka sama Eka?” Klontang! Klontang! Tiba tiba saja dari arah dapur, terdengar sua
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.