Share

Bab 8. Hati yang Hampa

Adzan magrib telah berkumandang, segera kubersihkan diri di bawah kucuran air shower yang hangat. Setelah mandi, rasa penat di pikiranku mulai berkurang. Pun sudah terasa tenang, meskipun amarah di dada ini masih belum sepenuhnya reda dan masih berkobar untuk Mas Ezran.

Kuambil juga wudu sebelum keluar kamar mandi dan langsung kukenakan baju di ruangan khusus kamar ini. Tempat pakaian serta aksesoris milikku dan Mas Ezran berada. Barulah aku keluar dan meminta Mas Ezran untuk mengambil wudu.

“Kamu ambil wudu dulu, Mas. Kita salat berjamaah seperti biasa,” ujarku dengan nada dingin melintasi tubuhnya begitu saja. Lalu, keluar dari kamar dan berjalan ke arah Musala di rumah kami. Kulihat Laras sudah duduk di sana dan tersenyum saat aku datang.

Dulu, kebersamaan inilah yang sering membuatku terharu. Merasa telah dilimpahkan keluarga sempurna yang bahagia dan harmonis. Namun, tidak untuk sekarang. Entah mengapa ketika melihat suamiku menjadi imam, tak ada perasaan membuncah seperti biasanya. Hanya rasa hampa dan kosong di sudut menyelimuti seluruh rongga hatiku.

Secepat inikah cinta itu pergi? Semenjak kutahu Mas Ezran berselingkuh, cintaku untuknya sedikit memudar. Hanya perih dan sakit yang bersamaan kurasa kini.

Berkali-kali kuseka air mataku saat memanjatkan doa dengan khusyuk, selepas salat berjamaah dan Mas Ezran masuk ke kamar lebih dahulu, membuat Laras yang ada di sampingku memiringkan kepalanya.

“Mama kenapa nangis?” tanya putriku. Ah, kenapa aku sekarang lebih melow begini? Bagaimana jika Laras curiga kalau aku dan Mas Ezran sedang ada masalah?

Setelah menyelesaikan doaku. Diri ini melirik Laras dan tersenyum manis padanya. Mencoba menutupi masalahku.

“Tidak, Sayang. Mama baik-baik saja,” jawabku sambil mengusap kepala Laras, putri manisku yang teramat aku sayangi.

“Terus kenapa Mama nangis saat berdoa?”

“Mama hanya teringat dengan nenek dan kakek. Sudah lama sekali kita belum ziarah ke makamnya. Gimana kalau pekan nanti kita ke makam mereka?” ajakku dan langsung dibalas anggukan oleh Laras.

Benar, selain kesedihanku ulah sang suami, aku pun teringat dengan nasihat Papa sebelum diri ini memutuskan menikah dengan Mas Ezran.

“Papa enggak akan melarangmu menikah. Hanya saja, apa kamu yakin dengan keputusanmu ini? Menikahlah dengan niat ibadah dan semata-mata karena Allah. Ingin mencari ridhanya bukan karena nafsu belaka.” Itulah salah satu nasehat dari Papa selama masih hidup. Sebab, Mas Ezran dulu tidak seperti sekarang.

Dia terkenal urakan dan suka sekali mabuk-mabukan. Meski dirinya salah satu putra keluarga kaya di kota ini, tetapi Papa terlihat kurang suka terhadap Mas Ezran. Menurut Mas Egi, suamiku dulu badboy, sehingga setiap hari ada saja kenakalan yang dia buat.

Namun, setelah mengejar-ngejarku, Mas Ezran mau merubah sikap dan kebiasaannya. Itu yang membuatku mantap untuk bersedia menjadi istrinya. Namun, tidak dengan kedua orang tuaku yang telah mengetahui kelakuan Mas Ezran dari awal. Perlu waktu berbulan-bulan untuk meyakinkan mereka agar merestui kami menikah.

Teringat masa lalu, diri ini seolah tertampar. Dulu, aku dan Mas Ezran menikah karena rasa saling cinta dan nafsu semata, bukan karena ibadah. Apa ini teguran dari Allah?

Benar!

Mungkin dari awal, niat kami menikah saja salah, sehingga Allah menegurku sekarang dan menghadirkan rasa ketertarikan untuk wanita lain di hati Mas Ezran.

Aku sungguh-sungguh merasa berdosa. Tak terasa mengingat itu semua cairan hangat mengalir dengan deras membanjiri pipi.

**

Malam begitu hening, hanya ada jam dinding yang berdetak terdengar dari kamar ini. Tempat di mana aku dan Mas Ezran saling terdiam sedari tadi. Setelah aku mengundur-undur waktu untuk mengobrol dengan suamiku tadi sesuai permintaannya. Akhirnya, aku sama sekali tidak dapat mengelak lagi kini.

Dan di sinilah aku berada, duduk di pinggir ranjang, dengan Mas Ezran berada di sampingku. Ia terus menatapku dan terlihat kikuk. Sedangkan, aku hanya melengoskan wajah ke arah lain. Tidak ingin terlihat sedikit pun kesedihan yang ada tampak di wajah ini.

“Mas ingin melanjutkan obrolan kita yang tadi siang sempat tertunda, Ras. Maaf, kalau secara tidak sengaja membuatmu terluka. Tapi ...,”

“Apa Mas mencintainya? Sejak kapan?” potongku cepat. Tak ingin berputar-putar. Dan memangnya untuk apa permintaan maaf Mas Ezran. Toh dia sudah mencabik-cabik perasaanku karena ulahnya.

“Maafkan aku ....”

“Aku tanya sekali lagi. Kapan Mas memiliki hubungan dengan Sinta? Dia sahabatku, Mas. Kenapa kalian tega sekali padaku?” cecarku membuatnya seketika terlihat menghela napas dalam.

“Semenjak Mas ketemu sama dia di restoran jepang langganan kita tiga bulan yang lalu, itu pertama kali kami makan bersama.”

Aku terbelalak, bukankah itu hari di mana aku tak datang makan malam romantis dengan Mas Ezran karena Laras tiba-tiba demam tinggi?

“Tega kamu, Mas!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status