Kini jarum ujung selang infus sudah masuk ke dalam kulit punggung tangan Anna. Selama sang dokter memberitahu kondisi kesehatan Anna serta langkah-langkah yang harus diambil ke depannya, wanita itu tetap tidak bergeming. Raden sesekali melirik ke arahnya dengan tatapan tidak mengenakkan. “Terima kasih sudah mau datang ke sini,” ucap Raden berterima kasih.
“Iya, tidak masalah. Kalau begitu saya pamit pulang dahulu.”
Setelah kamar kembali sepi, barulah Raden mengacak rambut dan melonggarkan dasinya. Gara-gaa Anna, dia belum pulang ke rumahnya untuk beristirahat.
“Untuk apa kamu ke sini?” tanya Anna langsung dengan tatapan iritasi kepada pria tersebut. “Tidak usah sok peduli, selama ini kamulah penyebab kesengsaraanku.”
“Kamu yakin aku adalah penyebabnya? Bukan dirimu sendiri?” balas Raden tidak senang. Meski begitu, dia tetap menjaga volume dan nada suara.
“Sekarang kamu pergi dari sini,” usirnya dengan dingin. Perempuan itu sudah melemparkan tatapan kosong ke tembok, padahal tidak ada yang bisa dilihat sama sekali. “Aku muak melihat wajahmu.”
Tangan kanan pria itu sudah mengepal keras. Apakah tembok lebih menarik dibanding wajahnya? “Baiklah! Aku pulang!”
Saat pintu kamar tertutup, barulah Anna menatap lurus ke pintu. Meski mulutnya diam, bisikan di bawah alam sadarnya mulai berteriak seperti kaset rusak.
“Bunuh dia. Bunuh dia. Bunuh sumber kesialanmu itu.”
*****
Setelah keadaannya berangsur pulih, Anna mau untuk makan lagi. Dia belum bisa melaksanakan niatnya. Memang dia sudah tidak waras, pikiran itu terus menghantuinya, tetapi Anna masih punya alasan kenapa dia bertahan diri.
Membunuh tidak akan menyelesaikan segalanya, justru menambah bebannya. Dia tidak seputus asa itu.
Setidaknya masih belum waktunya.
Tidak lama, Ibunya memberi pesan yang menyuruh Anna pergi ke pesta yang diadakan sang Ayah untuk bisnisnya. Katanya, kalau bisa, bawa Raden bersamanya. Tetapi tanpa ditanya pun Anna tahu Raden tidak akan mau.
Setibanya di sana, tidak ada perlakuan hangat sama sekali dari kedua orang tuanya. Mereka hanya berpura-pura baik kepadanya jika ada yang melihat. Sisanya, justru Ibu Anna, Masya, sengaja menyindir Anna dengan keras.
“Suami macam apa yang tidak memperhatikan istrinya sendiri? Atau ... mungkin kamu yang kurang bisa menarik perhatiannya?” Masya terus berceloteh tanpa memperhatikan perasaan Anna sama sekali.
Tidak apa-apa. Hati Anna sudah mati untuk orang tuanya. Setelah berkali-kali ia dijatuhkan oleh kedua tangan orang tuanya sendiri hanya demi mendapatkan kasih sayang, kini tujuan hidupnya berubah. Hanya impian mengenai kebebasanlah yang menahannya untuk tidak mati.
Akan tetapi, di saat Anna dipaksa duduk semeja dengan teman-teman Ibunya, hatinya sangat terusik.
"Memang menantuku tampak tidak begitu mencintai dia. Aku sudah sempat khawatir dengan kehidupan pernikahan mereka, namun Anna sangat memaksa untuk tetap menikah dengannya. Tapi lihat, akhirnya dia menjadi istri dari suami yang jarang ada di dekatnya."
Para perempuan sosialita itu saling bersipandang. Salah satunya menyahut agar Masya tidak terkesan berbicara kepada udara. "Memangnya siapa suaminya?"
"Suaminya adalah CEO PT. Ku--"
"Bu, hentikan."
"Raden Ezra Kusuma," beritahu Masya. Semua orang di meja itu terkejut secara kompak dan melihat ke Anna.
"Astaga? Raden? Bukankah dia selama ini mengaku masih lajang? Tidak ada yang tahu bahwa dia sudah menikah!" ucap salah satu wanita berambut pendek sebahu.
Masya mencoba sekali lagi untuk mengelus ujung kepala Anna, tapi anaknya tetap menolak. "Benar. Aku sudah menebak kalau menantuku akan bersikap seperti itu. Entah apa tujuannya, tapi dia tidak terlihat seperti ingin mengakui pernikahannya."
"Pasti karena dia adalah orang yang sibuk. Akhir-akhir ini perusahaan Kusuma sangat berkembang pesat. Bahkan katanya, Kusuma akan merambah ke sektor lain. Pasti lelaki itu tidak ada waktu untuk memperhatikan istrinya, kan?"
Sejak tahu bahwa suami Anna adalah Raden, orang-orang di meja itu semakin asik membicarakan mereka berdua. Padahal Anna ada di situ, bertahan diri sambil mendengar semua percakapan secara langsung.
Ini adalah ajang yang tepat bagi Masya untuk menjelekkan anaknya sendiri. "Benar. Tetapi, mungkin itu karena Anna belum bisa menghasilkan anak untuknya. Jadi, dia semakin tidak peduli dengan istrinya."
"Wah, bisa jadi."
Pada akhirnya Anna pulang lebih cepat dibanding seharusnya. Dibanding emosinya terus terkuras, lebih baik dia menghancurkan semua barang di rumahnya.
Akibat amarah tidak terbendung, kini rumahnya telah menjadi kapal pecah. Semua barang berbahan kaca sudah dilempar ke tembok dan tidak bisa diselamatkan. Beberapa barang elektronik ikut menjadi korban.
“SIALAN! RADEN SIALAN!” teriak Anna histeris. Matanya memerah, rambutnya yang ditata rapi sedemikian mungkin juga sudah berantakan. Semua pembantu dan pengawal tidak berani mendekatinya, takut manusia bisa menjadi sasarannya. “Ngapain kalian lihat-lihat aku, hah?! Mau mengejek juga?!”
“Bunuh dia! Bunuh dia!” Kalimat itu terus meronta-ronta meminta dilakukan.
Kali ini pikiran Anna sudah tidak bisa dibatasi. Terlebih saat Raden datang atas permintaan salah satu pembantu. Tentu saja lelaki itu terkejut setengah mati. Seakan akhirnya semua keresahan hati sang wanita terungkapkan juga. “Kamu ini kenapa, sih?!”
Kala pria tersebut melangkah mendekat, Anna berjalan mundur dan berteriak. “Berhenti di sana!”
“Kamu sudah tidak waras?!” sahut Raden. Oops, balasan yang salah. Tanpa ba bi bu, Anna mengiyakan tanpa berpikir ulang. “IYA! Aku sudah sakit tapi tidak ada yang mau peduli! Aku tetap diam tapi semua kesialan tetap kudapatkan! Kenapa?! Kamu mau menyalahkanku karena tidak bisa menjadi istri yang baik? Karena aku kurang menarik? Itulah kenapa kamu mengasingkanku di sini?”
Perlahan tetapi penuh kehati-hatian, Raden mencoba mendekat. Suaranya melembut setelah tertegun mendengar pernyataan tersebut. “Anna ... Kenapa kamu berpikir seperti itu?”
“Seharusnya kamu bertanya kepada dirimu sendiri! Aku tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi kenapa aku tetap berada di sini? Kenapa ... semuanya terasa serba salah?”
Lagi-lagi suara di dalam pikirannya berteriak, “Ambil kesempatan saat ini! Bunuh dia dengan pistol di belakangmu!”
Betul. Ada pistol yang selama ini dia sembunyikan di sebuah meja. Kini meja tersebut tepat berada di balik punggung. Cepat-cepat dia berbalik, membuka laci dengan kunci yang selama ini terus dia pegang. Dengan gerakan cepat, nyaris tidak terlihat, Anna berhasil menyembunyikan pistol di balik tubuh. Sedangkan Raden yang tak tahu apa pun bersikeras untuk mendekat. Namun, otaknya mulai memberi peringatan. “Apa yang kamu ambil di situ, Anna?”
“Huh? Kenapa kamu penasaran sekali?” Garis bibir itu mulai melengkung lebar. “Apa kamu mulai tertarik denganku? HAHAHA.”
Raden bergerak gesit untuk memeluk Anna. Niatnya, dia akan mengambil barang apa pun yang baru saja diambil wanita itu. Akan tetapi, ternyata tangan perempuan tersebut juga tidak kalah cepat. Dia menempatkan ujung pistol di dada Raden, tempat sumber kehidupan lelaki tersebut berada.
Keringat dingin menetes di dahi pria tersebut. Sejak kapan Anna memiliki pistol? “Anna ... sudah kuduga, kamu selicik itu. Pada akhirnya, menikahimu hanya menjadi salah satu caraku untuk bunuh diri.”
“Bunuh dia!”
“Tidak usah banyak bicara, brengsek!” Jari lentiknya menarik pelatuk pistol tersebut. Satu peluru yang tersisa di dalamnya segera menembus kain dan kulit pria tersebut. Tidak butuh waktu lama untuk peluru tersebut bersarang di dalamnya dan mengeluarkan banyak darah.
Raden melangkah mundur beberapa langkah, matanya membulat saat melihat telapak tangannya yang berusaha menahan kini sudah berdarah-darah. Semua orang di sana memekik tertahan.
“Sejujurnya, aku tidak ingin membunuhmu. Aku masih mau menjadi istri yang baik. Tapi, aku tidak bisa menahan suara di dalam kepalaku.”
Saat itu juga, tubuh Raden tersungkur dan matanya terpejam. Tidak lama, setelah Anna menatap tubuh sang suami dengan hening, dia pun ikut pingsan.
Setidaknya, walaupun dia tidak bisa menjadi istri yang baik, dia masih menjadi anak yang baik.
[Bersambung]
Tangan dengan sarung tangan putih kini mencoba untuk membersihkan luka yang diperkirakan berada di sekitar sumbernya. Seseorang yang baru saja datang berbisik kepada dokter itu. "Katanya, pasien ini baru saja terkena tembakan." Dokter tersebut mengangguk dan kembali membersihkan sisa-sisa darah. Kalau begitu, mereka harus segera melakukan operasi untuk mengangkat peluru di daerah sekitar jantung. Tetapi, tunggu ada yang aneh. "Bagian mana yang terkena tembakan?" "Daerah jantung." Alis sang dokter berkerut bingung. Ia mencoba menelusuri dengan tangannya, siapa tahu lukanya tidak terlihat--meski seharusnya terlihat. Namun, ternyata tidak ada kulit yang terasa bolong. Sumber lukanya pun menghilang. "Apakah dia benar-benar ditembak?" Di sisi lain, masih ada Anna yang jatuh pingsan. Karena dia tidak memiliki luka selain di kedua telapak tangan, maka dia hanya dirawat untuk satu malam saja. Salah satu asisten rumah tangga mengajukan diri untuk menga
Sampai keesokan harinya mereka masih berada dalam status tertukar tubuh. Jiwa Anna yang berada di dalam tubuh Raden pun baru menyadarkan diri. Namun, bedanya dia hanya berdiam saja. Membiarkan dokter dan perawat datang mengecek perkembangan kondisi tubuh. Tidak banyak percakapan yang terjadi selain menjawab pertanyaan sang dokter.Anna bisa beristirahat lebih tenang dan nyenyak meski ia sadar bahwa mereka sedang mengalami hal yang aneh.Sedangkan Raden yang berada di tubuh Anna terbangun setelah tertidur tiga jam yang lalu. Itu pun bukan karena dia bangun sendiri, melainkan dibangunkan oleh seseorang yang cukup kasar. "Hei, bangunlah!"Siapa yang berani memerintah seperti itu kepadaku? Walaupun dia belum benar-benar sadar diri, ia mendongakkan kepalanya dan mendapati seorang wanita beserta lelaki yang wajahnya sangat ia hafal."Apa yang sudah kamu lakukan?!" Suara wanita paruh baya tersebut meninggi, sama seperti kedua alisnya. "Rumahmu benar-ben
Mau dipikirkan berapa kali pun, hasilnya tetap nihil. Otak Anna sudah tidak kuat untuk berpikir lagi. Pertukaran tubuh saja sudah aneh, maka akan seaneh apa cara mengembalik tubuh mereka? Tidak mungkin jika mereka harus melalui prosedur berbahaya seperti yang ada di drama Korea, kan? “Berpikirlah....” gumam Anna terus menerus. Kaki kanannya terus mengetuk lantai mobil sampai membuat supirnya melirik heran. Tidak seperti biasanya Raden akan bersikap segelisah ini. Meski ada hal yang terus mengganggu pikirannya, setidaknya kakinya tidak akan membuat ketukan seribut ini. “Bapak kelihatannya tidak mau menemui Bu Anna, ya? Kita masih bisa kembali ke rumah lagi,” usul sang supir. Namun, Anna langsung menggeleng kepala. “Tidak apa-apa. Kita tetap pergi ke rumah Anna,” suruhnya. Perjalanan kembali dilanjutkan meski gelagatnya tetap mengatakan bahwa ia memiliki banyak pikiran. Bagaimana ini? Pasti nanti Raden akan bertanya apakah dia sudah mendapatkan solusiny
Setelah semua kembali normal, hari-hari terlewati begitu saja. Tidak ada yang berubah kecuali pengawasan Anna yang lebih ketat. Raden pun semakin menegaskan bahwa semua kepergian Anna harus dilaporkan ke dirinya. Anna tahu bahwa dia diawasi nyaris 24 jam. Akan tetapi, dia sudah tidak ada niatan untuk melakukan kekacauan lagi. Sudah cukup hari-hari itu menjadi luapan kegilaannya. Sayangnya, semesta tidak membiarkan Anna bersantai begitu saja. Ia mendapat pesan yang menyatakan,'Datang ke rumah. Ayah mau bicara denganmu.' Atas perintah sang suami, Anna memberitahu kepada lelaki tersebut melalui media pesan. Kemudian mengirimkan gambar pesan sebagai bukti. 'Apakah boleh?' tanyanya melalui pesan teks. 'Jam dua siang nanti. ASAP.' 'Ya.' Balasan singkat itu ditunjukkan Anna secara nyata kepada kedua pengawalnya. "Aku ingin pergi ke rumah keluargaku." Tibalah dia di rumah yang sudah lama tidak didatang
"Semua keberhasilanku juga karena Ayah dan Ibu, dong," sahut Elisa setelah sang Ibu sibuk memuji-muji dirinya di depan ketiga saudaranya. "Aku jadi tahu apa yang kuinginkan dan bisa melakukan yang terbaik di sana." "Baguslah kalau begitu, Nak," balas Malik dengan tatapan yang terpancar kehangatan penuh kasih sayang. "Kamu juga belum menemukan pasangan di sana, ya?" Elisa meringis, dia sudah menebak akan terjadi pembahasan mengenai pacar. Tentu saja, dia sudah berusia 28 tahun namun masih tetap single setelah tiga tahun lalu ia diputuskan oleh sang mantan. Sejak saat itu, dia lebih fokus pada pencapaian karirnya alih-alih memikirkan mengenai pernikahan. "Masih belum, Yah. Aku belum dapat calon yang pas." Beruntung, orang tuanya cukup santai mengenai itu. "Tidak apa-apa. Kamu tahu apa yang terbaik untukmu. Tapi, kalau kamu sudah punya calonnya, jangan lupa kenalkan pada kami, lho." "Aku jadi ingin seperti Kakak juga. Jadi wanita karir sukses du
Raden mencoba melepaskan dasi biru tua dengan sedikit kasar. Akhir-akhir ini ada banyak urusan pekerjaan yang membuat lebih lelah dibanding biasanya. Hatinya juga merasa gelisah seakan-akan ada suatu hal yang salah telah terjadi. Drrrtt! Drrrtt! Tanpa melihat siapa peneleponnya, Raden langsung menerima panggilan masuk tersebut. "Siapa ini?" "Raden." Ini adalah suara Anna. "Kenapa?" Dasinya berhasil terlepas dari leher dan ia gulung untuk ditaruh di tempat khusus dasi. "Apakah sekali saja kamu pernah menginginkanku?" tanyanya dari seberang sana. Pertanyaan acak macam apa itu? "Memangnya perlu kujawab--" "JAWAB SAJA!" Teriakan Anna benar-benar membuat gendang telinga Raden sakit. Namun, hal ini membuat hati Raden benar-benar bergemuruh. Meski kini di badannya hanya tersisa kemeja putih polos dan celana kerja yang masih rapi, Raden bergegas keluar dari kamar dan rumahnya. "Apa? Ulangi pe
Seharusnya semua telah berakhir. Seharusnya ia tidak lagi menarik nafas. Seharusnya tidak ada lagi cahaya lampu yang menyinari matanya. Seharusnya begitu. Akan tetapi, kenapa untuk mengakhiri hidup saja ia tidak bisa melakukannya? Sebuah kekecewaan langsung menghampiri ulu hatinya saat ia membuka mata dan mendapati langit-langit rumah sakit. Anna mencoba mengangkat tangan dan mendapati bagaimana telapak tangan mungilnya telah menjadi telapak tangan besar milik Raden. "Jadi ... aku kembali tertukar lagi, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Tentu saja tidak akan ada orang yang bisa menjawab hal itu. Anna menghela nafas lemas. Pada akhirnya dia tidak diperbolehkan semesta untuk menghadapi ajalnya sendiri. "Memangnya dosa besar apa yang sudah kuperbuat sampai-sampai pintu mautku pun tertutup?" "Pak Raden!" seru seseorang yang kembali setelah mendengar hasil analisa dokter. "Tadi anda pingsan di depan pintu rumah, kami jadi khawatir dengan kondisi kes
"Apakah Bapak baik-baik saja?" tanya Laila kepada Raden--lebih tepatnya Anna--yang saat ini baru saja memuntahkan isi perut setelah mendatangi rapat. Ini sangat aneh, tidak biasanya si Bos terlihat pucat saat memasuki ruangan rapat, tidak berbicara apapun, dan ketika kembali malah langsung muntah di toilet. Hal ini malah mengingatkan Laila pada demam punggungnya saat baru menjadi sekretaris. Namun, tidak mungkin tiba-tiba Raden mengalami demam panggung, kan? Raden keluar dan mendudukkan diri di sofa abu-abu empuk. Tangannya terus memijat dahi lantaran rasa pusing tidak segera menghilang. Sedangkan Laila menjadi sekretaris yang gesit untuk memberikan minyak angin kepada Raden. "Kelihatannya Bapak tidak enak badan hari ini. Bukankah lebih baik Bapak pulang saja daripada memaksakan diri seperti ini?" Anna menggeleng, menolak tawaran Laila. Sebentar lagi adalah jam pulang, maka dia masih mampu untuk bertahan sampai jam pulang tiba. "Bapak tidak akan lembu