Seharusnya semua telah berakhir. Seharusnya ia tidak lagi menarik nafas. Seharusnya tidak ada lagi cahaya lampu yang menyinari matanya. Seharusnya begitu.
Akan tetapi, kenapa untuk mengakhiri hidup saja ia tidak bisa melakukannya?
Sebuah kekecewaan langsung menghampiri ulu hatinya saat ia membuka mata dan mendapati langit-langit rumah sakit. Anna mencoba mengangkat tangan dan mendapati bagaimana telapak tangan mungilnya telah menjadi telapak tangan besar milik Raden.
"Jadi ... aku kembali tertukar lagi, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Tentu saja tidak akan ada orang yang bisa menjawab hal itu.
Anna menghela nafas lemas. Pada akhirnya dia tidak diperbolehkan semesta untuk menghadapi ajalnya sendiri. "Memangnya dosa besar apa yang sudah kuperbuat sampai-sampai pintu mautku pun tertutup?"
"Pak Raden!" seru seseorang yang kembali setelah mendengar hasil analisa dokter. "Tadi anda pingsan di depan pintu rumah, kami jadi khawatir dengan kondisi kes
"Apakah Bapak baik-baik saja?" tanya Laila kepada Raden--lebih tepatnya Anna--yang saat ini baru saja memuntahkan isi perut setelah mendatangi rapat. Ini sangat aneh, tidak biasanya si Bos terlihat pucat saat memasuki ruangan rapat, tidak berbicara apapun, dan ketika kembali malah langsung muntah di toilet. Hal ini malah mengingatkan Laila pada demam punggungnya saat baru menjadi sekretaris. Namun, tidak mungkin tiba-tiba Raden mengalami demam panggung, kan? Raden keluar dan mendudukkan diri di sofa abu-abu empuk. Tangannya terus memijat dahi lantaran rasa pusing tidak segera menghilang. Sedangkan Laila menjadi sekretaris yang gesit untuk memberikan minyak angin kepada Raden. "Kelihatannya Bapak tidak enak badan hari ini. Bukankah lebih baik Bapak pulang saja daripada memaksakan diri seperti ini?" Anna menggeleng, menolak tawaran Laila. Sebentar lagi adalah jam pulang, maka dia masih mampu untuk bertahan sampai jam pulang tiba. "Bapak tidak akan lembu
Untuk kembali ke tubuh masing-masing tanpa bertele-tele, mereka melakukan ciuman cepat di dalam mobil. Setelah itu, tiga hari kemudian ada kedatangan seorang psikiater ke rumah Anna. Persis dengan janji Raden di hari itu. Tentu saja Anna menolak, dia tidak ingin bertemu sama sekali. Obat-obatan tidak akan berhasil menyembuhkan luka kehidupannya. Untuk apa Raden bersikeras untuk sesuatu yang sia-sia? Namun, Anna sadar bahwa Raden melakukan itu karena dia memang tidak mengerti keadaan sang istri yang sebenarnya. Raden memaksakan pikirannya yang berkata tindakan itu adalah hal baik, tanpa memedulikan pendapat Anna sama sekali. "Kumohon, setelah ini jangan datang lagi. Anggap saja aku memperbolehkanmu untuk makan gaji buta," ujar Anna kepada psikiater yang berkacamata itu. Dengan tatapan yang memelas, sang psikiater menghela nafas. Dia sudah mencoba agar bisa berbicara dengan Anna, tapi yang didapatkannya adalah penolakan terang-terangan. Masalahnya, jika
Tidak ada yang tahu sama sekali bagaimana pesan itu bisa terkirim. Saat Raden meminta salah satu pegawai handalnya memeriksa siapa pengirim surel tersebut, dia hanya mendapatkan bahwa alamatemail tersebut masih baru dan tidak ada akun media apapun yang terhubung denganemailitu. Sedangkan di Anna, wanita itu sudah mencoba untuk menanyai sang pembawa makanan, tapi hasilnya juga nihil. Katanya orang tersebut tidak merasa ada surat terselip ketika ia membawa makanannya. Surat tersebut baru muncul ketika Anna datang. Ini lebih menyeramkan dibanding film horor mana pun. "Apa yang harus kita lakukan kalau begitu?" Dahi lelaki tersebut sudah berkerut sejak datang ke rumah Anna. Astaga, lama-lama kerutan samar akan timbul meski umur Raden masih cukup muda. Orang yang diajak berpikir bersama malah tidak merespon. Mata Raden melirik, rupanya Anna lebih memilih menghirup dan menghisap teh chamomile di cangkirnya alih-alih menjawab pert
Masya menatap aneh ke mobil yang ada di depan mereka. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju restoran yang ditentukan oleh Raden. Otomatis mobil Malik yang mengikuti mobil Raden. "Apa hubungan mereka benar-benar sudah membaik?" Malik tetap diam tetapi matanya terus memperhatikan mobil Raden dengan fokus. Saat Masya melirik, dia tahu bahwa suaminya sedang memikirkan hal yang sama. "Aneh, bukan?" "Memangnya itu hal yang aneh? Bukannya bagus, ya?" tanya Erik berbisik ke Ariel. Leher Ariel merinding akibat hembusan nafas aneh Erik. Namun, ia hanya menjawab singkat sesuai yang ia ketahui. "Entahlah. Buat apa kita pikirkan juga." Oops, Erik bertanya pada kakak yang salah. Ariel adalah saudara yang paling tidak peduli dengan Anna. Sejak dahulu saat wanita itu masih di rumah mereka, Ariel sangat jarang untuk berinteraksi dengannya. Tak ada keinginan dari Ariel atau Anna untuk memulai percakapan. Tidak ada yang tahu bagaimana mereka bisa bertahan dari
Sebagai pengisi kesunyian, radio musik sengaja Raden nyalakan. Setidaknya ini akan membantu mereka agar merasa lebih nyaman meski tidak saling mengobrol. Saat ini rintik-rintik air jatuh dan mengenai kaca jendela mobil. Hujannya hanya berupa gerimis, tidak deras tetapi tidak mau berhenti sama sekali. Ketika ia memandangi butiran-butiran air tersebut, Raden jadi teringat pada hari itu. Hari saat menjelang tanggal pernikahan. Ingatannya masih segar untuk mengulang ulang rekaman tersebut."Dia adalah anak yang pendiam dan juga penurut. Kamu tidak akan kesusahan menghadapinya." Suara Masya saat itu terdengar ceria dan lembut. Tangan kirinya sibuk mengelus bahu Anna yang berdiri kaku. Melihat bagaimana Anna tidak merespon sama sekali membuat Raden memperkirakan hal yang sama. "Kami mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Saya harap setelah anda menjadi suaminya, Anna bisa mendapat perlakuan yang baik juga," ujar wanita tersebut. Kala
Sepuluh hari kemudian, Raden kembali menghubungi sang istri dan menyuruh mereka untuk bertemu di sebuah restoran. "Ada apa?" "Aku ingin menawarkan sesuatu." Lelaki itu tidak sedang ingin banyak berbasa-basi hingga langsung menyebutkan tujuannya. "Aku merasa kamu pun akan menginginkan tawaran ini." Anna memutar mata malas. Apalagi yang ingin Raden lakukan terhadapnya? Omong-omong lelaki itu lebih cerewet dibanding biasanya. Hal itu patut dicurigai. "Apa?" "Aku ingin kita bertukar tubuh hanya untuk dua minggu ke depan." Kini wanita di hadapannya mengernyit dengan mata melebar, sudah jelas ada tanda tanya di dahinya. Apa yang membuat Raden mau melakukan itu? Bukankah pertukaran tubuh akan lebih merugikan pihak lelaki tersebut? "Pasti kamu mau mengerjaiku, kan?" tanya Anna tidak percaya. Lagipula untuk apa Anna mau melakukan itu juga? "Kamu tahu kan apa maksudnya kalau kita bertukar tubuh? Artinya salah satu dari kita harus bu--" "Iya, aku
"Kak, maafkan aku."Ponselnya segera dijauhkan dari telinga agar Raden bisa mengecek ulang siapa peneleponnya. Elisa, saudara Anna. Kenapa dia berkata-kata seperti itu? "Ada apa memangnya? Kok tiba-tiba sekali?"Setelah ia bertanya seperti itu, Elisa seperti sedang mempersiapkan kalimat-kalimat yang hendak disampaikan. "Karena aku sudah jahat ke kamu."Pikiran Raden semakin menjadi-jadi saat mendengar itu. Memangnya wanita seperti Elisa bisa menjahati seseorang? Apalagi orang itu adalah Anna yang notabenenya lebih galak dibandingnya? Atau sebelum mereka bertukar tubuh, kedua bersaudara itu sedang bertengkar?Untuk bertanya, Raden mencoba dengan cara sealami mungkin. "Jahat? Aku tidak ingat kalau kamu sudah berbuat hal yang aneh-aneh ke aku."Semoga saja jawabannya tidak terdengar aneh."Bukan itu, Kak. Maksudku untuk selama ini. Sejak kecil sampai sekarang. Maaf kalau aku kesannya pengecut, tapi aku baru bisa mengakui kalau tindakan orang tu
Kafe, 12.30 Mereka sudah berada di kafe yang jadi titik pertemuan mereka. Karena Raden yang tiba terlebih dahulu, sudah ada secangkir amerikano panas terhidang di atas meja. Dalam hati Elisa bertanya-tanya, sejak kapan Anna menyukai amerikano? Biasanya Kakaknya akan meminum amerikano jika baru melakukan tugas berat. Tetapi, bukankah sejak menjadi istri dari Raden, Anna nyaris tidak pernah menyentuh pekerjaan sama sekali? "Pesanlah sesuatu," sambut Raden sekaligus menyuruh Elisa. Ia mengira bahwa Elisa haus karena melirik ke kopinya, sama sekali tidak terpikirkan akan hal lain. Setelah minuman sekaligus makanan yang Elisa pesan sudah datang, mereka bisa memulai percakapan dengan santai. "Sebelum kamu mengatakan niatmu, apakah kamu bisa menjelaskan alasan kamu melakukannya secara mendadak? Setelah semua yang terjadi, apa yang mendorongmu untuk melakukan ini?" Itu merupakan pancingan yang cukup halus dan alami. Elisa terus mengiris makanannya dan menjawa