Mau dipikirkan berapa kali pun, hasilnya tetap nihil. Otak Anna sudah tidak kuat untuk berpikir lagi. Pertukaran tubuh saja sudah aneh, maka akan seaneh apa cara mengembalik tubuh mereka? Tidak mungkin jika mereka harus melalui prosedur berbahaya seperti yang ada di drama Korea, kan?
“Berpikirlah....” gumam Anna terus menerus. Kaki kanannya terus mengetuk lantai mobil sampai membuat supirnya melirik heran. Tidak seperti biasanya Raden akan bersikap segelisah ini. Meski ada hal yang terus mengganggu pikirannya, setidaknya kakinya tidak akan membuat ketukan seribut ini.
“Bapak kelihatannya tidak mau menemui Bu Anna, ya? Kita masih bisa kembali ke rumah lagi,” usul sang supir. Namun, Anna langsung menggeleng kepala.
“Tidak apa-apa. Kita tetap pergi ke rumah Anna,” suruhnya. Perjalanan kembali dilanjutkan meski gelagatnya tetap mengatakan bahwa ia memiliki banyak pikiran.
Bagaimana ini? Pasti nanti Raden akan bertanya apakah dia sudah mendapatkan solusinya. “Ck, padahal dia sendiri pasti tidak akan menemukan solusinya.”
Entah ini hanya perasaan sang supir atau memang begitu realitanya, sang supir merasa sejak pulang dari rumah sakit, sikap Raden sangat aneh. Seperti orang gila. Tapi, tidak mungkin bosnya sudah gila, kan? Mentalnya masih baik-baik saja, kan?
*****
Setelah seminggu dirawat, katanya tubuh Raden sudah membaik dan diperbolehkan keluar. "Baguslah kalau begitu, aku ingin melihat bagaimana cara dia mengembalikan tubuhku," desis Raden.
Sekretaris Raden yang dipaksa untuk mengikuti tubuh Anna--Raden memang sengaja belum memberitahu sekretarisnya lantaran ia merasa malu--hanya diam meski penuh kebingungan.
Bagaimana bisa secara tiba-tiba istri bosnya mengambil alih semua pekerjaan Raden dengan lihai? Seakan-akan Anna adalah Raden. Anna juga menyuruh Laila untuk mencari tahu informasi mengenai Raden tanpa mau menemui lelaki tersebut. Sama persis seperti bagaimana Raden bertindak selama ini.
Ketika ditanya, Raden sendiri hanya menyuruh ia menurutinya dengan malas. Tidak terlihat marah sama sekali karena semua pekerjaannya diambil alih sang istri.
Sang sekretaris kebingungan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Bukankah ini aneh?" ujar Raden tiba-tiba. Laila kembali berjaga-jaga karena raut muka Anna terlihat sangat serius saat menerima laporan resign dari beberapa pegawai. "Mereka seperti kompak keluar dalam waktu dekat. Jumlahnya juga bukan satu dua orang saja, tapi dua puluh! Meski beda divisi, aku merasa ada yang salah dengan jumlah pegawai yang mundur. Apakah HRD kita melakukan hal yang benar? Atau ada sesuatu yang melenceng tanpa sepengetahuanku?"
Semisalnya terjadi korupsi sampai-sampai gaji pegawai menjadi tertahan?
"Saya akan mencarinya lebih lanjut. Saya harap kemungkinan terburuk tidak terjadi sungguhan di dalam perusahaan kita."
"Tentu saja kalau hal itu sungguhan ada, saya akan mengurusnya secara langsung. Tidak mungkin seorang CEO duduk diam ketika melihat perusahaannya hancur perlahan."
Lihat, bahkan Anna pun memanggil dirinya sebagai CEO. Padahal status sebenarnya adalah istri dari CEO. Sebenarnya ingin sekali Laila berkomentar, tapi demi keselamatan posisinya, wanita tersebut hanya diam dan patuh.
"Ibu, Pak Raden sudah datang," lapor seseorang dari luar kamar. Semua pekerjaan yang dilakukan Raden langsung berhenti. Ia bergegas berdiri dan membuka pintu. Di situ ia langsung disambut dengan pemandangan tinggi tubuhnya sendiri. Selain itu, ada juga seorang pembantu yang hendak masuk untuk membersihkan cairan kopi yang sempat tumpah akibat kelalaian sekretaris.
“Cepat bersihkan lalu kalian semua bisa meninggalkan kami sendirian di kamar ini.” Raden memberikan perintah yang tegas meski saat ini ia berada di tubuh Anna. Sedangkan Anna sendiri hanya diam dan menurut.
Sekretaris Raden segera keluar, begitu juga dengan pembantu yang buru-buru dalam melaksanakan tugasnya. Setelah keluar, pintu tertutup dan bisa Raden pastikan tidak akan ada orang yang berani menguping pembicaraan mereka.
Sebelum Raden bertanya bagaimana solusinya, Anna sudah berceletuk dahulu, "Jadi, akhirnya kamu membuat ruang kerja baru di rumahku karena tidak bisa bekerja di kantormu seperti biasa?"
Dengan sudut bibir kanan yang terangkat tipis, senyuman licik terbentuk di bibir Anna. Raden memutar mata malas, dia tidak terbiasa melihat dirinya sendiri malah tersenyum licik. "Seingatku, rumah ini masih atas nama Raden Ezra Kusuma. Secara otomatis, rumah ini masih milikku. Jadi, aku berhak melakukan apa pun terhadap rumah ini. Termasuk menjadikan ruangan kosong untuk ruang kerja baruku.”
Anna berdecak karena tidak mampu membalas fakta tersebut. Jadi, tanpa basa-basi lagi, Raden langsung melemparkan pertanyaan. "Apa kamu sudah menemukan solusinya?"
“Tidak,” jawab Anna secara jujur dan langsung ke poinnya.
Mulut Raden sedikit terbuka, tidak percaya dengan jawaban Anna. “Terus selama di rumah sakit, kamu ini ngapain saja?”
Mendengar nada suara Raden meninggi, Anna ikut meninggikan suaranya. “Menunggu tubuhmu sembuh, lah! Memangnya kamu kira orang sakit bisa berpikir, begitu?”
“Aku bisa.”
“Itu karena kamu adalah kamu!” Entah kenapa mereka malah menjadi berdebat untuk hal di luar topik. “Ck! Coba saja kamu lakukan sendiri, memangnya kamu akan mendapatkan jawabannya?”
Raden menelan ludahnya. Sebenarnya dia sudah berusaha memikirkan solusinya juga, tapi tidak ada satu ide pun yang terbersit dalam pikirannya. Tangan kirinya segera memijat kening yang terasa nyeri, sedangkan tangan kannya hendak memegang meja kerja sebagai tumpuan. Namun, dia lupa kalau saat ini jaraknya pada meja cukup jauh.
Lantai yang saat ini kakinya pijak pun adalah lantai yang masih basah sehingga dirinya terjungkal ke belakang. Ekor mata Anna yang menangkap kejadian tersebut ikut refleks meraih pinggang Raden—yang di mana itu adalah tubuhnya sendiri. Bukannya berhasil menahan Raden agar tidak terjatuh, justru kaki Anna pun tidak sengaja terpeleset licinnya sabun dan air di lantai.
Ketika punggung Raden berhasil menyentuh tanah, tanpa sengaja bibir mereka saling bertemu dan bersentuhan.
Namun, tidak ada yang menyadarinya karena mereka sudah terlanjur panik. Ketika mata mereka tertutup dan suara jatuh bergema keras, barulah sensasi aneh di bibir menjadi terasa.
‘Tunggu ... tidak mungkin, kan?’ Anna menjadi orang pertama yang membuka mata dan terkesiap melihat betapa dekatnya wajah Raden saat ini. Bukannya menjauh, wanita tersebut malah membatu.
Saat Raden membuka mata dan menyadari bagaimana ciuman tanpa sengaja telah terjadi, ia buru-buru bangun dari posisinya. “Tadi kamu sengaja menciumku?”
Hah? Pertanyaan gila macam apa itu? “Tidak mungkin, lah!” seru Anna keras. “Tadi, kan, kamu terjatuh. Makanya aku—sebentar! Suaraku kembali!”
Barulah mereka sadar bahwa jiwa mereka kembali ke tubuh yang benar. Raden mencoba meraba kulitnya, bahkan mencubit keras untuk mengetahui apakah ini nyata. “Kita sudah kembali, nih?”
“Wah.” Mata Anna melotot, ia terkejut melihat semuanya berlalu sangat cepat. “Kalau begitu ... Apakah solusinya adalah berciuman?”
Kepala Raden menoleh, dahinya mengernyit tidak yakin. Akan tetapi, jika dipikirkan lagi, mungkin saja solusinya memang sekonyol itu. “Maksudmu, kita harus berciuman lagi jika seandainya tubuh kita tertukar?”
“Tentu. Tapi, tenang. Aku tidak akan mau membunuhmu lagi agar tubuh kita tidak tertukar. Siapa juga yang mau bertukar tubuh dengan dirimu? Aku juga tidak ingin kita berciuman lagi!” Suara Anna meninggi tanpa alasan. Raden hanya berdeham saja sembari memperhatikan bagaimana pipi Anna yang memerah.
“Jangan bilang kamu belum pernah berciuman?” Pertanyaan Raden seakan adalah jarum untuk meledakkan balon kepolosan Anna.
“Tentu saja tidak! Mana mungkin aku berciuman dengan orang lain? Memangnya kamu pernah?!”
“Pernah.”
“Apa?! Sama siapa?” Raden melangkah menjauh dan membuka pintu.
“Aku rasa itu bukan sesuatu yang harus dibahas. Sekarang aku akan pergi dari sini. Kuharap kejadian ini tidak lagi terjadi.” Raden pergi dan meninggalkan Anna dalam rasa penasaran. Tangan kanan Anna mengepal erat kala pipinya sudah merah bagai tomat rebus.
Sialan, kenapa dia malah tidak menyukai fakta Raden pernah berciuman dengan seseorang?
“Sudah, sudah. Hentikan pemikiran gila ini,” ucapnya pada diri sendiri. “Sekarang yang terpenting adalah aku sudah kembali ke tubuhku. Tidak usah pikirkan tentang Raden. Untuk apa aku memikirkannya?”
Wanita tersebut keluar dari ruang kerja Raden dan kembali ke kamarnya.
Setelah semua hal yang terjadi, kini Anna harus menghadapi kenyataan bahwa ia kembali menjadi sang ratu yang kesepian di kastil mewahnya.
[Bersambung]
Setelah semua kembali normal, hari-hari terlewati begitu saja. Tidak ada yang berubah kecuali pengawasan Anna yang lebih ketat. Raden pun semakin menegaskan bahwa semua kepergian Anna harus dilaporkan ke dirinya. Anna tahu bahwa dia diawasi nyaris 24 jam. Akan tetapi, dia sudah tidak ada niatan untuk melakukan kekacauan lagi. Sudah cukup hari-hari itu menjadi luapan kegilaannya. Sayangnya, semesta tidak membiarkan Anna bersantai begitu saja. Ia mendapat pesan yang menyatakan,'Datang ke rumah. Ayah mau bicara denganmu.' Atas perintah sang suami, Anna memberitahu kepada lelaki tersebut melalui media pesan. Kemudian mengirimkan gambar pesan sebagai bukti. 'Apakah boleh?' tanyanya melalui pesan teks. 'Jam dua siang nanti. ASAP.' 'Ya.' Balasan singkat itu ditunjukkan Anna secara nyata kepada kedua pengawalnya. "Aku ingin pergi ke rumah keluargaku." Tibalah dia di rumah yang sudah lama tidak didatang
"Semua keberhasilanku juga karena Ayah dan Ibu, dong," sahut Elisa setelah sang Ibu sibuk memuji-muji dirinya di depan ketiga saudaranya. "Aku jadi tahu apa yang kuinginkan dan bisa melakukan yang terbaik di sana." "Baguslah kalau begitu, Nak," balas Malik dengan tatapan yang terpancar kehangatan penuh kasih sayang. "Kamu juga belum menemukan pasangan di sana, ya?" Elisa meringis, dia sudah menebak akan terjadi pembahasan mengenai pacar. Tentu saja, dia sudah berusia 28 tahun namun masih tetap single setelah tiga tahun lalu ia diputuskan oleh sang mantan. Sejak saat itu, dia lebih fokus pada pencapaian karirnya alih-alih memikirkan mengenai pernikahan. "Masih belum, Yah. Aku belum dapat calon yang pas." Beruntung, orang tuanya cukup santai mengenai itu. "Tidak apa-apa. Kamu tahu apa yang terbaik untukmu. Tapi, kalau kamu sudah punya calonnya, jangan lupa kenalkan pada kami, lho." "Aku jadi ingin seperti Kakak juga. Jadi wanita karir sukses du
Raden mencoba melepaskan dasi biru tua dengan sedikit kasar. Akhir-akhir ini ada banyak urusan pekerjaan yang membuat lebih lelah dibanding biasanya. Hatinya juga merasa gelisah seakan-akan ada suatu hal yang salah telah terjadi. Drrrtt! Drrrtt! Tanpa melihat siapa peneleponnya, Raden langsung menerima panggilan masuk tersebut. "Siapa ini?" "Raden." Ini adalah suara Anna. "Kenapa?" Dasinya berhasil terlepas dari leher dan ia gulung untuk ditaruh di tempat khusus dasi. "Apakah sekali saja kamu pernah menginginkanku?" tanyanya dari seberang sana. Pertanyaan acak macam apa itu? "Memangnya perlu kujawab--" "JAWAB SAJA!" Teriakan Anna benar-benar membuat gendang telinga Raden sakit. Namun, hal ini membuat hati Raden benar-benar bergemuruh. Meski kini di badannya hanya tersisa kemeja putih polos dan celana kerja yang masih rapi, Raden bergegas keluar dari kamar dan rumahnya. "Apa? Ulangi pe
Seharusnya semua telah berakhir. Seharusnya ia tidak lagi menarik nafas. Seharusnya tidak ada lagi cahaya lampu yang menyinari matanya. Seharusnya begitu. Akan tetapi, kenapa untuk mengakhiri hidup saja ia tidak bisa melakukannya? Sebuah kekecewaan langsung menghampiri ulu hatinya saat ia membuka mata dan mendapati langit-langit rumah sakit. Anna mencoba mengangkat tangan dan mendapati bagaimana telapak tangan mungilnya telah menjadi telapak tangan besar milik Raden. "Jadi ... aku kembali tertukar lagi, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Tentu saja tidak akan ada orang yang bisa menjawab hal itu. Anna menghela nafas lemas. Pada akhirnya dia tidak diperbolehkan semesta untuk menghadapi ajalnya sendiri. "Memangnya dosa besar apa yang sudah kuperbuat sampai-sampai pintu mautku pun tertutup?" "Pak Raden!" seru seseorang yang kembali setelah mendengar hasil analisa dokter. "Tadi anda pingsan di depan pintu rumah, kami jadi khawatir dengan kondisi kes
"Apakah Bapak baik-baik saja?" tanya Laila kepada Raden--lebih tepatnya Anna--yang saat ini baru saja memuntahkan isi perut setelah mendatangi rapat. Ini sangat aneh, tidak biasanya si Bos terlihat pucat saat memasuki ruangan rapat, tidak berbicara apapun, dan ketika kembali malah langsung muntah di toilet. Hal ini malah mengingatkan Laila pada demam punggungnya saat baru menjadi sekretaris. Namun, tidak mungkin tiba-tiba Raden mengalami demam panggung, kan? Raden keluar dan mendudukkan diri di sofa abu-abu empuk. Tangannya terus memijat dahi lantaran rasa pusing tidak segera menghilang. Sedangkan Laila menjadi sekretaris yang gesit untuk memberikan minyak angin kepada Raden. "Kelihatannya Bapak tidak enak badan hari ini. Bukankah lebih baik Bapak pulang saja daripada memaksakan diri seperti ini?" Anna menggeleng, menolak tawaran Laila. Sebentar lagi adalah jam pulang, maka dia masih mampu untuk bertahan sampai jam pulang tiba. "Bapak tidak akan lembu
Untuk kembali ke tubuh masing-masing tanpa bertele-tele, mereka melakukan ciuman cepat di dalam mobil. Setelah itu, tiga hari kemudian ada kedatangan seorang psikiater ke rumah Anna. Persis dengan janji Raden di hari itu. Tentu saja Anna menolak, dia tidak ingin bertemu sama sekali. Obat-obatan tidak akan berhasil menyembuhkan luka kehidupannya. Untuk apa Raden bersikeras untuk sesuatu yang sia-sia? Namun, Anna sadar bahwa Raden melakukan itu karena dia memang tidak mengerti keadaan sang istri yang sebenarnya. Raden memaksakan pikirannya yang berkata tindakan itu adalah hal baik, tanpa memedulikan pendapat Anna sama sekali. "Kumohon, setelah ini jangan datang lagi. Anggap saja aku memperbolehkanmu untuk makan gaji buta," ujar Anna kepada psikiater yang berkacamata itu. Dengan tatapan yang memelas, sang psikiater menghela nafas. Dia sudah mencoba agar bisa berbicara dengan Anna, tapi yang didapatkannya adalah penolakan terang-terangan. Masalahnya, jika
Tidak ada yang tahu sama sekali bagaimana pesan itu bisa terkirim. Saat Raden meminta salah satu pegawai handalnya memeriksa siapa pengirim surel tersebut, dia hanya mendapatkan bahwa alamatemail tersebut masih baru dan tidak ada akun media apapun yang terhubung denganemailitu. Sedangkan di Anna, wanita itu sudah mencoba untuk menanyai sang pembawa makanan, tapi hasilnya juga nihil. Katanya orang tersebut tidak merasa ada surat terselip ketika ia membawa makanannya. Surat tersebut baru muncul ketika Anna datang. Ini lebih menyeramkan dibanding film horor mana pun. "Apa yang harus kita lakukan kalau begitu?" Dahi lelaki tersebut sudah berkerut sejak datang ke rumah Anna. Astaga, lama-lama kerutan samar akan timbul meski umur Raden masih cukup muda. Orang yang diajak berpikir bersama malah tidak merespon. Mata Raden melirik, rupanya Anna lebih memilih menghirup dan menghisap teh chamomile di cangkirnya alih-alih menjawab pert
Masya menatap aneh ke mobil yang ada di depan mereka. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju restoran yang ditentukan oleh Raden. Otomatis mobil Malik yang mengikuti mobil Raden. "Apa hubungan mereka benar-benar sudah membaik?" Malik tetap diam tetapi matanya terus memperhatikan mobil Raden dengan fokus. Saat Masya melirik, dia tahu bahwa suaminya sedang memikirkan hal yang sama. "Aneh, bukan?" "Memangnya itu hal yang aneh? Bukannya bagus, ya?" tanya Erik berbisik ke Ariel. Leher Ariel merinding akibat hembusan nafas aneh Erik. Namun, ia hanya menjawab singkat sesuai yang ia ketahui. "Entahlah. Buat apa kita pikirkan juga." Oops, Erik bertanya pada kakak yang salah. Ariel adalah saudara yang paling tidak peduli dengan Anna. Sejak dahulu saat wanita itu masih di rumah mereka, Ariel sangat jarang untuk berinteraksi dengannya. Tak ada keinginan dari Ariel atau Anna untuk memulai percakapan. Tidak ada yang tahu bagaimana mereka bisa bertahan dari