Share

Bab 3

Tujuh hari sudah berlalu, sebenarnya Zia masih belum bisa percaya dengan kenyataan ini. Terkadang dia masih menganggap Danu hanya pergi ke luar kota untuk bekerja dan akan pulang besok atau lusa. Selama tujuh hari ini, ayah dan adiknya masih setia menemani. Mereka takut kalau di tinggal sendirian Zia akan merasa kesepian dan sangat sedih atau bahkan melakukan hal yang tidak terduga.

"Zia, kapan kamu akan datang ke kantor almarhum Danu?" tanya Ramat.

"Mungkin besok, Yah. Kemarin bagian HRD kantor sudah telepon dan berkata jika ada beberapa dokumen yang memerlukan tanda tangan Zia," jawab putri sulung dari Rahmat.

"Mau Ayah temani?" tawar Rahmat.

"Tidak usah, Zia bisa sendiri, Yah," tolak Zia, dia tidak mau merepotkan sang ayah.

"Lalu tentang wanita yang bersama Danu di dalam mobil itu, apa ada pihak keluarga yang menghubungi kamu, Zi?" tanya Rahmat hati-hati, takut menyinggung perasaan putri sulungnya.

Zia menggeleng, "Tidak, Yah. Dari pihak kepolisian hanya menjelaskan kalau wanita tersebut sudah di urus oleh keluarganya," jawab Zia pelan juga.

"Apa kamu benar-benar tidak mengenal wanita itu, Nak?" lagi, Rahmat bertanya, jujur saja dia masih sangat penasaran.

Si sulung kembali menggeleng, pasalnya Zia memang benar-benar tidak tahu. Bahkan polisi seakan menutupi identitas wanita itu. Saat di rumah sakit untuk mengurus jenazah Danu, dia bahkan tidak melihat bagaimana keadaan wanita itu karena langsung di urus oleh keluarganya. Bahkan Zia pun tidak sempat mencari tahu karena dia sangat syok saat itu.

"Ya sudah, tidak usah dipikirkan, mungkin dia salah satu rekan bisnis dari kantor Danu. Sudah malam, Nak, kita istirahat dulu, yuk!" ajak Rahmat akhirnya.

"Ya, Yah. Sebentar lagi, nanggung udah hampir beres, kok," jawab si sulung.

Rahmat mengangguk, "Oiya, Zi, besok Ayah mau pulang dulu sebentar tidak apa-apa?"

Zia tersenyum, dia benar-benar merasa tidak enak hati sudah merepotkan ayahnya. "Nggak apa-apa, Yah" jawabnya.

"Ya udah, kalau begitu Ayah istirahat dulu, ya," pamit lelaki yang sebagian besar rambutnya sudah beruban itu. Zia hanya mengangguk sambil menatap punggung ayahnya yang berjalan menjauh.

Rumah sudah sepi kembali. Zila beserta suami dan anaknya sudah pulang setelah acara tahlil tujuh hari almarhum Danu tadi karena besok adiknya harus bertugas ke luar kota. Kini Zia hanya tinggal berdua dengan Rahmat, ayahnya. Ibu mertua dan kedua adik Danu pun sudah pulang ke rumah mereka karena memang kesehatan sang ibu mertua yang tidak memungkinkan untuk belama-lama di rumah ini.

Setelah selesai membereskan dapur Zia masuk ke kamar untuk istirahat. Wanita itu berbaring di ranjang, matanya menatap ke langit-langit kamar. Pikirannya kembali menerawang, apa yang akan dia lakukan setelah ini, juga tentang misteri wanita yang tewas bersama Danu. Mungkin dia akan mencari pekerjaan untuk melanjutkan hidup karena selama menjadi istri Danu, dia dilarang bekerja. Tadinya Zia menolak dan ingin tetap bekerja membantu suaminya tetapi setelah mengalami keguguran akhirnya wanita itu menuruti kemauan sang suami. Dan tentang misteri wanita itu, Zia hanya pasrah, biarlah waktu yang akan menjelaskan semua.

Nazia meraih baju koko terakhir dipakai oleh almarhum suami yang belum sempat dia cuci. Wanita itu mendekapnya erat dan mencium baju itu karena masih ada aroma tubuh sang suami yang tertinggal di sana untuk sekedar melepas rindu. Sekilas kenangan saat mereka bersama kembali melintas dan membuatnya terisak. Namun dengan cepat dia membekap mulutnya sendiri. Dia tidak mau jika isaknya terdengar oleh ayahnya. Zia tahu, dia harus ikhlas melepaskan kepergian Danu agar suaminya tenang di sana. Namun sebagai manusia biasa dia juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika masih belum rela dengan kepergian sang suami dan merasa takdirnya saat ini sangat kejam.

Selama beberapa hari ini Zia selalu melakukan hal ini saat sedang sendiri di kamar kemudian tanpa terasa dia akan tertidur sambil terus mendekap baju itu karena lelah. Wanita itu berharap bertemu dengan almarhum suaminya di alam mimpi untuk sekedar melepas rindu.

*****

Rafqi sudah mendapatkan informasi tentang siapa Danu, laki-laki yang ikut tewas dalam kecelakaan bersama Puspa, mendiang istrinya itu. Dari awal dia sudah menduga dan ternyata memang tidak salah apa yang ada di pikirannya. Lelaki itu mendesah untuk kesekian kali meredakan segala kegundahan hatinya. Dia bingung, bagaimana seandainya papa dan mamanya tahu tentang kenyataan ini. Terlebih sang mama, sudah pasti beliau akan sangat kecewa jika mengetahui bagaimana rumah tangganya dengan Puspa sebenarnya.

Lelaki itu memandang sekali lagi berkas-berkas yang diberikan oleh seseorang beberapa hari lalu itu. Di sana ada foto seorang lelaki dengan wanita yang kemungkinan adalah istrinya. Tanpa sadar bibir lelaki itu menyunggingkan senyum. Entah mengapa ada hal yang membuatnya tertarik saat melihat wajah wanita yang ada di dalam foto itu.

"Rafqi!"

Sebuah teriakan mengagetkan ayah dari Nasya, dengan segera lelaki itu bangkit dan berjalan ke arah pintu.

"Ya, Mah, ada apa?" tanyanya dengan wajah heran karena suara sang ibu terdengar lebih keras dari biasanya.

Dada dari wanita yang telah melahirkan Rafqi itu terlihat naik turun seperti orang yang sedang menahan amarah. Dia menyerahkan beberapa lembar foto kepada anak lelakinya itu.

"Siapa sebenarnya lelaki itu, Raf?" Halimah bertanya masih dengan nada marah.

Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu membelalakkan matanya. Dia terkejut, dari mana Mamanya mendapatkan foto-foto itu.

"Itu ...." Rafqi bingung harus menjawab apa.

"Apa yang kamu sembunyikan sebenarnya Raf?" desak Halimah.

Rafqi menunduk, menghindari tatapan tajam dari Halimah. Dia ingin menceritakan semuanya, tapi tidak sekarang.

"Raf!" Suara ibu dari tiga orang anak itu sudah naik satu oktaf karena putranya tidak juga menjawab.

"Rafqi bakal cerita semuanya, Mah, tetapi enggak sekarang,"

"Mama mau tahu sekarang!" desak Halimah.

"Mah." hiba Rafqi.

Halimah menggeleng, "Kamu yang cerita atau Mama cari tahu sendiri?" ancamnya.

Rafqi mendesah, Mamanya benar-benar tidak mau berkompromi saat ini. Akhirnya dia mengajak sang mama untuk masuk ke ruang kerja untuk menceritakan semua. Semoga saja setelah mengetahui semuanya, wanita yang sangat dia hormati itu bisa mengerti dan tidak terjadi hal yang buruk setelah itu.

Ibu dan anak itu sama-sama terdiam setelah sebuah tamparan keras menyentuh pipi ayah dari Nassya itu. Mereka bergelut dengan pemikiran masing-masing. Halimah tidak menyangka jika selama ini dia telah dibohongi oleh anak lelaki yang selalu dia bangga-banggakan itu. Sedang Rafqi, dia tidak akan membela diri karena memang bersalah. Bukan dia tidak ingin mencoba menjalani pernikahan dengan benar, tetapi setelah mencoba berulang kali dan tidak membuahkan hasil, akhirnya dia pun menyerah juga.

Tanpa banyak bicara, Halimah bangkit dan bermaksud keluar dari ruang kerja anak lelakinya itu. Namun baru beberapa langkah, tubuh wanita itu limbung dan jatuh. Hal itu membuat Rafqi sangat terkejut dan secepat kilat mencoba menangkap tubuh sang ibu walau terlambat karena tubuh wanita itu sudah menyentuh lantai terlebih dahulu.

"Ma ...!" pekiknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status