Share

Bab 2

Seorang lelaki sedang menatap prosesi pemakaman mendiang istrinya yang sudah hampir selesai dengan wajah tanpa ekspresi, bahkan rahangnya terlihat mengeras seperti orang yang sedang menahan amarah. Dia juga terlihat sedikit melamun hingga tidak menyadari jika proses pemakaman sudah selesai, hanya tinggal pembacaan doa oleh ustaz dan menabur bunga di atas makam bagi keluarga atau teman dekat.

"Raf, ayo!" Halimah, ibu dari lelaki itu menepuk pelan bahu anak lelakinya.

Rafqi tersadar dari lamunannya, "Iya, Ma." jawabnya singkat. Kemudian berjalan mendekat ke gundukan tanah merah yang berada tidak jauh dari tempatnya bediri tadi.

Kini mereka yang hadir berdiri mengelilingi makam dan mendengarkan serta mengaminkan do'a yang dibacakan oleh seorang ustaz. Sebelumnya Rafqi juga menyampaikan permintaan maaf atas nama Puspa, almarhumah istrinya, jika semasa hidup pernah melakukan kekhilafan. Setelah itu satu per satu keluarga dan teman dekat bergantian menaburkan bunga di atas tanah pemakaman yang masih merah itu.

Setelah selesai, petakziah mulai meninggalkan makam. Tidak terkecuali Rafqi dan keluarganya. Mereka langsung menuju kendaraan dan segera keluar dari area pemakaman.

Kasak kusuk terdengar di antara para pelayat yang ikut mengantar dan menyaksikan pemakaman almarhumah istri dari Rafqi. Hampir semua orang bertanya penyebab kecelakaan yang di alami oleh Puspa. Mereka tentu heran mengapa wanita itu pergi sendiri, tanpa di dampingi suami dan anaknya. Tidak sedikit dari mereka yang langsung berspekulasi bahwa Puspa pergi berselingkuh lalu mengalami kecelakaan. Sebagian dari mereka terang-terangan menghujat dengan kata-kata yang tidak seharusnya padahal semua belum jelas. Bahkan Rafqi Aulian Darmawan, sang suami saja belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Bukankah seharusnya kita tidak boleh membicarakan hal yang buruk orang yang meninggal saat kita sedang bertakziah. Kita hanya boleh membicarakan tentang kebaikannya saja agar orang yang meninggal itu di permudah jalannya di sana.

Rafqi dan keluarga tentu saja tahu dan mendengar semua itu. Mereka hanya berusaha bersabar saja. Toh, tidak ada gunanya juga menjelaskan kepada orang-orang itu karena rumor tentang perselingkuhan Puspa sudah terlanjur menyebar. Fokus keluarga saat ini hanya mendoakan almarhumah agar mendapat terbaik di sisi-Nya.

Mobil sudah sampai di rumah Rafqi tetapi tidak bisa masuk dan hanya berhenti di jalan komplek. Halaman rumah masih ada tenda dan kursi bekas para pelayat tadi. Tampak juga karangan bunga dari teman,saudara dan rekan kerja yang bejajar di jalan yang terletak di depan kediaman lelaki itu.

Rafqi terlebih dahulu turun, dia meninggalkan keluarganya begitu saja tanpa sepatah kata. Dari wajahnya jelas terlihat jika banyak yang sedang menjadi beban pikiran lelaki itu. Bukan hanya tentang Puspa, tetapi juga Annasya Adreena Saila, putri semata wayangnya yang baru berusia tiga tahun.

Sampai di kamar Rafqi langsung membersihkan diri. Badannya lelah, begitu juga pikirannya. Tidak sampai lima belas menit kemudian lelaki itu telah keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya. Dia memeriksa ponsel yang nyaris tidak dibuka sejak semalam dan membaca satu persatu pesan dan email yang masuk.

Tok.Tok.Tok.

"Raf," panggil halimah dari balik pintu.

Gegas Rafqi bangkit dan menuju ke arah pintu. "Ya, Mah. Sebentar."

Pintu terbuka, Halimah berdiri sambil menggendong seorang balita yang terlihat baru bangun tidur.

"Nasya kenapa, Mah? Rewel?" tanya Rafqi.

Halimah menggeleng. "Enggak, kok. Mama cuma mau bawa dia aja. Kasihan dari kemarin sama Wati terus."

Rafqi mengangguk lalu mengambil Nasya ari gendongan neneknya. "Mama sama Papanya Puspa masih di sini, Ma?" tanya Rafqi setelah Nasya berada dalam gendongannya.

"Masih, kemungkinan mereka bakalan menginap di sini." jawab Halimah.

"Ouh," gumam Rafqi, "Mama kalau capek istirahat saja, biar Nasya sama aku." tawar lelaki itu.

"Daripada Mama, kamu lebih capek, Raf. Udah istirahat sana, jangan banyak pikiran. Hadapi semua dengan sabar, ya!" nasihat ibu dari tiga orang anak itu.

"Iya, Ma," jawab Rafqi. Lelaki itu kemudian mengarahkan pandangan ke Nasya, putri kecilnya yang sedang asyik memainkan boneka di tangannya. "Nasya sama Nenek dulu, ya. Papa mau istrahat bentar, nanti main lagi."

Balita itu hanya memandang wajah papa dan mengedipkan mata membuatnya terlihat sangat menggemaskan. Rafqi pun mencium kedua pipi putrinya itu lalu menyerahkannya kepada Halimah.

"Mah, nitip Nasya, ya. Kepalaku memang agak pusing, mungkin efek semalaman nggak tidur," pinta Rafqi.

Halimah tersenyum sambil mengangguk. "Ya sudah, Mamah bawa Nasya keluar dulu biar senang. Tadi Mama cuma pingin Nasya lihat kamu aja, kata Wati tadi nyari Papa." Selesai berkata ibu dar Rafqi itu berbalik dan melangkah pergi. Di dalam gendongannya Nasya hanya diam saja sambil terus memainkan boneka Teddy kesayangannya.

Rafqi memandang Mamanya yang berjalan menjauh, tiba-tiba dia merasa sedih mengingat Nasya. Anaknya mungkin belum mengerti jika saat ini mamanya sudah tidak ada lagi di sampingnya. Walau selama ini Nasya memang lebih sering berama pengasuh dari pada Mamanya, tetapi bukan berarti mereka tidak dekat.

Rafqi mendesah untuk mengurai sesak yang ada di dadanya, kemudian berbalik dan masuk ke kamar. Dia butuh istirahat barang sejenak. Banyak yang masih harus dia selesaikan nanti.

Kini lelaki itu sudah berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit kamar seolah di sana ada jawaban dari semua tanya yang ada dalam pikirannya. Matanya ingin terpejam tetapi pikirannya kembali melayang. Dia sedang berpikir bagaimana caranya untuk menghentikan rumor yang terlanjur beredar tentang Puspa, mendiang istrinya. Musibah ini benar-benar tidak terbayangkan olehnya. Pernikahannya dengan Puspa baru akan menginjak usia lima tahun, tetapi jujur saja belum banyak yang dia ketahui tentang wanita itu. Mereka sama-sama sibuk, Rafqi sibuk bekerja dan Puspa sibuk mengurus usahanya.

Tiga hari yang lalu Puspa berpamitan untuk pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Seperti biasa Rafqi mengijinkan tanpa banyak bertanya. Dia hafal perangai Puspa jika terlalu banyak ditanya, apalagi dilarang. Namun semalam dia sangat terkejut saat mendapat kabar dari kepolisian jika istrinya mengalami kecelakaan di daerah Puncak dan lebih terkejut lagi saat mengetahui Puspa meninggal saat perjalanan ke rumah sakit. Rafqi tidak merasakan firasat apapun sebelumnya jadi saat Puspa berpamitan dia hanya menjawab seperti biasa. Bahkan saat istrinya hanya beberapa kali mengirim kabar, dia pun membalas sekedarnya karena takut mengganggu wanita itu.

Namun ada hal lain yang membuat lelaki itu seakan tidak percaya yaitu Puspa mengalami kecelakaan bersama seorang lelaki yang dia tidak kenal. Juga mobil itu bukan milik Puspa dan kemungkinan adalah milik lelaki yang ikut tewas bersama mendiang istrinya. Rafqi harus siap menghadapi pertanyaan orang-orang tentang hal itu. Tadi memang belum ada yang bertanya langsung, mungkin karena masih dalam suasana duka. Namun besok dia yakin pertanyaan itu akan muncul.

"Danu Baskara," gumam Rafqi.

Di tengah kantuk yang mulai menyerang Rafqi meraih ponsel yang ada di atas nakas tak jauh dari ranjangnya. Dengan cepat dia menggulir layar ponsel dan mencari nomor kontak seseorang. Setelah menemukan Rafqi segera menghubungi nomor tersebut. Tidak menunggu lama, panggilannya langsung diterima oleh seseorang di seberang sama.

"Hallo Vid. Kamu cari tahu tentang Danu Baskara! Apa hubungan lelaki itu dengan Puspa. Besok saya tunggu laporannya!"

Tanpa menunggu jawaban atau pun kesanggupan dari orang yang di ajak bicara, Rafqi langsung memutus sambungan telepon itu begitu saja. Dia kembali meletakkan ponselnya di atas nakas. Perlahan lelaki itu memejamkan matanya. Badannya lelah, pikirannya lelah, apalagi hatinya. Dia hanya berharap David bisa memberikan informasi yang dia inginkan dan semoga dugaannya tentang Puspa dan lelaki yang bernama Danu salah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status