"Shit! Akan aku buat perhitungan dengan Galih! Laki-laki macam apa seperti itu? Bodoh sekali dia!" umpat Sela.Napasnya naik turun menahan amarah. Penampilan Marwa yang mengenaskan sungguh membuatnya terluka. Ada penyesalan di sudut hatinya yang pernah menjadi perantara antara Galih dan Marwa sehingga sahabatnya itu tak pernah mendapatkan kebahagiaan pasca menikah. Selalu saja ada masalah yang timbul.Awalnya, Marwa tak ingin memberitahu dan tetap bungkan. Namun sebagai sahabat Sela dapat mengetahui perubahan yang terjadi. Terkadang ia melihat mata Marwa yang sembab juga sinar wajahnya yang seolah meredup. Seperti sedang memikirkan banyak beban. Setahun kemudian baru temannya itu menceritakan keadaan yang sebenarnya. Bukan hendak mengeluh melainkan mencari solusi. Berkali-kali disakiti Marwa selalu mengalah dan menerima. Hal itupun yang membuat Sela gemas karena selalu temannya ini terlalu pasrah. Ia sudah menyarankan untuk membela diri tetapi selalu diabaikan dengan alasan ingin mem
Rumah berlantai dua dengan cat berwarna putih menjadi pemandangan Marwa saat ini. Ragu ia memasuki kediaman mertuanya. Jika bukan karena ingin melihat kondisi Arum yang terpisah sejak tiga hari lalu mungkin ia tak akan pernah menginjakkan kakinya lagi di rumah orang yang selalu memberinya luka. Terpaksa, ia sungguh terpaksa saat ini.Tiga hari kemarin, berkaki-kali ia menghubungi ibu mertua juga suaminya melalui ponsel, tetapi tak terhubung. Sepertinya keduanya telah memblokir nomor Marwa. Tak hilang akal ia mencoba menekan nomor Fitri dan tersambung. Hanya saja ketika ia hampir berhasil berbicara dengan anaknya, tiba-tiba terdengar suara ibu mertuanya yang berteriak memarahi Fitri karena lancang menerima telepon darinya. Kemudian sambungan telepon itu langsung terputus.Sungguh Marwa lelah menghadapi keluarga suaminya itu. Namun, ia harus kuat demi Arum. Tanpa sepengetahuan Sela ia datang mengunjungi rumah mertuanya. Sahabatnya itu tentu akan melarang jika mengetahui niatnya. Karena
"Sakit, ya, Mas?" tanya Fitri ketika mengobati luka di wajah Pandu. Lelaki muda itu hanya meringis menahan perih."Lagian kenapa ga bilang terus terang aja, sih! Mas Galih pasti mengerti, Kok!" lanjutnya memberi saran.Galih tak jadi mengetuk pintu ketika mendengar namanya disebut."Mbak Marwa, kan, seperti itu karena marah melihat Arum dikurung di gudang. Coba Mas Pandu jelaskan saja. Ibu mana, sih, yang tega ngeliat anaknya ketakutan di ruangan gelap." Galih membulatkan mata mendengar penuturan Fitri. Kemarahan telah membutakan hatinya sampai lupa menanyakan kronologi yang sebenarnya. Begitupun ibunya tidak menjelaskan perihal pengurungan anaknya. Melainkan hanya mengatakan Marwa mengambil Arum secara paksa.Pantas saja istrinya begitu murka. Galih tahu benar, Marwa sangat lembut dan penurut, tetapi jika sudah menyangkut anaknya. Marwa bisa bertindak bagai singa yang kelaparan. Ia pun pernah mengalami ketika geram mendengar tangisan Arum yang tak mau berhenti. Dengan gemas ia men
Galih menuju kamar ibunya di lantai atas. Ingin memberitahukan akan menunda mengambil Arum. Banyak hal yang harus ia pikirkan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Sejak dulu, ia kurang pandai dalam mengelola emosi. Berkali-kali hal itu membuatnya jatuh pada keputusan yang salah. Namun, anehnya hal itu terjadi jika menyangkut sang ibu. Seperti saat tadi, emosinya langsung tersulut ketika ibunya mengatakan seolah Marwa menginjak-injak harga dirimya. Berlaku kurang ajar karena mengambil Arum tanpa izin. Rupanya perempuan yang membesarkannya itu menyembunyikan penyebab utama Marwa berlaku seperti itu. Bodohnya ia pun tak bisa berpikir jernih."Sebenarnya Ibu males banget, Git ngurusin Arum," ujar Atik berbicara di dalam kamar.""Lah, Gita juga males, Bu. Pokoknya aku ga mau dititipin anak itu," balas Gita."Ya enggaklah, Ibu juga ga tega sama kamu. Anak itu, ya, udah rewel, penyakitan pula. Ibu, kan, takut kalau air liurnya kena ibu. Ntar ikutan epilepsi pula hahaha," canda Atik
Galih mematut diri di cermin menatap dirinya yang saat itu mengenakan kaos oblong dan celana jin. Setelah dirasa semuanya sudah sempurna, ia mengambil kunci mobil dan melangkah ke luar rumah.Semalam ia telah memikirkan masalah yang sedang terjadi dalam keluarganya. Galih memutuskan untuk bertemu Marwa dan berbicara dari hati ke hati dan akan meminta penjelasaan versi istrinya. Ia menyesalkan saat itu tak melindungi sang istri dari hinaan orang-orang di sekitarnya.Kesalaham sebesar apapun, seharusnya ia melindungi perempuan yang menjadi tanggung jawabnya. Apalagi jika ternyata Marwa terbukti tidak bersalah, Galih akan merasa jadi suami yang tidak bertanggung jawab. Mulai hari ini ia akan mengurus masalah keluarganya sendiri. Dimulai dengan mencari tahu kebenaran perselingkuhan yang dituduhkan pada Marwa.Selama perjalanan, Galih terus memikirkan setiap ucapan ibu dan kakaknya yang didengar kemarin. Ia tak menyangka jika ternyata mereka tak menyukai kebe
Atik sudah bersiap untuk mengantarkan Galih ke rumah Marwa. Ada keenganan di hatinya untuk mengunjungi rumah besan yang dianggapnya tidak sederajat. Namun, demi mengambil hati putra tirinya yang sedang naik daun, ia harus rela membuang sedikit egonya. Setelah mematut diri di cermin dan merasa penampilannya sudah sempurna, Atik bergegas keluar menuju meja makan."Pagi, Bu," sapa Fitri yang sedang meletakkan piring di meja makan. Atik tersenyum dan mengangguk kemudian duduk di salah satu kursi."Mana yang lain?" Atik mulai mengambil nasi goreng yamg dibuatkan anaknya."Bapak belum pulang, Bu .""Masih jogging?""Iya."Atik melihat pergelangan tangannya. Pukul delapan."Tumben, biasanya jam tujuh sudah balik," ucap Atik, "Galih sama Pandu mana?" tanyanya"Pandu masih tidur, Bu. Kalau Mas Galih udah pergi dari tadi."Atik menghentikan sendok yamg hendak dimasukkan ke mulut."Pergi? Loh bukannya ki
"Duh, Pak, lain kali ga usah kaya pahlawan kesianganlah. Jadi susah sendiri, kan?" gerutu Atik tak suka melihat suaminya menolong orang lain, apalagi sampai menyebabkan luka-luka. Nantinya ia akan menjadi repot karena hal itu.Noto tak terlalu menghiraukan omelan sang istri, ia sedang merasakan perih di beberapa bagian tubuhnya. Pagi tadi ia sedang joging sampai ke wilayah kayu manis, di saat sedang beristirat sejenak di depan minimarket sambil meminum air mineral, ia melihat seseorang di parkiran minimarket terlihat kesulitan memutar motornya. Noto langsung berdiri dan membantu perempuan muda yang sedang hamil."Terima kasih, Pak," ucap perempuan yang memakai celana dan kaos yang agak ketat, sehingga perutnya yang membuncit terlihat jelas. Noto hanya terssnyum sambil mengangguk kala itu dan hendak berbalik."Maaf, Pak, boleh minta tolong lagi." Noto urung berbalik, dan menghampiri asal suara. "Ini kuncinya ga bisa masuk." Senyum malu-malu terukir dari w
"Oke, deal, ya. Minggu depan, kita mulai proyek usaha kita," ucap Amar antusias sambil mengulurkaan tangan ke arah Marwa. Namun, perempuan yang memiliki senyum manis itu hanya membalas dengan menangkupkan kedua tangan. Melihat itu Amar menjadi salah tingkah."Oke, deal," sahut Sela sambil mengambil alih untuk membalas uluran tangan lelaki berambut agak kecokelatan itu. "Sekarang saatnya merayakan kesepakatan kita," lanjutnya semringah."Oh, ya, ayo dipesan lagi!" Amar memanggil seorang pelayan. Tadi, mereka hanya memesan minuman.Setelah kepergian Galih, Amar menyarankan untuk menunda pembicaraan mereka. Ia khawatir jika perempuan yamg selalu mengisi pikirannya itu sedang bersedih. Namun, Marwa memutuskan untuk tetap berjalan sesuai rencana dan meyakinkam diri jika ia baik-baik saja. Bagi Marwa ini adalah sebuah kesempatan untuknya bisa mandiri. Walaupun kaget ketika melihat siapa yang menjadi rekan usahanya, tetapi jauh di lubuk hati ia merasa lebih ny