Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b
Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki
"Aku sudah selesai, kembali sana ke tempatmu!" hardik lelaki itu tanpa sudi melihatku sama sekali. Aku tersentak. Cukup mendengar nada bicara pria yang sudah tujuh tahun menjadi suamiku itu, aku langsung paham apa yang harus kulakukan. Aku langsung bangkit menjauhinya dan menuju sofa di dekat pintu, tempat yang biasa kujadikan peraduan setiap malam. "Tunggu!" Ia memutus langkahku yang baru saja akan menuju sofa. "Iya, Mas. Mau apa lagi?""Malam ini kamu tidur di luar! Aku lagi ingin sendiri.""Tapi, Mas, aku harus tidur di mana?""Terserah! Itu urusanmu!""Mas ....""Sudah sana pergi! Jangan lupa, tutup pintu!"Tanpa bisa kutahan, air mataku turun dengan deras. Sabar Riana, sabar. Kamu kayak nggak tau aja sikap dia. Kuhela napas dalam untuk membantu menenangkan dadaku yang mulai sesak. Dengan langkah gontai terpaksa aku keluar kamar, membawa selimut dan sebuah bantal, menuju ke kamar tamu. Jika ia sedang punya masalah di kantor, Mas Daffi memang kadang suka memintaku tidur di tempa
Tiba-tiba saja Mas Daffi sudah berada di belakangku. "Hei, kamu nggak denger anakku barusan bilang nggak mau? Ya sudah nggak usah dipaksa! Kalau punya telinga itu dipakai yang benar!" Dengan suara dinginnya, lagi-lagi Mas Daffi menghardikku kasar di depan Liana. Hih, rasanya ingin kuremas saja mulut suamiku itu, tapi tidak mungkin kulakukan. Karena biar bagaimanapun dia adalah lelaki yang harus aku hormati. "Liana sayang, cepetan selesaikan sarapannya, setelah itu kita berangkat. Papa tunggu di depan ya," ujar Mas Daffi lembut, sangat jauh berbeda dengan sikapnya padaku tadi. Aku masih sangat bersyukur, karena walaupun ia membenciku, tapi ia begitu menyayangi putri kami. Mas Daffi lalu beranjak dari meja makan, meninggalkan aku dan Liana berdua saja. Sepeninggal Mas Daffi, dengan mata kecilnya Liana menatapku tajam. "Ibu nggak usah lagi bikinin sarapan buat Liana, biar Bibik aja." Ia pun ikut beranjak pergi menyusul ayahnya. "Eh, tunggu, cium tangan dulu, dong." Kuulurkan punggung
"Masak yang enak, ya. Sebentar lagi, Friska, calon mantu saya yang cantik, mau datang. Ia mau ikut makan siang di sini bersama Daffi dan Liana."Degup jantungku bertabuh kencang mendengar kalimat Mama Juwita barusan. Friska--wanita cantik itu--mau makan siang di sini? Walaupun selama ini aku selalu berusaha untuk bersikap santai, tapi tak kupungkiri kehadiran Friska di rumah ini selalu mampu membuatku merasa ingin menghilang saja. Pesonanya selalu saja membuat pandangan Mas Daffi tidak dapat beralih. Bahkan ia juga sudah mampu mengambil hati Liana, anakku.Mama Juwita yang paham betul bagaimana sikap Mas Daffi dan Liana, semakin gigih saja memperjuangkan agar Mas Daffi bisa segera memperistri Friska, terlebih sepeninggal Papa Asmoro. Friska yang dulu tidak pernah berani datang ke rumah, kini bisa dengan leluasa datang ke sini, sesuka hati. Tak dipedulikannya status Mas Daffi yang masih beristri. Ia merasa mendapatkan dukungan penuh dari Mama Juwita. "Iya, Nyonya," jawab Bik Sumi seray
Mas Daffi dan Friska. Mereka berdiri angkuh sambil memandang rendah ke arahku. Hei, apa-apaan si Friska? Dia itu kan cuma tamu. Ah, tapi apa yang bisa kulakukan? Aroma parfum khas feminin yang berbau vanila, bercampur dengan aroma floral seketika terhidu olehku. Penampilan Friska kali ini juga lagi-lagi mampu membuatku seakan langsung terhujam ke dalam kerak bumi. Kulit seputih pualam yang khas seperti dewi kayangan dan hidung bangir, terpahat begitu cantik di wajahnya. "Tante Friska, yuk, masuk!" Liana lalu menggandeng tangan Friska, kemudian mengajaknya ke dalam rumah. Ia melewatiku begitu saja."Eh, cucu nenek sudah pulang. Pasti capek, ya, habis pulang sekolah?" tanya Mama Juwita yang ikut bergabung bersama kami. "Iya, Nek. Liana capek banget," jawab Liana manja. Ah, kenapa ia tidak bisa juga bermanja seperti itu padaku?"Tapi Nek, tadi Liana seneng, deh, Nek. Tante Friska ikutan jemput, terus ngasih Liana boneka. Bagus banget.""Oh, ya? Mana coba nenek lihat bonekanya."Gadis
"Kamu, kan, cuma ingin tau Liana les di mana. Buat apa pake nganter ke pagar segala? Di sini itu banyak preman, Aku gak mau kalau nanti mereka ganggu kamu." Mas Daffi bicara lagi, mengalihkan sejenak pikiranku akan isi pesan di ponselku. Tapi, tunggu, apa yang dia bilang tadi? Aku nggak salah dengar, kan? Kenapa kata-katanya manis sekali? Membuatku serasa seperti disiram air es, sejuk sekali. Benarkah ia sekhawatir itu padaku?"Lagian kasian kalau sampai teman-teman Liana nanti sampai melihat wajahmu. Nanti dia malu," ucapnya kasar di depan Liana. Bahuku melorot. Baru saja ia membuatku serasa terbang tinggi ke langit, dalam sekejap ia menghempaskanku lagi ke bumi. Menyebalkan! Aku sadar memang wajahku ini membuat takut sebagian orang, makanya aku tak pernah lupa untuk menutupinya dengan selendang saat sedang berada di luar rumah. Termasuk saat ini, aku juga mengenakan selendang di kepala. Sebenarnya Papa Asmoro dulu pernah menawariku untuk melakukan operasi plastik di wajah. Tapi a
"Mas mau melarangku menunggui Liana dan malah menyuruh Friska? Enak saja."Di tengah teriknya mentari hari ini, mataku memandang tepat ke arah pagar pembatas ruko tempat Liana kursus piano, memperhatikan kawanan anak-anak seumuran Liana keluar dari pagar. Kunantikan buah hatiku keluar dari sana. Akhirnya penantianku selama kurang lebih dua jam usai sudah. "Ah, itu, dia!" Kakiku melangkah cepat menghampiri Liana. "Liana! Sini, Sayang!" pekikku seraya melambaikan tangan dan berjalan mendekatinya. Liana seketika terdiam, raut wajahnya yang semula ceria berubah pias. "Liana, itu siapa? Ibumu, ya?" tanya seorang gadis kecil di sebelahnya."Itu, itu, bukan-bukan siapa-siapaku, kok. Aku, gak, kenal," ucap Liana dengan mulut mungilnya yang sukses membuat perasaan senangku seketika memudar. "Ibuku itu cantik, bukan seperti ibu itu."What? "Liana, Hai!" Tiba-tiba saja Friska sudah berada di sebelahku. Liana langsung berlari menghampiri Friska yang baru saja tiba. Ia menarik tangan wanita