Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.
Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen.Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dalBandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
“Aku sibuk!” Suara dingin sang suami terdengar di seberang telepon membuat harap Elok hancur seketika. Bahkan, tanpa basa-basi, Diaz langsung memutus sambungan telepon di antara keduanya. Padahal, ia menghubungi suaminya itu sejak siang karena tubuhnya demam dan vertigonya kambuh.Belum lagi, ia harus menjaga janin di kandungannya. “Kita berjuang bersama ya sayang, maafkan mommy bila keadaan kita seperti ini,” ucap Elok pada janin di dalam perut seraya membelai perut yang masih datar.Helaan nafas panjang terdengar begitu berat. Mengingat calon anak mereka, Elok tersenyum miris. Ia memang belum sempat memberi tahu Diaz karena sang suami sudah beberapa hari ini tidak pulang dan tidak bisa dihubungi. Awalnya, ia berharap kehadiran anak, kehidupan pernikahannya dengan Diaz akan kembali hangat. Tapi, semua itu sepertinya sia-sia.“Kenapa kamu tak menceraikanku saja, Mas?” gumam Elok memejamkan mata, frustasi.Dulu, Elok memang mendekati dan menikahi Diaz untuk merebut perusahaan mili
Brak!Foto pernikahan Diaz dan Elok yang berada di dinding kantor Diaz tiba-tiba terjatuh. Kaca-kaca pun berhamburan di lantai.“Astaga pak, ada apa?” tanya sang asisten yang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu. Ia mendengar suara itu dari meja kerjanya, berpikir ada sesuatu yang terjadi dengan bosnya.“Foto tak berguna itu jatuh dengan sendirinya,” ucap Diaz santai, “minta OB untuk segera membersihkannya.” Walau ada sedikit gelisah di hati Diaz, namun segera pria itu menepisnya.“Ini hanya sebuah kebetulan.”Di sisi lain, Rain tengah menahan emosi kala melihat Elok yang ditangani di ruang IGD.Tangan pria itu mengepal, menahan marah. Terlebih, suami saudarinya itu tidak bisa dihubungi sama sekali. “Diaz … jika sampai terjadi sesuatu pada saudariku, kupastikan kau akan merasakan akibatnya,” ucap Rain dalam hati.Begitu dokter yang sedang melakukan penanganan pada Elok keluar, Rain segera bangkit dari duduknya.“Bagaimana keadaan saudari saya, Dok?”“Kondisi ibu Elok sangat lemah.
“Antarkan Anna sampai ke rumah,” perintah Diaz yang langsung diikuti sopirnya.Pria itu sebenarnya bisa saja memanfaatkan Anna untuk memuaskan hasratnya. Tapi, dia masih menghargai Elok sebagai istri sahnya. Walaupun brengsek, Diaz tidak mau dicap sebagai tukang selingkuh. Ia juga tidak mau kelak Elok akan menjadikan hal itu sebagai bahan menghancurkannya untuk yang kedua kalinya. Diaz segera menuju kamarnya.Karena lelah dan pengaruh alkohol, dia tidak memperhatikan keadaan sekitar rumah dan tertidur dengan pulas.Hanya saja, tidurnya terganggu kala Bibi–asisten rumah tangga–datang membangunkan pria itu.“Den Diaz!” Mengumpulkan kesadaran, Diaz pun berkata, “Lho, Bi? Ada apa?”“Anu, den. Apa non Elok baik-baik saja?”“Apa maksud bibi? Sudah pasti dia baik-baik saja, kan?” ucap Diaz, “jadi, bibi boleh pulang.”“Sepertinya…” Bibi menjeda kalimatnya, tampak ragu untuk ikut campur urusan keluarga atasannya.Tapi, ia tak bisa mengabaikan ingatannya tadi pagi saat ada bau anyir darah
Lima tahun berlalu. Karen Esme masih terbaring di ranjangnya empuk.Ia tidak memedulikan alarmnya yang menunjukkan jam 8 pagi di Tokyo karena begitu lelah.“Mom, bangun,” ucap balita laki-laki mencium kedua pipi Karen, ”Sudah siang, Mom” Dirasa tidak ada pergerakan, bocah itu menepuk-nepuk pipi sang ibu. “Bangun mom, atau ayah yang akan membangunkan,” ancamnya berusaha seram.Diam-diam, Karen pun tersenyum mengetahui usaha anaknya itu. Namun, matanya berat untuk terbuka. “Lima menit lagi sayang, mom masih ngantuk.”Untungnya, tak ada lagi suara dari anak kecil itu. Namun, Karen dapat merasakan bocah itu ikut berbaring di samping sang ibu–melupakan seorang pria tampan yang sedang berkutat membuat sarapan. Arashi Takahashi, pria tampan berkebangsaan Jepang itu melihat ke arah pintu kamar Karen dan menemukan bocah kecil kesayangannya tak juga keluar dari kamar ibunya. Dengan gemas, Arashi membuka pintu kamar tersebut dan menemukan sepasang ibu dan anak itu meringkuk bersama dengan m
Karen dan Arashi sudah berdiskusi tentang presentasi yang akan ia ikuti. Kini mereka sedang merapatkan produk apa yang akan dibawa. Yang pasti harus menjadi solusi untuk masyarakat di semua kalangan.Sebelum memutuskan untuk mendaftar, Karen dan Arashi melakukan banyak riset untuk menentukan produknya. Dua minggu melakukan penelitian akhirnya mereka sudah menentukan produk tersebut.“Bu, bagaimana jika nantinya kita tidak berhasil mendapatkan investasi? Bukannya ini akan mangkrak?” ucap salah seorang karyawan Karen, “jika demikian, kenapa tidak kita presentasikan saja produk yang sudah ada?” “Nice, Shun. Kamu memang jeli,” puji Karen.Karen pun menjelaskan bagaimana prospek kedepannya jika program atau proyek tersebut gagal mendapatkan investasi. Pria bernama Shun itu pun tertegun dengan pemaparan Karen. Bosnya memang pintar memanfaatkan peluang.Sebelum benar-benar mendaftar, Karen kembali mengecek nama-nama perusahaan yang sudah mendaftar. Tampak beberapa nama perusahaan yang be
Khawatir bertemu dengan Karen, Diaz sudah meminta panitia agar perusahaannya mendapat urutan terakhir. Sayangnya, kala hari pengumuman tiba, perusahaan Karen berhasil masuk lima besar dan akan melakukan presentasi besar, sedangkan perusahaan Diaz harus berhenti sampai di 20 besar saja.Meski demikian, Diaz sengaja mengundur kepulangannya hanya untuk mengikuti presentasi final tersebut. Selain berencana mendapatkan rekan bisnis untuk bekerjasama, ada sesuatu yang ia siapkan.“Karen Esme bersiaplah melihat kejutan dariku.” *“Arashi! Cepat ke mari!” perintah Karen.Ada kegelisahan dari tingkah laku dan nada suaranya, hingga membuat Arashi yang sedang asik bermain bersama Ken—jalan mendekat ke arahnya. “Ada apa? Apa ada yang gawat?”“Lihat ini! Sepertinya ada yang tidak beres.”“Mengapa tiba-tiba perusahaan kita digantikan oleh perusahaan lain?” tanya Karen.Arashi sontak melihat ke email yang ditunjukkan Karen. Inti dari surat tersebut adalah pemberitahuan adanya kesalahan dalam menul
“Halo, Elok Anugrah Cinta!”“Atau sekarang aku harus memanggilmu Karen? Karen Esme,” sapa Diaz setelah acara presentasi selesai.Karen masih diam, sejujurnya ia bingung harus bersikap seperti apa, ini terlalu mendadak.“Oh, kalau kamu lupa, perkenalkan aku Diaz Pradana, suamimu,” ujar Diaz seraya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.Pria itu memberi penekanan pada kata “suamimu” untuk memberi tahu kepemilikan pada pria yang berdiri di sebelah Karen.Tatapan tajam Diaz tak lepas dari wajah ayu Karen.Namun, wanita itu memilih untuk tidak membalas jabat tangan dari Diaz. Sungguh saat ini jantungnya sedang berdetak tak karuan, hatinya gelisah, dan tangannya dingin bagai memegang es batu.“Salam kenal, tuan Diaz,” balas Karen yang sudah bisa menetralkan detak jantungnya, “sepertinya, Anda salah mengenali seseorang.”Entah mengapa ia memilih tidak mengakui dirinya sebagai Elok.“Oh ya? Tapi Anda terlalu sama jika hanya dikatakan mirip dengan istri saya.”Diaz memainkan emosi Karen.Pri