“Antarkan Anna sampai ke rumah,” perintah Diaz yang langsung diikuti sopirnya.
Pria itu sebenarnya bisa saja memanfaatkan Anna untuk memuaskan hasratnya. Tapi, dia masih menghargai Elok sebagai istri sahnya.
Walaupun brengsek, Diaz tidak mau dicap sebagai tukang selingkuh.
Ia juga tidak mau kelak Elok akan menjadikan hal itu sebagai bahan menghancurkannya untuk yang kedua kalinya.
Diaz segera menuju kamarnya.
Karena lelah dan pengaruh alkohol, dia tidak memperhatikan keadaan sekitar rumah dan tertidur dengan pulas.
Hanya saja, tidurnya terganggu kala Bibi–asisten rumah tangga–datang membangunkan pria itu.
“Den Diaz!”
Mengumpulkan kesadaran, Diaz pun berkata, “Lho, Bi? Ada apa?”
“Anu, den. Apa non Elok baik-baik saja?”
“Apa maksud bibi? Sudah pasti dia baik-baik saja, kan?” ucap Diaz, “jadi, bibi boleh pulang.”
“Sepertinya…” Bibi menjeda kalimatnya, tampak ragu untuk ikut campur urusan keluarga atasannya.
Tapi, ia tak bisa mengabaikan ingatannya tadi pagi saat ada bau anyir darah di sana dan juga laporan dari Pak RT yang mengatakan Nyonya Elok digendong dengan tergesa-gesa dari rumah.
“Tidak ada apa-apa, den,” ucap bibi pada akhirnya, “hanya saja, saya menemukan handphone non Elok di sudut meja. Saya permisi, den.”
Wanita paruh baya itu meletakkan handphone tersebut di atas meja dapur, lalu pulang.
Diaz sendiri hanya melirik sekilas benda tersebut.
Mengenaskan, satu kata itu cukup untuk mendeskripsikan kondisi benda tersebut.
Tapi, Diaz tidak peduli. Ia justru melanjutkan tidur sampai sore hari.
Karena merasa gerah, dengan cepat, ia pun membersihkan diri. Setelahnya, ia turun karena merasa perutnya terasa lapar.
Namun, saat di dapur, tidak ada makanan sama sekali di balik tudung saji.
“Wanita sialan itu tidak pulang? Kenapa tidak ada makan,” gumam Diaz.
Biasanya, Diaz tidak akan sudi memakan makanan yang dibuat oleh Elok. Tapi, kali ini entah mengapa ia ingin sekali makan makanan yang dimasak oleh perempuan itu.
Dengan terus mengumpati Elok, Diaz memesan makanan via ojek online.
Sembari menunggu pesanannya sampai, Diaz menggulir semua pesan yang ada di aplikasi hijau, termasuk dari Rain.
[Bang, Elok jatuh dari tangga, kondisinya kritis.]
Diperhatikan waktunya kemarin pukul 19.01 W.I.B
“Ck. Kamu pikir aku peduli?”
Hati nurani Diaz tak tergerak sedikit pun untuk menanyakan keadaan Elok.
Untungnya, Elok selamat.
Jantungnya kembali berdetak setelah proses yang cukup menegangkan. Hanya saja, Elok mengalami koma selama seminggu!
Dan Diaz, pria itu benar-benar tidak menjenguknya sama sekali.
Melihat tidak ada itikad baik, kebencian sudah masuk dalam relung jiwa keluarga Elok.
Adinata lantas memandang sendu putri tunggalnya.
“Kamu akan menyesal Diaz Pradana,” lirih pria itu lalu keluar dari ruang ICU.
“Rain!” panggil Adinata.
“Ya, pi?”
“Kabarkan kematian Elok.”
Rain sangat terkejut dengan apa yang ayahnya katakan.
Begitu juga dengan Ratna yang bahkan matanya langsung memerah.
Keduanya mengira perempuan itu telah meninggal. “Ma–maksud papi?”
“Mulai hari ini, Elok Anugrah Cinta telah meninggal bersama janin berumur sepuluh minggu,” ucap Adinata tegas, “pastikan kabar ini terdengar jelas oleh Keluarga Pradana.”
“Pi!” jerit Ratna panik, “Elok kita masih hidup, kan? Kenapa–”
“Dia akan menanggalkan semua yang berkaitan dengan Elok. Namanya sekarang adalah Karen Esme,” jelas Adinata, “jika kondisinya telah membaik, papi akan kirim dia ke Jepang untuk hidup bersama kakek.”
“Papi juga sudah minta asisten Rain untuk mengurus ini semua,” tambah Adinata lalu menatap putranya dalam.
“Jangan lupa tugasmu, Rain. Beri kabar pada keluarga bajingan itu bahwa Elok meninggal dunia bersama janin yang baru berumur sepuluh minggu.”
Meski terkejut, keduanya akhirnya setuju dengan rencana Adinata.
Rain segera menuruti perintah sang ayah.
Dia menghubungi Noah–adik dari Diaz–dan menceritakan kejadian yang dialami Elok.
Bagaimana kembarannya itu terluka dan kritis dan juga bagaimana Diaz yang tak sekalipun menanyakan keadaan Elok, apalagi menjenguknya.
Tak lupa, Rain menambahkan informasi jika Diaz justru berkencan dengan seorang wanita ketika Elok sedang memperjuangkan hidupnya.“Elok akan dikebumikan di Jogja di samping makam ibu kandung kami. Jika keluarga kalian mau turut mengantar ke peristirahatan terakhir, aku akan berikan alamatnya.”
“Kau tidak bercanda, kan?” tanya Noah dari seberang telepon.
Namun, keseriusan Rain membuat adik Diaz itu tak berani bertanya lagi.
Ia merasa malu dengan kelakuan saudaranya. Jadi, dengan cepat, Noah menuju kantor sang kakak. Ia bahkan mengabaikan ayahnya yang tak sengaja ia temui di dekat resepsionis.
Hal ini jelas membuat Henry penasaran dan mengikuti anak keduanya melalui lift yang lain.
“Maaf pak ada urusan apa?” tanya sekretaris Diaz saat Noah hendak melewati meja wanita itu.
“Saya mau menemui kakak saya.”
“Apakah sudah membuat janji?” tanya sekretaris itu ramah.
“Kamu tuli ya? Saya mau menemui kakak saya, kamu tidak tahu siapa saya?” bentak Noah.
“Noah!” seru Glen menghampiri Noah.
“Ada apa?”
“Aku mau ketemu bang Diaz.” Noah langsung berjalan menuju ruangan Diaz dan membuka pintu dengan kasar.
“Glen, apa kamu tidak tahu cara mengetuk pintu?” tegur Diaz. Pria itu menyangka sang asisten yang memasuki ruangannya karena ia masih fokus pada komputernya.
“Bang Diaz!” pekik Noah.
“Noah? Ada a …?”
BBUUUKK!
Tanpa basa-basi, Noah langsung menyerang sang kakak, hingga Diaz tersungkur di dekat meja kerjanya.
“Apa-apaan kamu?”
Diaz mencoba menahan serangan dari Noah yang membabi buta.
“Bajingan kamu bang, sudah puas kamu hah? Elok meninggal bersama calon anak kalian.”
“Meninggal?” lirih Diaz mendadak lemas sebelum kembali dihajar Noah.
Pasrah, pria itu bahkan tidak berusaha menahan atau balik menyerang Noah.
‘Elok meninggal? Harusnya aku merasa sangat senang, tapi kenapa hatiku tak sejalan? Bersama calon anak kami? Dia hamil?’
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam kepalanya. Bahkan, hingga dirinya mendatangi kediaman Adinata Wijaya.
Meski dengan wajah babak belur akibat ulah adiknya, Diaz pergi ke sana.
Tak bisa dipungkiri, kehilangan Elok dan juga calon anaknya ternyata tak membuatnya bahagia seperti yang ia gaungkan.
Sejujurnya, Diaz tidak menyangka jika kejadian dua bulan yang lalu akan membuahkan darah dagingnya.
Saat itu, Diaz dan Elok bertengkar setelah wanita itu menegur Diaz yang selalu pulang malam dan bau alkohol serta bau rokok.
Merasa Elok terlalu mencampuri urusannya dan dibawah pengaruh alkohol, Diaz hilang akal dan memaksa istrinya itu melayani hasratnya.
Bahkan saat menggauli Elok, Diaz melakukan kekerasan fisik pada Elok, menampar, mencambuk tubuh istrinya dengan ikat pinggang, dan juga menjambak rambut.
“Den, den!” Suara satpam rumah besar itu membuyarkan semua pikirannya.
“Non Elok dikebumikannya di Jogja, den.”
“Oh begitu, ya sudah kalau begitu aku pamit.”
“Tunggu den.” Satpam itu sedikit berlari kearah posnya dan kembali lagi.
“Ini alamat rumah di sana den, tadi den Rain titip.” Diaz hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih, kemudian memacu kendaraannya meninggal rumah tersebut.
Diaz memandangi alamat tersebut, pikirannya berkelana.
‘Haruskah aku datang ke sana? Haruskah aku meminta maaf sebelum ia menyatu dengan bumi?’ gejolak batin Diaz.
Setelah menimang dan memikirkannya, Diaz memutuskan untuk menyusul ke Jogja. Namun, egonya terlalu tinggi untuk mengakui.
Jadi, ia hanya mengamati pemakaman istri dan anaknya itu dari kejauhan, bahkan hingga beberapa tahun berlalu, Diaz hanya berani berziarah dari jauh.
“Aku harusnya berpesta sekarang. Tapi, mengapa aku tak bahagia?”
Lima tahun berlalu. Karen Esme masih terbaring di ranjangnya empuk.Ia tidak memedulikan alarmnya yang menunjukkan jam 8 pagi di Tokyo karena begitu lelah.“Mom, bangun,” ucap balita laki-laki mencium kedua pipi Karen, ”Sudah siang, Mom” Dirasa tidak ada pergerakan, bocah itu menepuk-nepuk pipi sang ibu. “Bangun mom, atau ayah yang akan membangunkan,” ancamnya berusaha seram.Diam-diam, Karen pun tersenyum mengetahui usaha anaknya itu. Namun, matanya berat untuk terbuka. “Lima menit lagi sayang, mom masih ngantuk.”Untungnya, tak ada lagi suara dari anak kecil itu. Namun, Karen dapat merasakan bocah itu ikut berbaring di samping sang ibu–melupakan seorang pria tampan yang sedang berkutat membuat sarapan. Arashi Takahashi, pria tampan berkebangsaan Jepang itu melihat ke arah pintu kamar Karen dan menemukan bocah kecil kesayangannya tak juga keluar dari kamar ibunya. Dengan gemas, Arashi membuka pintu kamar tersebut dan menemukan sepasang ibu dan anak itu meringkuk bersama dengan m
Karen dan Arashi sudah berdiskusi tentang presentasi yang akan ia ikuti. Kini mereka sedang merapatkan produk apa yang akan dibawa. Yang pasti harus menjadi solusi untuk masyarakat di semua kalangan.Sebelum memutuskan untuk mendaftar, Karen dan Arashi melakukan banyak riset untuk menentukan produknya. Dua minggu melakukan penelitian akhirnya mereka sudah menentukan produk tersebut.“Bu, bagaimana jika nantinya kita tidak berhasil mendapatkan investasi? Bukannya ini akan mangkrak?” ucap salah seorang karyawan Karen, “jika demikian, kenapa tidak kita presentasikan saja produk yang sudah ada?” “Nice, Shun. Kamu memang jeli,” puji Karen.Karen pun menjelaskan bagaimana prospek kedepannya jika program atau proyek tersebut gagal mendapatkan investasi. Pria bernama Shun itu pun tertegun dengan pemaparan Karen. Bosnya memang pintar memanfaatkan peluang.Sebelum benar-benar mendaftar, Karen kembali mengecek nama-nama perusahaan yang sudah mendaftar. Tampak beberapa nama perusahaan yang be
Khawatir bertemu dengan Karen, Diaz sudah meminta panitia agar perusahaannya mendapat urutan terakhir. Sayangnya, kala hari pengumuman tiba, perusahaan Karen berhasil masuk lima besar dan akan melakukan presentasi besar, sedangkan perusahaan Diaz harus berhenti sampai di 20 besar saja.Meski demikian, Diaz sengaja mengundur kepulangannya hanya untuk mengikuti presentasi final tersebut. Selain berencana mendapatkan rekan bisnis untuk bekerjasama, ada sesuatu yang ia siapkan.“Karen Esme bersiaplah melihat kejutan dariku.” *“Arashi! Cepat ke mari!” perintah Karen.Ada kegelisahan dari tingkah laku dan nada suaranya, hingga membuat Arashi yang sedang asik bermain bersama Ken—jalan mendekat ke arahnya. “Ada apa? Apa ada yang gawat?”“Lihat ini! Sepertinya ada yang tidak beres.”“Mengapa tiba-tiba perusahaan kita digantikan oleh perusahaan lain?” tanya Karen.Arashi sontak melihat ke email yang ditunjukkan Karen. Inti dari surat tersebut adalah pemberitahuan adanya kesalahan dalam menul
“Halo, Elok Anugrah Cinta!”“Atau sekarang aku harus memanggilmu Karen? Karen Esme,” sapa Diaz setelah acara presentasi selesai.Karen masih diam, sejujurnya ia bingung harus bersikap seperti apa, ini terlalu mendadak.“Oh, kalau kamu lupa, perkenalkan aku Diaz Pradana, suamimu,” ujar Diaz seraya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.Pria itu memberi penekanan pada kata “suamimu” untuk memberi tahu kepemilikan pada pria yang berdiri di sebelah Karen.Tatapan tajam Diaz tak lepas dari wajah ayu Karen.Namun, wanita itu memilih untuk tidak membalas jabat tangan dari Diaz. Sungguh saat ini jantungnya sedang berdetak tak karuan, hatinya gelisah, dan tangannya dingin bagai memegang es batu.“Salam kenal, tuan Diaz,” balas Karen yang sudah bisa menetralkan detak jantungnya, “sepertinya, Anda salah mengenali seseorang.”Entah mengapa ia memilih tidak mengakui dirinya sebagai Elok.“Oh ya? Tapi Anda terlalu sama jika hanya dikatakan mirip dengan istri saya.”Diaz memainkan emosi Karen.Pri
Arashi yang gelisah menunggu Karen akhirnya bisa bernafas lega saat melihat adiknya itu berjalan ke arahnya.Senyum pria itu terkembang, membuat Karen melebur semua emosinya.“Bagaimana?” tanya Arashi.“Buruk! Aku benci berbicara dengannya.”“Mau makan makanan manis?” Karen mengangguk. Arashi selalu tahu apa yang bisa mengembalikan suasana hati Karen.“Mari kita jemput Ken lebih dulu!” seru sang kakak.Keduanya lantas berjalan menuju mobil, dengan Arashi yang memeluk pinggang adiknya.Diaz dapat melihat jelas pemandangan itu dari dalam mobilnya yang melaju melewati kakak beradik itu.Tangannya mengepal kuat.“Kamu cemburu?” tanya Glen setengah meledek.Diaz berdecak kesal, tak menjawab.Melihat itu, Glen menggelengkan kepalanya, sebelum kembali teringat sesuatu. “Kita harus segera bertolak ke Jakarta, Yas. Om Henry sudah marah-marah dengan tindakan egoismu meninggalkan Pradana.”“Kau kembalilah lebih dulu, aku masih ada urusan di sini.”*Sementara itu, setelah menjemput Ken, dua ber
Karen menghentikan langkah sejenak tanpa menoleh. Lalu kembali berjalan, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun--meninggalkan Diaz yang belum mendapat jawaban atas pertanyaannya.“Apa itu artinya Kenshin memang anakku?” Diaz menyimpulkan sendiri dan segera berlari keluar ruangan--memindai sekeliling mencari jejak Karen walau sekedar bayangan.Ketemu!Diaz kembali mengejar Karen. Langkahnya yang jenjang tak begitu sulit untuk menyusul ibu satu anak itu.“Karen, tunggu!” Pria itu mencekal tangan Karen, tetapi perempuan itu segera melepaskannya. “Sudah kukatakan, orang akan salah paham jika kamu melakukan hal seperti ini,” sentaknya.“Ayo kita bicara sebentar,” ajak Diaz.Karen sejenak melihat ke arah Arashi yang mengangguk dan Ken yang melambaikan tangan pada Diaz.“Ingat janji kita paman,” ucap Ken lalu tersenyum ke arah Diaz.Tanpa sadar, Diaz tersenyum. Senang. Satu kata yang bisa mengungkapkan isi hati Diaz saat ini.Sementara itu, Arashi membawa anak itu berlalu meninggalkan orang tu
Mendengar penuturan dokter membuat Karen semakin gelisah. Selain khawatir dengan kondisi Ken, golongan darahnya tak sama. Ia hanya menggeleng lemah.Tak kalah khawatir, Diaz berharap golongan darahnya sama.“Golongan darahnya O, tuan.”“Golongan darah kami sama dokter. Saya bisa menjadi pendonor,” ucap Diaz spontan.Karen menatap Diaz dengan ekspresi yang sulit diartikan.“Tidak perlu, Diaz.” Karen mengcekal tangan Diaz yang hendak berjalan mengikuti dokter.“Golongan darah Arashi sama dengan Ken. Sebentar lagi, dia akan sampai di sini,” lanjut Karen.Diaz mendengus kesal.“Jadi kamu akan memepertaruhkan nyawa anakmu demi menunggu pria itu, hah? Waraslah sedikit Karen.”Tanpa sadar ucapan itu keluar dari mulut Diaz. Sejujurnya, ia merasa kecewa mendapati kenyataan bahwa Arashi memiliki golongan darah yang sama dengan Ken. Bahkan, Karen lebih memilih menunggu Arashi ketimbang menerima donor darah darinya.“Harusnya, aku tak boleh seemosional ini, belum tentu Ken itu anakku.”Diaz meru
“Ayah, sakit!” racau Ken lagi, “Mom, ayah mana?”Karen memang tak terlalu pandai menenangkan Ken, sebab ada Arashi yang selalu bisa diandalkan.Wanita itu seketika tersadar. Sedekat apapun ia dengan anaknya, peran seorang ayah tak kalah pentingnya.Sedangkan Diaz, ia tak tahu harus berbuat apa. Selama ini, ia jarang sekali berinteraksi dengan anak kecil.Ia hanya bisa memandang iba.Untungnya, itu tak berlangsung lama. Arashi telah datang dengan membawa es krim kesukaan Ken.“Ta—da.” Arashi memamerkan paper bag yang ia bawa.“Maafkan ayah, boy. Tadi ayah ada sedikit urusan.”Arashi duduk di samping Ken, lalu mengecup kening bocah itu.Dibelainya kepala Ken lembut. “Di mana yang sakit?”Ken menunjuk bahu dan tangan kirinya. Anak kecil itu terus menangis dan mengeluh sakit--mungkin efek biusnya sudah habis.“Apa sakit sekali?” tanya Arashi, ia masih membelai kepala Ken. Ken mengangguk.“Jagoan ayah harus?”“Ku-at,” jawab Ken terbata.“Pintar.”Lagi. Ada sesuatu yang aneh di hati Diaz m