Share

Bab 3 Kematian Elok

“Antarkan Anna sampai ke rumah,” perintah Diaz yang langsung diikuti sopirnya.

Pria itu sebenarnya bisa saja memanfaatkan Anna untuk memuaskan hasratnya. Tapi, dia masih menghargai Elok sebagai istri sahnya. 

Walaupun brengsek, Diaz  tidak mau dicap sebagai tukang selingkuh. 

Ia juga tidak mau kelak Elok akan menjadikan hal itu sebagai bahan menghancurkannya untuk yang kedua kalinya. 

Diaz segera menuju kamarnya.

Karena lelah dan pengaruh alkohol, dia tidak memperhatikan keadaan sekitar rumah dan tertidur dengan pulas.

Hanya saja, tidurnya terganggu kala Bibi–asisten rumah tangga–datang membangunkan pria itu.

“Den Diaz!” 

Mengumpulkan kesadaran, Diaz pun berkata, “Lho, Bi? Ada apa?”

“Anu, den. Apa non Elok baik-baik saja?”

“Apa maksud bibi? Sudah pasti dia baik-baik saja, kan?” ucap Diaz, “jadi, bibi boleh pulang.”

“Sepertinya…” Bibi menjeda kalimatnya, tampak ragu untuk ikut campur urusan keluarga atasannya.

Tapi, ia tak bisa mengabaikan ingatannya tadi pagi saat ada bau anyir darah di sana dan juga laporan dari Pak RT yang mengatakan Nyonya Elok digendong dengan tergesa-gesa dari rumah.

“Tidak ada apa-apa, den,” ucap bibi pada akhirnya, “hanya saja, saya menemukan handphone non Elok di sudut meja. Saya permisi, den.” 

Wanita paruh baya itu meletakkan handphone tersebut di atas meja dapur, lalu pulang.

Diaz sendiri hanya melirik sekilas benda tersebut. 

Mengenaskan, satu kata itu cukup untuk mendeskripsikan kondisi benda tersebut.

Tapi, Diaz tidak peduli. Ia justru melanjutkan tidur sampai sore hari.

Karena merasa gerah, dengan cepat, ia pun membersihkan diri. Setelahnya, ia turun karena merasa perutnya terasa lapar. 

Namun, saat di dapur, tidak ada makanan sama sekali di balik tudung saji.

“Wanita sialan itu tidak pulang? Kenapa tidak ada makan,” gumam Diaz.

Biasanya, Diaz tidak akan sudi memakan makanan yang dibuat oleh Elok. Tapi, kali ini entah mengapa ia ingin sekali makan makanan yang dimasak oleh perempuan itu. 

Dengan terus mengumpati Elok, Diaz memesan makanan via ojek online.

Sembari menunggu pesanannya sampai, Diaz menggulir semua pesan yang ada di aplikasi hijau, termasuk dari Rain.

[Bang, Elok jatuh dari tangga, kondisinya kritis.] 

Diperhatikan waktunya kemarin pukul 19.01 W.I.B

“Ck. Kamu pikir aku peduli?”

Hati nurani Diaz tak tergerak sedikit pun untuk menanyakan keadaan Elok. 

Untungnya, Elok selamat.

Jantungnya kembali berdetak setelah proses yang cukup menegangkan. Hanya saja, Elok mengalami koma selama seminggu!

Dan Diaz, pria itu benar-benar tidak menjenguknya sama sekali.  

Melihat tidak ada itikad baik, kebencian sudah masuk dalam relung jiwa keluarga Elok.

Adinata lantas memandang sendu putri tunggalnya. 

“Kamu akan menyesal Diaz Pradana,” lirih pria itu lalu keluar dari ruang ICU.

“Rain!” panggil Adinata.

“Ya, pi?”

“Kabarkan kematian Elok.”

Rain sangat terkejut dengan apa yang ayahnya katakan. 

Begitu juga dengan Ratna yang bahkan matanya langsung memerah.

Keduanya mengira perempuan itu telah meninggal. “Ma–maksud papi?”

“Mulai hari ini, Elok Anugrah Cinta telah meninggal bersama janin berumur sepuluh minggu,” ucap Adinata tegas, “pastikan kabar ini terdengar jelas oleh Keluarga Pradana.”

“Pi!” jerit Ratna panik, “Elok kita masih hidup, kan? Kenapa–”

“Dia akan menanggalkan semua yang berkaitan dengan Elok. Namanya sekarang adalah Karen Esme,” jelas Adinata, “jika kondisinya telah membaik, papi akan kirim dia ke Jepang untuk hidup bersama kakek.”

“Papi juga sudah minta asisten Rain untuk mengurus ini semua,” tambah Adinata lalu menatap putranya dalam.

“Jangan lupa tugasmu, Rain. Beri kabar pada keluarga bajingan itu bahwa Elok meninggal dunia bersama janin yang baru berumur sepuluh minggu.”

Meski terkejut, keduanya akhirnya setuju dengan rencana Adinata.

Rain segera menuruti perintah sang ayah.

Dia menghubungi Noah–adik dari Diaz–dan menceritakan kejadian yang dialami Elok. 

Bagaimana kembarannya itu terluka dan kritis dan juga bagaimana Diaz yang tak sekalipun menanyakan keadaan Elok, apalagi menjenguknya.

Tak lupa, Rain menambahkan informasi jika Diaz justru berkencan dengan seorang wanita ketika Elok sedang memperjuangkan hidupnya.

“Elok akan dikebumikan di Jogja di samping makam ibu kandung kami. Jika keluarga kalian mau turut mengantar ke peristirahatan terakhir, aku akan berikan alamatnya.”

“Kau tidak bercanda, kan?” tanya Noah dari seberang telepon.

Namun, keseriusan Rain membuat adik Diaz itu tak berani bertanya lagi.

Ia merasa malu dengan kelakuan saudaranya. Jadi, dengan cepat, Noah menuju kantor sang kakak. Ia bahkan mengabaikan ayahnya yang tak sengaja ia temui di dekat resepsionis.

Hal ini jelas membuat Henry penasaran dan mengikuti anak keduanya melalui lift yang lain.

“Maaf pak ada urusan apa?” tanya sekretaris Diaz saat Noah hendak melewati meja wanita itu.

“Saya mau menemui kakak saya.”

“Apakah sudah membuat janji?” tanya sekretaris itu ramah.

“Kamu tuli ya? Saya mau menemui kakak saya, kamu tidak tahu siapa saya?” bentak Noah.

“Noah!” seru Glen menghampiri Noah.

“Ada apa?”

“Aku mau ketemu bang Diaz.” Noah langsung berjalan menuju ruangan Diaz dan membuka pintu dengan kasar.

“Glen, apa kamu tidak tahu cara mengetuk pintu?” tegur Diaz. Pria itu menyangka sang asisten yang memasuki ruangannya karena ia masih fokus pada komputernya.

“Bang Diaz!” pekik Noah.

“Noah? Ada a …?”

BBUUUKK!

Tanpa basa-basi, Noah langsung menyerang sang kakak, hingga Diaz tersungkur di dekat meja kerjanya.

“Apa-apaan kamu?”

Diaz mencoba menahan serangan dari Noah yang membabi buta. 

“Bajingan kamu bang, sudah puas kamu hah? Elok meninggal bersama calon anak kalian.”

“Meninggal?” lirih Diaz mendadak lemas sebelum kembali dihajar Noah.

Pasrah, pria itu bahkan tidak berusaha menahan atau balik menyerang Noah. 

‘Elok meninggal? Harusnya aku merasa sangat senang, tapi kenapa hatiku tak sejalan? Bersama calon anak kami? Dia hamil?’ 

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam kepalanya. Bahkan, hingga dirinya mendatangi kediaman Adinata Wijaya.

Meski dengan wajah babak belur akibat ulah adiknya, Diaz pergi ke sana.

Tak bisa dipungkiri, kehilangan Elok dan juga calon anaknya ternyata tak membuatnya bahagia seperti yang ia gaungkan.

Sejujurnya, Diaz tidak menyangka jika kejadian dua bulan yang lalu akan membuahkan darah dagingnya. 

Saat itu, Diaz dan Elok bertengkar setelah wanita itu menegur Diaz yang selalu pulang malam dan bau alkohol serta bau rokok. 

Merasa Elok terlalu mencampuri urusannya dan dibawah pengaruh alkohol, Diaz hilang akal dan memaksa istrinya itu melayani hasratnya. 

Bahkan saat menggauli Elok, Diaz melakukan kekerasan fisik pada Elok, menampar, mencambuk tubuh istrinya dengan ikat pinggang, dan juga menjambak rambut.

“Den, den!” Suara satpam rumah besar itu membuyarkan semua pikirannya.

“Non Elok dikebumikannya di Jogja, den.”

“Oh begitu, ya sudah kalau begitu aku pamit.”

“Tunggu den.” Satpam itu sedikit berlari kearah posnya dan kembali lagi.

“Ini alamat rumah di sana den, tadi den Rain titip.” Diaz hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih, kemudian memacu kendaraannya meninggal rumah tersebut.

Diaz memandangi alamat tersebut, pikirannya berkelana.

‘Haruskah aku datang ke sana? Haruskah aku meminta maaf sebelum ia menyatu dengan bumi?’ gejolak batin Diaz.

Setelah menimang dan memikirkannya, Diaz memutuskan untuk menyusul ke Jogja. Namun, egonya terlalu tinggi untuk mengakui. 

Jadi, ia hanya mengamati pemakaman istri dan anaknya itu dari kejauhan, bahkan hingga beberapa tahun berlalu, Diaz hanya berani berziarah dari jauh.

“Aku harusnya berpesta sekarang. Tapi, mengapa aku tak bahagia?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status