Plak!
Vania terpekik sambil memegang pipinya yang panas memerah. Aku menatapnya nanar dengan tangan yang bergetar, belum sepenuhnya sadar dengan apa yang baru saja terjadi.
"A—abang, berani tampar aku?!" teriaknya diiringi isakan. Air mata sudah meleleh di kedua pipinya.
"Suami tak berguna katamu, Vania?" bisikku dengan mata nyalang. Istriku itu tampak sedikit ketakutan. Kuraih kedua pundaknya dan menatap tajam.
"Di mana rasa hormatmu, Vania? Abang benar-benar kecewa!" Badannya bergetar, sementara aku mencengkram bahu mungil itu dengan kuat.
"Abang memang tidak berguna! Abang keterlaluan!" jeritnya sambil berusaha melepaskan diri. Kulonggarkan cengkeraman, membiarkannya berlalu.
"Akan kuadukan pada Mama dan Papa! Lihat saja apa yang akan Mama lakukan!" ancamnya sebelum berlari ke kamar. Suara bantingan pintu, sekali lagi menggema.
Badanku luruh ke lantai. Kuusap kasar wajah yang terasa panas. Air mata memaksa keluar sejak tadi, tapi kutahan sekuat tenaga. Suara isakan terdengar lirih. Vaniaku yang tak pernah menangis sebelumnya, kini harus terluka. Penyesalan menyeruak, memenuhi rongga dada. Namun, malam ini aku takkan berusaha untuk menenangkan hatinya.
Kubaringkan tubuh yang terasa remuk di atas sofa. Rasa letih setelah bekerja berat seharian, dan ditambah kejadian barusan, membuatku seolah tak bertenaga. Mataku terpejam seketika. Tak lama, aku sudah terhanyut ke alam mimpi.
*
Suara azan subuh yang mendayu memaksaku bangun. Rasa dingin seketika menyergap. Hujan rintik di luar sana. Aku tertidur di sofa tanpa bantal dan selimut. Teringat kembali dengan kejadian semalam, seketika membuat kepalaku berdenyut-denyut. Kulangkahkan kaki untuk menunaikan kewajiban seorang muslim. Meskipun bukan seseorang yang taat, aku masih berusaha menjalankan perintah-Nya. Lama aku terpekur dalam do'a. Meminta kepada-Nya agar keadaan kembali seperti sedia kala.
Kubuka pintu kamar perlahan. Vania tampak tertidur pulas. Kupandangi wajahnya yang terlihat damai. Pipinya yang masih sedikit merah bekas tamparan, membuatku menyesal. Sebelumnya, tak pernah sekali pun aku berbuat kasar padanya. Jangankan menamparnya keras, membentaknya saja tak pernah kulakukan. Rasa cinta yang terlalu besar, membuatku lemah.
Kukecup keningnya lembut sembari membisikkan kata maaf. Istriku yang cantik tiba-tiba menggeliat. Kelopak matanya yang ditumbuhi bulu-bulu lentik perlahan terbuka. Melihatku yang duduk di sampingnya, seketika ia mendekap bantal dan menjauh.
"A—abang mau apa?" tanyanya gugup dan cemas. Aku mendesah.
"Abang ... minta maaf, sudah menyakitimu. Abang khilaf, Van," jawabku, menatap kedua manik berwarna cokelat miliknya lekat-lekat. Wanita bertubuh mungil itu memalingkan wajahnya, tanpa berkata-kata.
"Van ... dengerin Abang, Sayang!" Kuelus rambutnya yang tergerai. Seketika tangannya menepis tanganku.
"Bicaralah, Van .... Tolong jangan diamkan Abang begini," pintaku lagi. Ia bergeming.
"Vani—"
"Diamlah, Bang! Aku masih mengantuk! Jangan harap aku memaafkan kejadian semalam begitu saja!" Dengan cepat ia memotong ucapanku. Aku tertunduk, lantas bangkit untuk ke luar kamar.
*
Kusiapkan semua kebutuhan sebelum berangkat kerja. Mulai dari mengisi botol air minum, menyiapkan pakaian, dan menyusun alat tukang. Dulu, biasanya Vania sudah meletakkan baju kerjaku di atas ranjang bersama dengan tas kerja. Makanan lezat sudah terhidang di meja. Sekarang semuanya menghilang. Hari ini aku harus berangkat kerja tanpa sarapan lagi. Kuputuskan untuk membeli nasi uduk di simpang pasar. Sedangkan untuk Vania, kutinggalkan selembar uang berwarna biru.
Masuk ke kamar untuk berpamitan, kudengar Vania sedang bercakap di telepon.
"Ma, nanti Mama ke sini ya!" katanya disertai sedikit isakan.
"Pokoknya Mama ke sini!" ucapnya lagi.
"Bukan, uangnya belum ada! Bang Dani gak ada uang. Pokoknya nanti Mama ke sini!" rengek Vania. Entah apa yang Mama katakan. Namun sepertinya, aku akan mendapat masalah lagi.
Tak lama, sambungan telepon ia tutup. Melihatku yang berdiri mematung di depan pintu, ia keringkan matanya yang tadi sedikit basah.
"Van ... Abang pamit berangkat kerja. Uang sudah Abang tinggalkan di atas meja. Doakan Abang bisa dapat uang untuk Mama ya! Soal semalam, Abang benar-benar minta maaf. Abang sungguh khilaf!" kataku panjang lebar. Tak ada jawaban darinya. Matanya sibuk menatap layar ponsel pintar itu. Aku mengembuskan napas berat.
"Abang minta tolong ... kalau tidak keberatan, masakkan nasi untuk nanti sore. Lauknya terserah, apa pun yang kamu masak, pasti Abang makan," pintaku. Ia terus bergeming. Kali ini kembali meringkuk di dalam selimut. Entah sampai kapan ia akan seperti itu.
Aku berlalu meninggalkan kamar sedikit tergesa. Tak ada lagi ceritanya Vania yang mencium tangan dan pipi, sebelum aku berangkat kerja. Sudah pukul setengah delapan. Dengan perasaan tak menentu, kulajukan motor ke tempat kerja.
*
"Mas Dani, kok melamun!" Aku tersentak. Pak Wira, bos proyek, sudah duduk di sampingku. Sekarang jam ishoma. Setelah salat zuhur, aku duduk di auning yang sengaja di bangun untuk tempat istirahat para pekerja.
"Waduh, saya gak sadar, Pak!" jawabku sambil tertawa. Pak Wira menyodorkan rokok, kubalas dengan gelengan.
"Sampean mikirin opo, to?" tanyanya dengan logat khas Jawa yang kental.
"Entahlah, Pak. Memikirkan nasib yang semakin tak jelas," ujarku mengalir begitu saja. Asap rokok Pak Wira mengebul.
"Masih muda jangan terlalu banyak pikiran, Mas! Nikmati hidup!" titah Pak Wira.
Tak lama kemudian, mengalirlah cerita-cerita tentang hidupnya yang dulu sulit dan penuh rintangan. Beliau dulu bekerja serabutan. Apa pun dilakukan untuk memberi makan anak dan istri. Istrinya yang belakangan kuketahui bernama bu Mirna, juga seseorang yang rajin dan ulet. Berjualan pecel, nasi uduk, dan lontong di depan kontrakan sepetak mereka. Sekarang, warung itu masih tetap bertahan, malah menjadi lebih maju dan sudah berbentuk ruko. Rumah kontrakan yang dulu ditempati pun, sudah mereka beli. Sesekali, kami mendapatkan makan siang gratis dari bu Mirna.
Dua orang anak Pak Wira semuanya berhasil menamatkan pendidikan sarjana. Anak sulung bernama Raditya, sekarang bekerja sebagai arsitek. Sedangkan anak kedua bernama Tyas, bekerja sebagai guru.
Aku salut dengan perjuangan pasangan suami istri itu. Namun tak pelak, juga merasakan iri. Pak Wira memiliki pasangan hidup yang sama tangguhnya dalam berjuang bersama.
"Bapak beruntung sekali, mempunyai pasangan seperti bu Mirna," ucapku tulus. Lelaki di sampingku tertawa, menampilkan keriput halus di sudut matanya.
"Rumput tetangga memang terkadang kelihatan lebih hijau, Mas! Tidak ada rumah tangga yang sempurna." Ia mengisap rokoknya dalam-dalam sebelum melanjutkan.
"Saya tidak tau seperti apa rumah tangga Mas Dani, tapi seorang istri itu bersikap sebagaimana didikan dari imamnya. Kalau kita bisa menuntun mereka dengan baik, pasti tak akan ada banyak masalah."
Aku tertegun. Benar juga. Ingatanku melayang pada Vania. Selama ini ia terlalu kumanjakan. Semua yang ia inginkan, didapatkan dengan mudah. Vania tak pernah merasakan sulitnya perjuangan dalam mencari rejeki. Kadang kubiarkan ia bersikap seenaknya. Jika ia senang, maka aku pun senang. Sekarang, saat kondisi terpuruk, ia berubah sangat jauh. Jangankan memberi semangat, ia malah menjauhiku.
"Saya do'akan apa pun masalah yang Mas Dani hadapi sekarang, akan ada jalan keluarnya. Sudah, sekarang ayo kita kerja lagi!" Pak Wira menepuk pundakku sedikit keras. Aku bangkit mengekor di belakangnya.
*
Kembali kutemui rumah dalam keadaan kosong. Bedanya, kali ini rumah tidak terkunci.
"Assalamu'alaikum. Van, Abang pulang!" Kucari ia di seluruh ruangan. Tak kutemukan sosoknya di mana pun.
Tiba-tiba pintu depan terbuka. Vania dan Mama datang tanpa mengucap salam. Di tangan mereka kulihat beberapa kantung belanja. Mama langsung menatapku tajam. Bergegas ia mendekatiku yang terdiam.
***
"Oh, bagus. Menantu tak berguna sudah pulang rupanya!" ketus Mama sambil mendekat. Garang ia menatapku. Sementara Vania duduk di meja makan, tak peduli."Sekarang kamu sudah berani berbuat kasar ya? Berani kamu menampar Vania!" Mama menunjuk-nunjuk mukaku. Tak tahu harus menjawab apa, aku hanya diam. Rupanya istriku benar-benar mengadu. Jantungku berdebar kencang, menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya."Mana suaramu? Jangan cuma berani sama perempuan kamu! Vania itu anak kesayangan Mama. Seumur hidup, tidak pernah seujung jari pun Mama memukulnya!" Wanita paruh baya di depanku berkacak pinggang."Ma—maaf, Ma. Semalam Dani benar-benar khilaf ...." Hanya itu kalimat yang bisa kuucapkan. Tak ada pembelaan lain. Bagaimanapun juga, tindakanku memang salah. Kulirik istriku yang langsung membuang muka."Khilaf, khilaf, katamu! Sudah jadi kere, sekarang malah berani main kasar! Nih, rasakan!" Sebuah tamparan keras dari Mama mendarat di pipiku. Terhuyung, aku merasa penglihatan sedik
Setelah kepergian Mama, aku langsung ke kamar. Badan dan pikiran perlu diistirahatkan. Letih badan mungkin tak seberapa, tapi lelah hati sungguh menyiksa. Rumah yang dulu seperti surga, perlahan terasa seperti neraka.Aku baru saja akan memejamkan mata, saat pintu kamar tersibak. Vania datang setelah mengantarkan kepergian Mama yang pulang dengan taksi online. Kuacuhkan kedatangannya. Dari raut wajahnya yang ditekuk itu, aku tahu dia pasti sangat kesal dengan kejadian tadi. Biarlah, agar mereka mengerti bahwa aku tidak bisa dilemahkan."Abang masih bisa tidur, setelah berucap jahat kepada Mama?" sindir Vania. Aku bergeming. Malas untuk meladeninya."Aku tak menyangka, Abang bisa seperti ini!" geramnya lagi."Terus, maumu Abang tetap diam saat kalian bertingkah seenaknya?" Aku akhirnya buka suara."Seenaknya, Abang bilang? Abang pun sekarang hanya memberiku uang seenaknya!" Vania berkacak pinggang di pinggir ranjang. Uang dan selalu uang yang ia bahas."Kamu tau kan, kondisi kita seda
Wanita berambut pirang dan berbaju ketat di depanku tersenyum."Vanianya, ada?" tanya wanita itu. Aku masih melongo."Eh, i—iya ada. Ada perlu apa?" Aku balik bertanya."Saya mau ketemu aja!" jawabnya tiba-tiba judes."Ok, tunggu. Saya panggilkan!" Aku berlalu ke dalam.Vania terlihat menyeka keringatnya. Menjemur pakaian bukanlah hal berat, tapi ia kelihatan letih sekali. Mungkin karena sudah lama ia tidak melakukan pekerjaan rumah."Ada yang mencarimu di depan," kataku sambil mendekatinya."Siapa?" sahutnya."Abang gak tau. Rambutnya pirang!" Mata Vania langsung berbinar mendengar jawabanku. Diletakkannya keranjang pakaian, lalu langsung berlari ke depan. Aku yang merasa penasaran, diam-diam mengekor."Bella!" teriak Vania girang. Kedua perempuan itu kemudian berpelukan seperti Teletubbies."Apa kabar, Van?" kata wanita yang ternyata bernama Bella."Ayo, duduk dulu. Aku baik-baik aja, Bell. Ya ampun, udah lama banget gak ketemu. Kamu tambah cantik aja!" puji Vania. Aku yang mendenga
Tanganku sedikit bergetar saat melihat story WA Vania. Kuremas geram ponsel di genggaman. Rahangku mengeras."Kamu yang bohong, atau Vania, Dan?" tanya Kak Fitri.Aku tertunduk, masih memandangi foto itu tak percaya."Istrimu Kakak lihat, kok pergaulannya seperti liar begitu? Kamu bilang dia sedang tak enak badan di rumah?" imbuh Kak Fitri lagi.Aku tak bisa berkata-kata. Dalam foto itu, terpampang jelas Vania yang sedang tersenyum hanya menggunakan hot pants dan sport bra di dalam sebuah gym. Lekuk tubuh dan auratnya terlihat jelas. Sementara di sampingnya berdiri Bella dengan penampilan yang sama.Yang menjadi masalah lagi, di kiri dan kanan mereka berdiri dua orang pria bertampang bule yang dengan bangga memamerkan perut sixpack. Salah satunya dengan sangat lancang merangkul pundak Vania! Kurang ajar!Aku mengembuskan napas kasar. Segera kutelpon Vania untuk menyuruhnya cepat pulang. Tak ada jawaban darinya. Sudah pasti ia sengaja tak mengangkat panggilan."Kakak tidak bermaksud ke
Sebuah mobil sudah terparkir di depan rumah. Ternyata Vania sudah pulang, sedang duduk mengobrol dengan Bella di teras. Bagus, sekarang dia sudah mengenakan pakaian sporty yang tadi pagi ia pakai sebelum pergi. Pintar sekali. Sementara, di dalam mobil berkaca hitam itu, sekilas kulihat dua orang pria yang ada dalam foto Vania tadi sedang duduk. Mungkin menunggu Bella.Saat turun dari motor, mereka tak menggubrisku sedikit pun. Vania melirik sekilas tanpa kata. Tak ada sambutan atau apa pun. Bahkan saat kuucap salam, tak ada jawaban. Kumasuki rumah dengan perasaan tak menentu. Vania dan Bella masih mengobrol sambil cekikikan. Duh, cepatlah kau pulang, Bella!Do'aku terkabul. Tak lama kemudian, Bella pamit. Vania masuk ke dalam. Aku yang sudah menunggu sejak tadi, langsung berdiri menghadang."Abang mau bicara, duduk dulu!" titahku tanpa basa-basi."Nanti saja bicaranya, Bang! Aku mau mandi, bau keringat!" ujarnya sambil berlalu.Kucekal tangannya, lalu kududukkan ia ke kursi."Duduk, V
(PoV Vania)Namaku Vania. Saat ini hidupku sedang sangat menderita. Belum setahun aku menikmati manisnya pernikahan, suamiku malah terkena PHK. Hari-hariku yang dulu aku habiskan dengan bersenang-senang dan belanja, kini terasa hampa. Aku banyak menghabiskan waktu di rumah saja, sampai merasa bosan.Suamiku sekarang bekerja sebagai kuli bangunan, yang gajinya tidak seberapa. Bayangkan, dia yang tadinya seorang manager, sekarang menjadi seorang kuli. K-U-L-I. Aku sangat malu dengan profesinya yang baru, tidak bergengsi sama sekali. Bagaimana kalau ada orang yang bertanya apa pekerjaan suamiku?Masa aku jawab kuli! Vania yang terkenal mewah, punya suami kuli. Belum lagi, uang gajinya sangat jauh lebih kecil dibandingkan gajinya yang dulu. Aku tak bisa bebas jajan sana sini. Duh, pokoknya benar-benar sial hidupku!Dulu itu, aku sangat terpesona dengan Bang Dani. Selain wajahnya yang gak terlalu malu-maluin, dia juga sangat royal. Dirayu sedikit saja, dia langsung luluh dan memberikan ap
(PoV Vania)Sayang seribu kali sayang, hanya beberapa bulan saja aku bisa menikmati semua itu. Saat mendengar kabar bahwa Bang Dani terkena PHK, aku sangat terguncang. Aku tidak mau hidup miskin! Bagaimana dengan hobi belanjaku? Mama dan Papa pasti tidak mau memberiku uang lagi. Bang Dani selalu coba menenangkan aku.Berminggu-minggu kulihat ia kesana kemari mencari pekerjaan baru. Namun, hasilnya masih nihil. Aku menjadi sangat ketakutan dan stres. Ujung-ujungnya dia malah jadi kuli. Untung saja aku menuruti kata Mama untuk tidak cepat-cepat hamil! Kalau sudah hamil, mungkin aku akan tambah kebingungan. Mama memang selalu benar.Sekarang, aku jadi malas sekali melihat wajah Bang Dani. Mukanya terlihat lebih tua dan gelap. Tidak bersih dan putih lagi. Mungkin karena terik matahari dan debu. Jangankan bermesra-mesraan seperti dulu, dipegangnya saja aku enggan sekali. Agak jijik rasanya. Aku juga mulai malas berbicara dengannya. Untuk apa?Toh, dia sudah tak bisa membahagiakanku seperti
Samar-sama kudengar Vania berbicara lirih di telepon. Sekali-kali ia tertawa manja. Kalau tidak salah dengar, dia memanggil 'Sayang'? Saat melihatku berdiri di pintu belakang, dia tampak sangat terkejut. Hampir saja ponsel itu lolos dari genggamannya. Dengan tiba-tiba, panggilan dia putuskan."E–eh, Abang! Su–sudah lama berdiri di situ, Bang?" cicitnya, tergagap-gagap.Aku tak lantas menjawab. "Memangnya kenapa?" tanyaku sambil menatapnya."Gak apa-apa, sih. Tadi Bella yang telepon," ucapnya, tanpa kutanya. Ponselnya ia genggam erat, lalu dimasukkan ke kantung baju sweater."Oooh, Bella .... Sama Bella, panggilnya sayang-sayangan?" sindirku.Wajah Vania terlihat sedikit kaget, tapi segera ditutupinya. Ia lalu tertawa sumbang, padahal tak ada yang lucu. Sangat mencurigakan."Hehehe, iya Bang! Sama Bella, panggilnya sayang-sayang. Oh ya, Abang kan, sudah telat!" Vania lantas masuk ke ruang tengah.Aku langsung tersadar. Kalau saja waktunya sedang tidak mepet, pasti sudah kuperiksa ponse