“Ah, ma-maaf, Bang! Vania gak sadar kalau air mata sudah meleleh.” Ia menghapus air matanya dengan hati-hati menggunakan tisu yang tersedia di meja.“Kalau sudah tak ada yang dibicarakan lagi, aku pamit pulang.”‘Sebentar Bang, sebentar!” cegahnya.“Apa lagi?” tanyaku sedikit gusar. Sekarang sudah hampir jam enam. Seharusnya aku sudah sampai di rumah sejak tadi. Rasa lelah dan lapar semakin mendera, membuatku mudah terpancing emosi.Vania tampak sedikit ragu-ragu untuk berkata. Wajahnya terlihat sangat gelisah. Apa sih, maunya dia? Aku mulai tak sabaran.“Bang … ayo kita menikah lagi, Bang!” Kalimat itu berhasil lolos dari bibirnya. Aku seakan tak percaya dengan yang baru saja kudengar.“Vania … apa kamu tidak tahu, kalau kita sudah tidak bisa menikah lagi? Kecuali kalau kamu menikah dahulu dengan orang lain, lalu kemudian bercerai?” tanyaku dengan nada tajam.“A-apa iya, Bang? Vania … benar-benar gak tahu!” cicitnya.“Sekarang kamu sudah tahu. Jadi, tak usah bicara aneh-aneh lagi! Ki
“Kak, tolong!” pintaku sambil menyerahkan ponsel ke tangannya.Kak Fitri sedikit gelagapan dengan tindakanku. Dahinya mengkerut seraya membaca nama yang tertera. Sejurus kemudian, ia paham dengan situasi. Tak lama, panggilan ia angkat. Tak lupa ia aktifkan pula pengeras suaranya, agar aku bisa mendengar percakapan.“Halo, Assalamu’alaikum!” ucap Kak Fitri datar. Untuk beberapa saat, tak ada jawaban. Hening.“Halo?” ucap Kak Fitri lagi.“Halo, mana si Dani sialan itu, hah? Dia apakan Vania tadi sore? Kenapa anak saya menangis setelah ketemu dia? Dasar mantan menantu tak tahu diri!” maki Mama tanpa ampun. Ya ampun, untung bukan aku yang menjawab teleponnya tadi.“Lah. Kok, Ibu nyalahin adik saya terus? Salahin anak perempuan Ibu sendiri, dong! Sudah bercerai, kok, masih maksa-maksa minta ketemu! Gak punya malu namanya!” balas Kak Fitri sengit. Aku memperhatikan bibirnya yang maju lima senti. Ternyata kakakku galak juga, bisikku dalam hati.“Halah, alasan saja! Paling si Dani tuh yang ma
Kunikmati makan siang kali ini dengan sensasi yang berbeda. Bukan karena menunya yang sangat nikmat, tapi karena kejadian tadi pagi yang selalu terbayang di pelupuk mata.Aku duduk berdampingan dengan Pak Wira yang hampir menghabiskan bekalnya. Sementara aku, menghayati dan menikmati setiap kunyahan dengan sepenuh hati.“Kenapa Mas Dani, makanannya kurang enak? Kok ngunyahnya pelan-pelan gitu?” selidik Pak Wira sambil memandangiku.Aku tersenyum malu. “Eng-enggak kok, Pak. Justru sebaliknya. Ini makanan yang paling nikmat yang pernah saya makan!” jawabku sambil menyendokkan nasi dan potongan ayam bakar.“Halah, masa sih, Mas? Bukannya udah sering makan masakan istri saya?” kata Pak Wira sambil tertawa lebar.Ah, andai Pak Wira tau apa yang aku rasakan. “Iya sih, Pak. Tapi, kali ini ada yang berbeda saja.” Aku melanjutkan makanku.Pak Wira geleng-geleng sambil tersenyum menampakkan deret gigi putihnya yang masih lengkap.“Ngomong-ngomong, makasih ya Mas, sudah mau mampir ke rumah ngamb
"Assalamualaikum!" Kuketuk pintu rumah yang terkunci sambil sekali-kali melongok ke dalam melalui jendela."Assalamualaikum! Van, buka pintunya. Abang pulang!" Keadaan di dalam rumah gelap. Tak ada satu pun lampu yang menyala. Entah ke mana perginya istriku, Vania.Kucoba menghubungi nomor ponselnya, tapi tak ada jawaban. Apakah ia sedang keluar lagi, seperti kemarin-kemarin?Sekitar lima belas menit kemudian, sebuah mobil hitam metalik memasuki pekarangan. Vania turun dari mobil, lalu melambaikan tangannya ke arah kendaraan beroda empat itu. Sekilas kulihat ada beberapa perempuan lainnya di dalam sana, yang membalas lambaian Vania sambil tersenyum."Eh, Bang Dani. Udah lama, Bang?" Vania bertanya tanpa rasa bersalah saat melihatku yang terduduk kelelahan di teras rumah."Dari mana saja kamu?" tanyaku pelan. Tak ada jawaban. Vania langsung membuka kunci pintu dengan santainya, lalu melenggang masuk. Aku mengekor sambil mendorong motor masuk ke rumah."Abang tanya, kamu dari mana?" Ka
"Ma-mama?" Mataku membulat sedikit terkejut dengan kedatangannya."Ck! Lama banget sih, buka pintu!" Ia menerobos masuk, melewatiku yang masih berdiri di depan pintu. Badanku sedikit terhuyung ke samping dibuatnya."Ah, maaf, Ma. Tadi Dani sedang makan," jawabku sambil menutup pintu, lalu mengekorinya."Vania mana?" Matanya menatap sekeliling, tanpa memedulikan ucapanku sedikit pun."Vania sudah tidur, Ma. Tadi katanya kecapekan." Aku kembali ke meja makan, berniat menghabiskan mie yang mulai dingin.Mama melirik ke arahku sekarang. "Ya ampun, Dani ... jadi, kamu makan sendiri? Ckckck!" tuduhnya tanpa tahu situasi. Kepalanya menggeleng-geleng sambil menggumamkan sesuatu."Gak gitu, Ma. Tadi Dani—" Ucapanku terpotong. Mama seketika sudah berdiri di pintu kamar sambil mengetuk."Van, kamu sudah tidur? Ini Mama datang!" teriaknya lantang.Selera makanku seketika hilang. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kepala Vania menyembul dari dalam. Wajahnya semringah melihat kehadiran Mama."Mama?! K
Vania Kartikasari, wanita yang baru setahun lalu aku persunting sebagai istri. Pertemuan pertama kami tidaklah disengaja. Saat itu, aku sedang mengantri di sebuah mini market untuk membayar barang belanjaan. Antrian yang cukup panjang, membuat orang-orang tak sabaran saat gadis yang berdiri tepat di depan meja kasir sedari tadi mengecek tasnya."Buruan, Dek! Pegel nih, berdiri!" sahut seorang ibu bertubuh tambun di belakangku. Tangannya menenteng sekeranjang penuh berbagai macam barang. Wajahnya terlihat kesal.Gadis itu bertambah panik. Kutebak ia lupa membawa uang atau dompetnya ketinggalan. Kulirik sekilas meja kasir, sebotol jus dan sebungkus snack saja yang dibelinya."Duh, lama sekali sih!" Sekarang seorang bapak yang berdiri tepat di belakangnya protes.Aku yang sedari tadi memperhatikan, mulai merasa kasihan. Wajah gadis itu memerah, seperti akan menangis. Tanpa pikir panjang, segera kudekati kasir yang sedari tadi sabar menunggu."Berapa semua belanjaannya, Kak?" tanyaku cepa
Plak!Vania terpekik sambil memegang pipinya yang panas memerah. Aku menatapnya nanar dengan tangan yang bergetar, belum sepenuhnya sadar dengan apa yang baru saja terjadi."A—abang, berani tampar aku?!" teriaknya diiringi isakan. Air mata sudah meleleh di kedua pipinya."Suami tak berguna katamu, Vania?" bisikku dengan mata nyalang. Istriku itu tampak sedikit ketakutan. Kuraih kedua pundaknya dan menatap tajam."Di mana rasa hormatmu, Vania? Abang benar-benar kecewa!" Badannya bergetar, sementara aku mencengkram bahu mungil itu dengan kuat."Abang memang tidak berguna! Abang keterlaluan!" jeritnya sambil berusaha melepaskan diri. Kulonggarkan cengkeraman, membiarkannya berlalu."Akan kuadukan pada Mama dan Papa! Lihat saja apa yang akan Mama lakukan!" ancamnya sebelum berlari ke kamar. Suara bantingan pintu, sekali lagi menggema.Badanku luruh ke lantai. Kuusap kasar wajah yang terasa panas. Air mata memaksa keluar sejak tadi, tapi kutahan sekuat tenaga. Suara isakan terdengar lirih.
"Oh, bagus. Menantu tak berguna sudah pulang rupanya!" ketus Mama sambil mendekat. Garang ia menatapku. Sementara Vania duduk di meja makan, tak peduli."Sekarang kamu sudah berani berbuat kasar ya? Berani kamu menampar Vania!" Mama menunjuk-nunjuk mukaku. Tak tahu harus menjawab apa, aku hanya diam. Rupanya istriku benar-benar mengadu. Jantungku berdebar kencang, menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya."Mana suaramu? Jangan cuma berani sama perempuan kamu! Vania itu anak kesayangan Mama. Seumur hidup, tidak pernah seujung jari pun Mama memukulnya!" Wanita paruh baya di depanku berkacak pinggang."Ma—maaf, Ma. Semalam Dani benar-benar khilaf ...." Hanya itu kalimat yang bisa kuucapkan. Tak ada pembelaan lain. Bagaimanapun juga, tindakanku memang salah. Kulirik istriku yang langsung membuang muka."Khilaf, khilaf, katamu! Sudah jadi kere, sekarang malah berani main kasar! Nih, rasakan!" Sebuah tamparan keras dari Mama mendarat di pipiku. Terhuyung, aku merasa penglihatan sedik