(PoV Vania)Sayang seribu kali sayang, hanya beberapa bulan saja aku bisa menikmati semua itu. Saat mendengar kabar bahwa Bang Dani terkena PHK, aku sangat terguncang. Aku tidak mau hidup miskin! Bagaimana dengan hobi belanjaku? Mama dan Papa pasti tidak mau memberiku uang lagi. Bang Dani selalu coba menenangkan aku.Berminggu-minggu kulihat ia kesana kemari mencari pekerjaan baru. Namun, hasilnya masih nihil. Aku menjadi sangat ketakutan dan stres. Ujung-ujungnya dia malah jadi kuli. Untung saja aku menuruti kata Mama untuk tidak cepat-cepat hamil! Kalau sudah hamil, mungkin aku akan tambah kebingungan. Mama memang selalu benar.Sekarang, aku jadi malas sekali melihat wajah Bang Dani. Mukanya terlihat lebih tua dan gelap. Tidak bersih dan putih lagi. Mungkin karena terik matahari dan debu. Jangankan bermesra-mesraan seperti dulu, dipegangnya saja aku enggan sekali. Agak jijik rasanya. Aku juga mulai malas berbicara dengannya. Untuk apa?Toh, dia sudah tak bisa membahagiakanku seperti
Samar-sama kudengar Vania berbicara lirih di telepon. Sekali-kali ia tertawa manja. Kalau tidak salah dengar, dia memanggil 'Sayang'? Saat melihatku berdiri di pintu belakang, dia tampak sangat terkejut. Hampir saja ponsel itu lolos dari genggamannya. Dengan tiba-tiba, panggilan dia putuskan."E–eh, Abang! Su–sudah lama berdiri di situ, Bang?" cicitnya, tergagap-gagap.Aku tak lantas menjawab. "Memangnya kenapa?" tanyaku sambil menatapnya."Gak apa-apa, sih. Tadi Bella yang telepon," ucapnya, tanpa kutanya. Ponselnya ia genggam erat, lalu dimasukkan ke kantung baju sweater."Oooh, Bella .... Sama Bella, panggilnya sayang-sayangan?" sindirku.Wajah Vania terlihat sedikit kaget, tapi segera ditutupinya. Ia lalu tertawa sumbang, padahal tak ada yang lucu. Sangat mencurigakan."Hehehe, iya Bang! Sama Bella, panggilnya sayang-sayang. Oh ya, Abang kan, sudah telat!" Vania lantas masuk ke ruang tengah.Aku langsung tersadar. Kalau saja waktunya sedang tidak mepet, pasti sudah kuperiksa ponse
Kuputuskan saja panggilan dari Mama. Kepalaku berdenyut-denyut mendengar omelannya. Kutelan ludah yang terasa kental. Dadaku berdebar-debar kencang. Seharusnya tak usah kuangkat saja tadi. Kalau sudah berurusan dengan Mama, pasti ujung-ujungnya uang.Ponselku kembali bergetar. Biarlah, kuabaikan saja. Kulanjutkan mengambil wudhu yang sempat tertunda. Waktu ishoma sebentar lagi habis.Setelah zuhur, kukeluarkan ponsel untuk mengecek. Di sana tertera 15 panggilan tak terjawab dari Mama. Pantas saja, selama aku salat ponselku tak henti bergetar. Belum lagi pesannya yang memaki-maki di aplikasi berwarna hijau. Tak lupa Mama membuat status bertuliskan 'Menantu Tak Berguna' di story-nya.Kuembuskan napas kasar. Cepat atau lambat, pasti akan ada masalah lagi. Entah sampai kapan keadaan akan terus begini. Mama yang selalu menuntut, dan istri yang kurang pengertian membuatku pusing bukan kepalang. Hanya bisa berdo'a, semoga roda cepat berputar kembali ke atas.🌷Sebelum pulang ke rumah, kuse
Sudah hampir jam setengah sembilan. Hujan bertambah deras. Kuputuskan untuk mencari Vania. Setelah mengenakan mantel plastik yang sudah sedikit robek, aku nekat menerobos hujan dengan motor. Kususuri jalan dengan pelan. Siapa tau Vania sedang berteduh di suatu tempat. Sesekali kuperhatikan juga mobil yang lewat. Yang kuingat, mobil Bella berwarna putih dengan tempelan stiker bertuliskan Baby Bella.Tak lupa aku selalu berhenti di tempat-tempat yang dulu senang ia kunjungi. Tujuan pertamaku adalah restoran seafood langganan kami dulu. Setelah turun dari motor, aku bergegas masuk. Suasana di dalam sangat ramai. Pemilik restoran yang mengenaliku, langsung menyapa. Pria yang kupanggil Koko itu lantas mendekat."Lho, Bang Dani? Sudah lama gak mampir. Mau pesan apa, Bang?" tanyanya, terlihat senang melihatku. Karena dulu aku selalu royal saat makan di sana."Bukan mau makan, Ko. Saya lagi cari Vania. Tadi ada mampir di sini tidak?" jawabku sedikit malu-malu."Ohhh Vania! Tidak ada. Seingatk
Brak!Kakiku melayang tanpa sadar, menendang pintu kamar mandi dengan kuat."Vania!" teriakku menggelegar.Dua insan yang tadinya saling berdekapan, langsung melepaskan diri. Wajah Vania pucat, sementara si lelaki terlihat kebingungan."Ba–bang Dani?!" cicitnya dengan suara yang sedikit tertahan. Wajahnya pias, seperti kehilangan darah.Kudekati mereka berdua dengan tatapan nyalang. Tanpa ba bi bu, langsung kutarik kerah baju lelaki yang masih berdiri di samping Vania.Bukk! Bukk!Tinjuku melayang membabi buta. Vania langsung berteriak histeris. Lelaki itu mencoba melawan dan melepaskan diri. Entah dari mana asalnya tenagaku, tapi ia tak bisa berkutik sama sekali. Badannya terhuyung, jatuh ke lantai granit yang dingin."Berhenti! Berhenti, Bang! Berhenti!" teriak Vania sambil mencoba menarik tanganku. Kutepis tangannya hingga tubuhnya terdorong lalu terjengkang. Lelaki di bawahku menggeliat, mencoba untuk melepaskan diri. Aku masih menghujaninya dengan bogem."Tolongg! Tolong! Toloooo
Perlahan kubuka mata. Seluruh badan terasa remuk dan sakit. Sejak kapan aku tertidur di lantai dapur? Kuangkat kepala yang rasanya berat, lalu duduk bersandar di dinding. Ternyata sudah pukul tujuh pagi. Sudah terlalu terlambat untuk berangkat kerja. Aku mendesah. Aku akan meminta izin kepada Pak Wira nanti.Kenapa hidupku jadi kacau begini? Teringat kembali peristiwa semalam, rasa sesak kembali hadir di dada. Sesakit inikah rasanya dikhianati? Dulu aku menganggap orang-orang yang patah hati terlalu berlebihan. Namun kini, aku sangat paham seperti apa rasanya.Sedikit terhuyung aku beranjak, lantas berlalu ke kamar. Kubuka pintu pelan, takut akan membangunkan Vania. Ia pasti masih terlelap sekarang. Namun alangkah terkejutnya, saat tak kudapati sosoknya di sana. Kudapati kamar mandi dan seluruh ruangan dalam keadaan kosong."Vania!" panggilku lantang. Bahkan di halaman belakang pun tak kutemukan sosoknya.Kucek pintu depan yang sudah dalam keadaan tak terkunci. Vania pergi? Sejak kapa
Ruang tamu berukuran 3x4 itu menjadi hening seketika. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar."Da-Dani ... kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan, Dan?" bisik Papa dengan wajah memucat.Aku menghela napas."InsyaAllah, Dani sadar, Pa. Maaf, selama ini belum bisa membimbing Vania dengan baik," ujarku sambil memandang Vania yang tampak meremas ujung bajunya."Ya, baguslah! Berarti Vania segera akan bebas darimu! Kamu senang kan, Sayang?" Mama mengusap-usap kepala putrinya yang sedari tadi tertunduk."Papa tak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Salah Papa juga, dulu tidak mendidik Vania dengan tegas!" Papa mengusap wajahnya kasar. Matanya tampak memerah."Papa apa-apaan sih! Harusnya kita justru senang. Lagi pula, kalau keadaan mereka terus-terusan begini, kasihan Vania! Nafkahnya tidak tercukupi. Kalau pun Dani tidak mentalak Vania, Mama akan suruh dia menggugat cerai!"Wajah Papa tampak memerah."Vania akan menjadi janda, dan Mama malah senang? Mama tau makhluk apa yang tert
Kadang, bagian terberat dari perpisahan bukanlah melepaskan ... tapi, melupakan semua kenangan yang tercipta dari setiap detik yang dilalui bersama.Berapa banyak orang yang gagal untuk melupa? Berapa banyak yang tetap mencintai dalam diam, meski raga sudah tak lagi bersama? Jawabannya, banyak, ada banyak. Mereka, tetap setia dengan ingatan-ingatan indah tentang orang-orang yang dikasihi.Aku, sepertinya akan menjadi salah satu yang gagal dan menolak untuk lupa. Meskipun kata perpisahan itu keluar dari mulutku, tapi rasa cinta yang besar tak berkurang barang setitik pun. Vania, mungkin aku terlalu mencintainya. Salahkah? Kalian anggap aku lemah? Tidak apa-apa. Masalah perasaan, bukanlah hal sepele. Bahkan, seorang Napoleon pun bisa patah hati.Mataku terpejam sesaat, tanpa menyadari bahwa aku sedang berada di atas motor menyusuri jalanan yang padat. Sepertinya, aku terlalu lelah. Tubuhku terasa seperti melayang. Ringan, seperti kapas. Ah, nyaman sekali. Biarlah kupejamkan saja mata.K