Share

2. Welcome to My Paradise

Awan kelabu beriak tenang, matahari malu-malu menampakan wajahnya. Angin semilir menerpa gadis pemilik wajah porcelain. Hanna menjuruskan pandangannya berkeliling. Tanah merah basah bekas hujan, pepohonan hijau rindang menebarkan harum pinus segar. Beberapa orang terlihat sedang berkumpul di sebuah warung sayuran, mirip seperti kampung tempat nenek tinggal seru Hanna dalam hati. Mendung tidak menyurutkan aktivitas orang-orang kampung ini. Dilihatnya kembali secarik kertas yang diberikan Pak Iffat kemarin malam.

Habban Mutarokiba, Kampung Babakan Mantri Desa Pinggirsari Kecamatan Arjasari, patokan rumah bercat kuning, desisku. Great! Dipikirnya rumah bercat kuning itu hanya ada satu-satunya.

Kembali pandangannya menebar berharap menemukan rumah kuning yang dituju tanpa harus bersusah payah. Satu, dua, tiga, dan benar saja, sepanjang pengelihatannya rumah berwarna matahari itu berjumlah lebih dari satu. Hanna memaksakan dirinya untuk bertanya agar segera sampai. Diseret kaki jenjang beralar sepatu putih kumal menuju kumpulan yang sedang sibuk memilah sayur-mayur segar.

“Permisi, ibu-ibu.” Hanna menjatuhkan ransel hijau botol begitu saja di lantai tanah “Mau tanya alamat, Bu.” Senyum tersungging rikuh.

“Oooh, muhun, mangga! Mau kemana, neng?” sahut seorang ibu berdaster merah jambu ceria.

“Ini, Bu… mau ke rumah Bapak Habban. Pak Habban Mutarokiba yang jadi guru itu, Bu”

Neng siapa ya?” tanya seorang ibu muda tiba-tiba. Raut wajahnya nampak curiga dan menyelidik. Rambut yang hitam legam dan panjang serasi dengan kulit sawo matangnya dengan paras tak kalah cantik dari model-model ibukota.

“Saya diutus dari Jakarta, Bu.” Kedua manik besar menyejajari pandangan mata wanita tadi.  “Dari pengadilan…” Kalimat Hanna menggantung, terputus oleh tingkah si cantik yang kegirangan

“Oooh iya, iya!” senyum si ibu muda melebar “Si Bapak memang bilang mau ada tamu dari Jakarta” serunya disambut paduan suara ibu-ibu dalam satu nada riuh oh dengan logat yang unik.

Hanna hanya bisa terpaku melihatnya, terkesima sekaligus terpesona. Ibu muda tersebut rupanya istri dari laki-laki yang ditinjuk pengadilan untuk mengawasi dirinya. Annisa mila, begitu informasi yang Hanna dapatkan dari salah satu penngunjung warung. Hanna menduga umurnya tak berbeda jauh.

Hanna mengekor wanita itu selepas dia membayar seluruh belanjaannya hari ini. Sepanjang jalan tak hentinya dia bercerita tentang suami, anak, kampung ini dan dirinya. Hanna pikir dia pasti selebriti di tempat ini, hampir setiap mereka berpapasan dengan seseorang di jalan, mereka akan selalu menyapa ‘neng mila’  baik pria ataupun wanita, muda dan juga tua. Keramahan tersebut bersambut manis, ‘neng mila’ melemparkan senyumnya dan membalas dengan memanggil nama mereka. Perjalanan ini akan sangat panjang pikir Hanna. Ocehan masih terus berlanjut sepanjang jalan berbatu.

“Ayo masuk.” Dipersilahkan Hanna masuk ke rumah dengan pekarangan yang luas  dirimbuni pepohonan. Bambu-bambu mengelilingi rumah menggantikan tugas pagar besi. Rumah itu memang tidak cukup besar akan tetapi sepertinya siapapun yang datang kerumah ini pasti betah berlama-lama duduk diam di teras beratap kayu unik. “Lhooo…malah diam disitu. Ayo sini,” panggilnya. Dihentikan decak kagum Hanna pada pekarang sembari mendekati si ibu muda yang sekarang berdiri membawa baki dengan dua gelas teh berasap di teras.

“Terima kasih, Neng Mila.” Annisa menyodorkan gelas teh sesaat setelah Hanna duduk di salah satu kursi. “Eh, Neng Mila, kan?” tanya Hanna meyakinkan.

Tawa renyah keluar dari mulutnya “Annisa mila, panggil saja Mila. Gak usah pake neng.” diulurkan tangannya. Kedua pipi bulat menunjukan rona kemerahan.

“Hanna Kamila, hanya Hanna tanpa neng juga.” Gurau Hanna diiringi senyum lebar Mila.

“Biar kurapihkan dulu kamarmu. Santai, diminum teh na sambil menunggu Kang Habban pulang dari sekolah,” ujarnya tanpa melepaskan senyum. Hanna mengangguk. Pandangan Hanna kembali  pada lautan hijau yang mengelilingi teras.

Aku suka wangi kayu, seru Hanna dalam hati.

Di Jakarta hal seperti ini bisa dengan mudah ditemukan, gazebo-gazebo kayu dan hijaunya halaman rumah, hanya saja wanginya berbeda. Lamunan Hanna mengenai masa kecil yang dihabiskannya bersama sang nenek menyeruak begitu saja. Dinikmati gambaran demi gambaran masa lalu seraya sesekali menenggak teh panas yang sedari tadi menetap ditangannya.

“Assalamualaikum…” Seruan salam membangunkan Hanna dari lamunan. Seorang laki-laki berperut sedikit buncit menggandeng tangan anak lelaki kecil dengan salah satu tangan sedangkan tangannya yang lain mengapit tas hitam khas seorang Umar Bakri.

Itu pasti Pak Habban, tebak Hanna. Disimpannya gelas di atas meja, berdiri menyambut kedatangan sang lelaki.

“Walaikumsalam,” jawab Hanna tergagap.

“Ada tamu geuning.” Senyumnya tak kalah indah dari istrinya. “Mangga, mangga.” dipersilahkan kembali Hanna duduk “’A, umi piwarang kadieu,” lanjutnya dalam bahasa khas Sunda. Anak kecil berumur delapan tahunan itu bergegas masuk kedalam rumah sambil menenteng tas lelaki itu.

“Saya Hanna, Pak.” Hanna memulai percakapannya “Dari Jakarta,”

“Hanna, iya, iya,” sahut Habban mengangguk-anggukan kepalanya. Hanna menyodorkan surat yang dibawa dari Pengadilan Jakarta dari carriernya.  Habban membaca surat tersebut dengan seksama, Hanna mencoba mencuri-curi pandang, bertanya-tanya reaksi apa yang akan diterimannya dari Habban. “Baik, saya terima, ya. Dek Hanna, akan berada di sini selama 24 minggu.”

Hanna memaksakan tersenyum, masih mencari-cari hal yang biasa dia dapat dari Nazri untuk hal seperti ini. Marah!

Abah,” suara Mila memecahkan keheningan yang Hanna rasakan. Dicium tangan suaminya dengan segala hormat. Potret manisnya keluarga.

Tidak akan pernah terjadi padanya dan Nazri, runtuk Hanna dalam pikirannya.

Umi, sudah kenal.” tangan Habban menunjuk ke arah Hanna.

“Sudah atuh, Pak,” seru Mila “Kamarnya sudah bersih sekarang.” dialihkannya pandangan pada Hanna. “Istirahat dulu, biar besok segar.”

Muhun, silahkan...silahkan” Habban memperkenan Hanna untuk masuk ke rumah. Jarum jam menunjuk angka delapan tepat saat Hanna melirik smartwatch di tangan kiri. Waktu berlalu cepat. Hanna undur diri dan mulai beranjak menuju tempat yang ditunjukan. Dilaluinya ruang-ruang sederhana, bersih dan rapih dengan furnitur yang sepertinya warisan kedua orang tua mereka.

“Silahkan,” kata Mila menunjuk pada ruang tidur bertirai hijau. “Kamar mandi ada di belakang. Terus kalo ada apa-apa, ketuk aja kamar depan. Aku disitu.” Ibu jarinya mengarah keluar. Ditinggalkannya Hanna sendiri di kamar saat Hanna sudah mulai terbiasa di kamar tersebut.

Hanna mencoba mengelilingi ruang tersebut yang berakhir di langkah ke sepuluh. Tidak sebesar dan semewah kamar miliknya. Dihempaskan diri pada kasur tipis dengan seprai berwarna pastel, pencerah kesuraman kamar ini. Dengan penerangan seadanya sebuah jendela besar dengan dua bukaan terpampang tepat di depan kasur, mungkin dikhususkan untuk menyambut matahari terbit.

Aaah, desis Hanna merebahkan tubuhnya. Dia memang sudah cukup kelelahan dengan perjalanannya memakan waktu delapan jam. Sengaja Hanna pergi sepagi mungkin untuk menghindari Nazri. Kesal masih belum hilang sedari kemarin. Pikiran-pikiran kembali bermunculan mulai dari Nazri, Anggi, kenangan-kenangan bahagianya dan esok, hingga Hanna terlelap dan mulai bercumbu dengan mimpinya.

***

Ketukan pada daun pintu terdengar keras membuat Hanna tersadar dari lelapnya. Kepalanya terasa sedikit pening.

Jam berapa ini? tutur Hanna seraya melirik jam tangan yang masih bergelantung di lengannya. Dipijat-pijat dahi dengan ringan hingga ketukan kembali terdengar. “Iyaaa….” Teriak Hanna seperti yang biasa dilakukan di rumah. Bunyi derit pintu menyeruak kala Hanna membuka pintu kamarnya. Mila sudah berdiri rapih dan cantik juga beraroma kopi segar. Mila tersenyum.

“Ayo, sarapan,” Sahut Mila, berlalu dari hadapan Hanna. Tinggal Hanna yang terpaku bersandar pada dinding retak di sebelahnya.

Hanna seorang gadis dengan orang tua lengkap, tinggal di sebuah rumah di kompleks elit, mahasiswi di sebuah universitas swasta terkenal ber IPK hampir sempurna. Fasilitas yang didapat sedari kecil membuatnya menjadi anak yang cukup penurut namun bisa sangat  berani jika dirinya terusik bahkan terlalu berani sebagai seorang gadis. Sang ayah memang tidak pernah menolak smeua keingginan Hanna dan ibu tidak pernah berkomentar apapun. Kekasihnya merupakan seorang CEO ganteng perusahaan terkemuka dan bossy. Semenjak mengenal dan menjadi lebih dari sekedar teman, semua keputusan berada di tangan sang kekasih. Di awal memang Hanna merasa nyaman bersama kekasihnya, Nazri, namun lama kelamaan Hanna merasa dirinya bukan lagi milikinya sendiri. Keberaniannya tak mempan pada Nazri, mungkin karena hanya Nazri yang bisa mengalahkan ego yang ada pada diri Hanna. Kini, dialah yang tidak bisa menolak permintaan Nazri.

“Pagi,” ucap Hanna. Semua tampak sudah mulai sarapan.

“Silahkan, Dek.” Habban menunjuk pada sebuah kursi di sebelah seorang anak kecil “Setelah sarapan kita langsung ke sekolah.” Hanna menatap kebingungan. “Sesuai perintah pengadilan,”

Tak lama, Hanna sudah berjalan mengikuti Habban dan si anak kecil bernama Subhan. Kidung kelabu masih mendominasi hari ini menambah getirnya dingin pagi ini. Hanna merengkuh jaket keras-keras mencoba menghalau suhu rendah ini. Habban dan Subhan nampak asyik menyambut awal hari baru mereka. Mila tentu sedang sibuk dengan kegiatan rumah tangganya, jika saja boleh, Hanna lebih memilih untuk diam di rumah. Pinus-pinus berayun-ayun tertempa angin dihibur oleh coletahan burung-burung geraja mungil yang kemayu bolak-balik mengelilingi pepohonan.

“Nah, itu teh.” Subhan merujuk pada sebuah tempat yang mirip gudang. Tampak anak-anak berkumpul melingkari seorang lelaki di depan halaman. Beberapa orang dewasa berada di belakang anak-anak tersebut.

“Ritual pagi kami. Pak Faisal selalu memberikan motivasi pada anak-anak setiap pagi sebelum belajar.” Terang Habban seolah menjawab pertanyaan Hanna. Kami berhenti saat mendekati lingkaran itu.

Sekolah ini adalah sekolahnya manusia. Kalian bebas mengeluarkan opini dan ketertarikan kalian. Kita mengenyam pendidikan dengan mengkajinya, namun sering kali tanpa kita sadari kita abai terhadap esensi pendidikan. Waktu terus berputar, anak-anak. Zaman semakin berubah. Modal utama kesuksesan adalah motivasi yang kuat dan terpendam dalam diri kalian. Jadilah kalian manusia seutuhnya. Jadilah kalian ilmuan-ilmuan terkenal akan ilmu dan kebijakan yang luas. Bebaskan diri kalian merengkuh semua yang ingin kalian rangkul. Di sini, bersama bapak, bersama kami. ” 

Lelaki muda di tengah halaman menerima gemuruh tepuk tangan dari sekelilingnya. Dilihatnya mereka berlomba-lomba menyalami. Lelaki muda itu tersenyum lebar menyambut satu persatu anak-anak yang jumlahnya tidak lebih dari tiga puluh anak.

Mereka siswa sekolah ini? Sekolah Dasar Al Huda, baca Hanna pada papan nama yang tertancap tak jauh dari tempatnya berdiri. Mereka?

“Cacat? Ya!” jawab Habban tegas, kembali menerka pertanyaan Hanna saat raut muka Hanna berubah. Disabilitas.

“Subhan, ayo masuk,” seru lelaki yang disebut kepala sekolah tempat ini. Subhan melambaikan tangannya dan bergegas menyalami si kepala sekolah kemudian bergabung bersama teman-temannya yang lain.

“Subhan?” tanya Hanna, dahinya mengerenyit.

“Dia normal. Dan dia belajar banyak hal di sini. Ada sepuluh anak disabilitas di sini,” sahut Habban. Hanna terperangah, sekolah campuran adalah hal yang benar-benar baru bagi dia. “Ayo, aku kenalkan pada pak Faisal,” lanjutnya sembari berjalan menuju sang motivator sekolah. Hanna mengekor di belakang.

“Habban...,” seru lelaki itu sumringah.

“Kenalkan, ini Hanna. Dari Jakarta, seperti yang sudah dibicarakan dua hari lalu,”

“Hanna Kamila,” sahut Hanna mejabat tangan lelaki berparas kearaban dengan bintik-bintik hitam menghiasi.

“Hanna Kamila, nama yang cantik. Faisal Ahmad, saya kepala sekolah di sini,” ujar si lelaki membalas jabatan tangan Hanna. “Intinya adalah bahwa mereka harus menyukai sekolah dulu,” sahut Faisal tiba-tiba “Setelah itu kita bisa memaksimalkan apa yang ada dalam diri mereka masing-masing.” Dibawanya Hanna masuk ke tempat yang dibanggakannya. Hanna nampak gusar. Tidak tahu perasaan apa yang tepat menggambarkan saat ini.

Kelas-kelas berisi enam hingga tujuh orang, tidak ada kursi-kursi berjajar layaknya sekolah pada umumnya. Anak-anak bebas memilih ingin duduk dimana. Ada yang di bawah, ada yang duduk di bench yang disediakan atau bahkan di sebuah ruangan kuda-kudaan dijadikan kursi belajar mereka. Beberapa anak bergantung pada kursi rodanya namun nampak nyaman. Buku-buku lusuh berjubel di rak-rak dalam dan luar kelas. Anak-anak terlihat menyukai setiap kelasnya.

Hanna membungkam masih dalam kebingungannya. Diliriknya Faisal, Habban dan anak-anak tersebut berulangkali mencoba memastikan bahwa ini semua bukan mimpi.

Welcome to my paradise, dear Hanna,” sahut Faisal bangga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status