Share

Kaki Kaki Mungil
Kaki Kaki Mungil
Penulis: Dyah Zahra

1. Vonis Biru

Helaan nafas panjang mengiringi langkah gadis berambut ikal hitam legam.  Wajahnya putih bersih dengan pipi kemerahan menantang matahari pagi yang mulai tersenyum menyapa hari. Langit berwarna menyaingi megahnya lautan, membiru indah. Bangunan tua milik kejaksaan agung berdiri megah dan tak menampakan sedikitpun keriput tuanya. Ini merupakan kunjungan keempat, rasa bosan mulai timbul bila harus datang kesini kelima kalinya secara prosedural.

Jika bukan karena Anggun “si jidat lebar”, aku itu tentu sudah pergi menemani Nazri ke Belgia, pikir si gadis ketus. Berlama-lama di tempat ini dan bukan karena sebuah kasus tentunya akan menjadi sebuah piknik yang menyenangkan. Anginnya segar, sesegar hijaunya pinus-pinus yang menjulang tinggi di antara gedung-gedung bercat putih gading ini.

Langkahnya gontai menuju ruangan berukuran 6 x 4 yang hanya tinggal beberapa meter lagi. Hari ini hanya Pak Iffat saja yang bisa menemani, semua orang punya jadwalnya masing-masing, urusan seperti ini sudah tidak aneh bagi mereka. Memang hanya Pak Iffat yang setia pada gadis bernama Hanna Kamila, pengacara terkenal yang mengurusi segala hal tektek bengek urusan hukum keluarga.

Memang ini hanya kesalahan ku saja? tanyanya dalam hati. Teringat peristiwa satu bulan lalu di sebuah café dekat kantor kekasihnya. Hanna sengaja menemani Nazri hari itu untuk bertemu salah satu klien. Sayang, pertemuan itu tidak semulus yang mereka perkirakan. Anggi, perempuan yang selalu menjadi musuh besar Hanna, adalah kekasih dari bos calon klien Nazri. Dan sudah bisa dipastikan, mulut mungil perempuan itu hanya akan menyuarakan hasutan, mencibir dan entah kata apalagi yang tepat untuk mendeskripsikan tingkah lakunya. Hingga, tangan Hanna pun memberontak, menampar pipi dan mulut perempuan itu dengan kencang membuat Anggi seketika terhenyak. Tiga menit, delapan, sampai menit ke sepuluh Anggi merandang, menarik paksa rambut penamparnya dan terjengkang. Entah berapa lama perkelahian berlangsung, Hanna hanya ingat saat Nazri memeluknya dengan kencang dengan raut wajah dan tatapan yang tegang.

“Ibu Hanna Kamila,” sahut seorang pria separuh baya berpakaian hitam dan putih berpeci dengan warna senada. Pak Sentot, dialah yang senantiasa menggaungkan namanya dalam ruang yang mulai fasih dilalui. “Silahkan.” Senyum Hanna tertahan saat tangannya mempersilahkan masuk.

“Terima kasih, Pak,”

Kembali langkahnya tegas. Hanna tidak mau jika Anggi, merasa dirinya menang. Dia siap menerima apapun keputusan hakim sekarang. Perlahan, didekati kursi yang menantang jajaran para pejabat meja hijau. Pak Iffat menempatkan dirinya di meja sebelah kanan, tempat para pembela kaum-kaum terdakwa. Dia tersenyum entah menyemangati atau berusaha membuat Hanna tetap tegar.

“Ibu Hanna Kamila,” suara lantang dari depan membuat tangan Hanna menegang “Anda sudah siap?” tanyanya lebih lanjut. Dianggukan kepala sebagai tanda setuju. “Baik!”

Lantunan kata-kata yang diucapkan sama sekali tidak terdengar, volume mengecil tidak selantang sebelumnya. Kepala tertunduk, pening rasanya, ingin segera disudahi kegiatan ini. Hanna ingin pulang dan berbaring.

Apa? Apa yang dia katakan? Kebingungan melanda.

“Menetapkan, bahwa terdakwa saudari Hanna Kamila wajib melakukan kerja sosial yang akan ditetapkan pada sidang lanjutan selama 24 minggu terhitung mulai 15 Januari 2021 hingga selesai masa hukuman.” Ketukan palu bergema tiga kali. “Silahkan bila ada yang menyanggah,”

“Tidak ada Yang Mulia,” sahut suara di meja sebelah kiri Hanna.

“Kami terima Yang Mulia,” suara Pak Iffat menebar. Hanna terpaku.

Pengabdian sosial? Bagaimana? Kenapa Pak Iffat menyetujui? Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benak Hanna.

Dua orang sipir menggandeng Hanna keluar ruangan. Suara menolak putusan meraung-raung dalam ruangan, itu pasti milik Anggi, meski tidak terlihat batang hidungnya sedari tadi.

Aku menang atau kalah? Tanya Hanna.

***

Dilemparkannya seluruh tubuh pada sofa biru empuk milik Nazri di ruangannya. Tak dihiraukan cerocosan pertanyaan Nazri, diam seribu bahasa.

“Hanna….” ketusnya. Nazri memang paling tidak suka didiamkan. Ketukan pelan di pintu menggantungkan ketidaksukaannya.

“Selamat siang, Pak Nazri”

Aaah.. Pak Iffat. Bagaimana hasil keputusan tadi? Kabar baik atau buruk?” seru Nazri menderu seraya menggandeng Pak Iffat menuju meja kerjanya. Diacuhkannya si gadis. Hanna memain-mainkan ujung rambutnya, mencuri dengar apa yang mereka diskusikan.

“Bu Hanna harus melakukan pekerjaan sosial dan mengganti sejumlah uang sebesar lima puluh juta  rupiah untuk pengobatan korban,” nada suara Pak Iffat tertahan, mencoba mencari kata-kata yang tepat agar bosnya tidak terganggu.

Gema gebrakan pada meja terdengar nyaring. Meja tidak bernyawa itu yang sekarang jadi korban kekerasan Nazri.

“Pak Iffat…. Apa tidak bisa banding? Berapa lama itu pekerjaan sosial? Dimana?” cecar Nazri

“Be..besok pak, sekalian saya mengambil hasil putusannya Kesimpulannya hanya social working atau prodeo.” Pak Iffat gugup

“Siaaal!” teriak laki-laki yang memiliki garis wajah hampir sempurna, badan berotot namun tidak layaknya seorang binaraga. “Hanna… kamu sih! Selalu cari gara-gara, bagaimana kalau sudah begini? Proyekku gagal? Siapa yang harus bertanggungjawab kalau begini caranya?”

Hanna yakin jika inti utama kekesalan Nazri adalah tender yang gagal, bukan karena memang dia peduli padanya. Posisi duduknya berubah menatap Nazri yang sekarang sudah berdiri di depan Hanna. Mereka hanya dibatasi oleh meja kopi berbahan jati. Hanna tersenyum menatapnya.

“Suka? Kamu memang senang kalau aku gagal!” ketus Nazri

Malas Hanna harus merayu dan menyanjung-nyajung dirinya seperti yang empat tahun ini dia jalani. Bosan!

“Lalu aku yang harus sepenuhnya bertanggungjawab?” suara Hanna berkumandang tegas membuat Nazri gusar. “Anggi! Anggi, dia yang mulai.” Bela Hanna, mencoba menahan air matanya. Pandangan keduanya beradu tanpa jeda. Mencoba menyelami perasaan masing-masing.

“Kamu harusnya bisa menahan diri, sayang” Nazri melunak. Sekarang dia mencoba duduk di sebelah Hanna. “Kamu harusnya support aku”

Terlambat! pikir Hanna. Semudah itukah menurutmu aku

 “Aku harus mencla-mencle seperti Anggi? Begitu?”

“Bukan...” sanggah Nazri “Aku cuma minta kamu bisa menahan diri, demi kita sayang”

“Oke. Enam bulan kedepan kamu bisa menggolkan seluruh proyekmu.”

“Maksudmu?” tanya Nazri bingung

“Ya, benar! Enam bulan kedepan aku akan berada di negeri antah berantah melakukan kerja sosial yang entah apa dan kamu bebas!”  Hanna melangkahkan kaki keluar ruang kerja Nazri dengan amarah terpendam. “Pak Iffat, tolong kabari saya jika sudah ada putusan finalnya,” sahut Hanna sebelum dibantingnya pintu dengan keras.

Nazri terdiam begitu pun Pak Iffat.

Hanna memacu langkahnya dengan cepat. Yang dia inginkan adalah cepat pulang lelau mengurung diri seharian dalam kamar. Akan direnungkan kembali semua hari-hari yang dilalui  bersama Nazri. Akan dibayangkannya lagi betapa nyaman menghajar Anggi sesekali saat dia sudah benar-benar kelewat batas. Bukankah harus ada yang mengajarinya? Nazri tidak mengejar Hanna.

Dihentikan sebuah mobil berwarna biru yang sedang melintas di depannya. “Jalan Soedarmoko, Pak.”

“Baik, Bu,”  gigi mobil berpindah, mobil melaju ke alamat yang dituju.

Bulir-bulir bening mulai menggenangi kedua pipi Hanna. Jalanan sepi menambah kegundahan hati. Sang sopir seperti memahami apa yang sedang dirasakan Hanna, tiba-tiba dia menyalakan radionya mencari lagu yang bisa mewakili kekesalan Hanna. Dia merasa menjadi orang terbodoh. Diambilnya headphone dalam ransel biru gelap di samping, Bluetooth mulai dinyalakan agar dia bisa mendengarkan semua tanpa harus memegang handphone. Suara tersambung berbisik di telinga.

Nazri tidak mengejarku? Kembali dipastikan dalam hatinya.

Tatapan Hanna kembali pada lampu-lampu cantik di deretan pertokoan. Langit semakin gelap. Rintik-rintik air mulai menetes di balik gelapnya jendela mobil. Pikiran kembali menerawang jauh namun kosong. Hari-hari nanti masih dipertanyakan, namun begitu, akan dinikmatinya kekecewaan ini bersama alunan milik Labirinth dan rintik-rintik hujan yang mulai menyapa.

I'm jealous of the rain…

That falls upon your skin…

It's closer than my hands have been…

I'm jealous of the rain…

I'm jealous of the wind…

That ripples through your clothes…

It's closer than your shadow…

Oh, I'm jealous of the wind…

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status