Share

BERANI MELAWAN

KUTAMP*R KESOMBONGAN KELUARGAMU DENGAN UANGKU part 2

"Makasih, Mbak. Alhamdulillah ada rejekiku lewat menulis," ucapku.

"Halah, palingan juga itu ngutang beli kadonya. Nggak usah ngaku-ngaku itu uangmu yang dipinjam Bunga!" bentak Ibu menatapku tajam

"Itu memang uangnya Devina, Bu. Selama aku kerja jadi ojek online. Devina ikut membantu keuangan di rumah. Ibu sama yang lainnya cuma bisa merendahkan kami aja. Padahal dulu aku selalu ngasih uang ke Ibu dan Bunga!" tegas Mas Raka.

Aku rasa, inilah habisnya batas kesabaran Mas Raka. Belum pernah aku melihat Mas Raka semarah ini, aku beruntung memiliki suami sepertinya. Saat keluarganya menghina dan merendahkanku, justru Mas Raka mati-matian membelaku. Ia tak pernah terhasut oleh omongan buruk keluarganya untukku.

"Harusnya Ibu bersyukur punya menantu kaya Devina. Setiap hari Devina yang membantu Ibu mengurus pekerjaan rumah. Dari mulai beres-beres sampai masak makanan pagi dan makan malam. Hargai kami, Bu, jangan baik sama kami pas kami punya uang aja!" Dadanya naik turun menahan emosi yang sudah menggebu.

Semua mata memandang ke arah kami. Malu rasanya dipermalukan seperti ini, walaupun hinaan seperti ini sudah sering dilayangkan padaku.

"Ayo kita pulang, Sayang! Kita di sini hanya dijadikan badut saja untuk dipermalukan!" Mas Raka menggendong Shaka dan menggandeng lenganku.

Matanya berembun, nyaris saja air matanya jatuh. Namun dengan cepat Mas Raka menengadahkan wajahnya ke atas, agar air matanya tak jatuh.

Mbak Rani mengantar kami sampai di gerbang dan berkali-kali mengucapkan permintaan maaf.

"Maafin aku ya, Dev, Raka. Gara-gara aku kalian dipermalukan." Wajah Mbak Rani terlihat sedih.

Untunglah suaminya tak ada di rumah, jika ada Mas Naldi pasti ia juga akan mempermalukan kami. Sama seperti ibu dan adiknya.

"Kami pamit pulang ya, Mbak," ujarku.

"Iya, Dev. Makasih buat kadonya ya. Semoga rejekimu dan Raka selalu lancar ya. Saran, Mbak, mending kalian mengontrak aja. Jangan tinggal bareng lagi sama Ibu." Mbak Rani menatap Mas Raka.

"Niatku memang seperti itu, Mbak. Aku juga kasihan sama Devina," lirih suamiku.

"Maafin Mas ya, Dek." Wajahnya sendu, menatapku dengan mata yang mulai basah. Air matanya luruh.

"Nggak papa, Mas, yang penting kelakuan dan sifatmu nggak seperti mereka." Aku mengusap air matanya.

Kami berpamitan pada Mbak Rani untuk segera pulang. Dari jauh Ibu berjalan dengan tergesa-gesa menghampiri kami sambil berteriak seperti orang kesurupan.

Mas Raka menyuruhku untuk cepat-cepat naik ke atas motor.

Entah Ibu berbicara apa, aku tak mendengar lagi ucapannya karena motor Mas Raka sudah melaju.

Sepanjang jalan tak ada obrolan di antara kami. Mas Raka fokus mengendarai motor. Sementara Shaka tertidur dalam gendonganku.

Sampai rumah Mas Raka buru-buru masuk ke dalam dan menuju ke kamar kami.

"Nanti Mas cari-cari kontrakan buat kita tinggal, Dek. Kamu kemasin aja baju-baju yang ingin dibawa dan barang yang ingin dibawa." Mas Raka duduk di atas kasur dan memijit keningnya.

Kuturuti ucapan Mas Raka untuk mengemasi barang-barang dan bajuku yang nanti akan dibawa. Jadi nanti ketika sudah dapat kontrakannya kami tinggal membawanya saja.

Setelah selesai mengemasi barang, aku berniat ingin merapihkan rumah ini. Namun Mas Raka mencegahku. Katanya biar Bunga saja yang mengerjakannya.

Jam menunjukkan pukul lima sore, keluarga Mas Raka kini sudah kembali ke rumah. Ibu marah karena rumah masih berantakan.

Mas Raka tadi pamit keluar lagi untuk mengojek dan mencari kontrakan kosong.

"Menantu nggak ada adab. Dari pagi rumah masih berantakan. Kamu ngapain aja! Mau jadi ratu kamu di sini!" bengisnya.

"Aku menantu, Bu, bukan pembantu. Itu ada anak perawan kesayangan Ibu 'kan. Suruh dia aja yang beres-beres rumah, jangan bisanya dandan doang."

Setelah mengatakan itu aku berlalu dari hadapan Ibu dan masuk ke dalam kamar.

"Berani banget kamu sama ibuku dan menyuruhku untuk beres-beres rumah. Kamu di sini cuma menumpang tau!" teriak Bunga sambil menggendor pintu kamarku bak seperti orang kesetanan.

"Keluar kamu pembantu!" teriaknya masih dengan menggendor pintu kamarku.

Brak!

Bunga jatuh saat aku membuka pintu. Ia berteriak kesakitan, lalu bangkit dan tangannya siap menampar wajahku. Namun kutahan, dan kutarik lengannya ke belakang.

"Aku diam bukan berarti takut denganmu! Jangan macam-macam sama aku!" tekanku.

Bersambung ....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Aku diam bukan berarti takut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status