Share

BAB 4

KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKU

BAB 4

Setelah selesai berbelanja, kado untuk sahabatku sudah dibungkus. Kami pun meluncur menuju ke lokasi tanah yang akan kami beli untuk membangun usaha. Kata ibuku ada dua lokasi dan kami ingin melihatnya langsung.

"Itu, ada papan tulisan tanah ini dijual, berhenti di situ," ujar Ibu.

"Satunya lagi di mana, Bu?" tanya Mas Ridwan. Setelah membuka kaca jendela mobil dan menutupnya kembali.

"Jalan lagi ke depan." Mas Ridwan menghidupkan kembali mesin mobil dan mobilnya kembali jalan.

"Tidak turun dulu, Mas?" tanyaku, heran juga. Padahal ingin membeli tanah tapi tidak turun untuk melihat-lihatnya.

"Letak tempatnya tidak bagus untuk membangun rumah makan, ada pembuangan sampah di sana, lagi pula kalau jadi membangun tempat parkirnya tidak ada, tidak mungkin 'kan, kalau pengunjung parkir kendaraan di bahu jalan? Bahaya," jelas Mas Ridwan.

Aku menganggukkan kepala. Terkagum-kagum aku melihatnya, pengetahuannya mengenai tempat yang strategis begitu luas. Tanpa turun sekali pun Mas Ridwan bisa tahu semuanya.

"Nah, itu disebelah kampus, berhenti di situ," ucap Ibu.

Mobil berhenti dan kami pun turun.

"Nah, ini bagus tempatnya strategis, dekat dengan kampus dan sekolahan, kantor polisi juga dekat, lahannya luas dan tidak ada bau-bau limbah. Kita beli yang ini saja," ucap Mas Ridwan setelah menjelaskan letak lokasinya yang bagus.

"Kamu pandai sekali, Mas." Aku memuji, Mas Ridwan tersenyum menanggapi.

Setelah cukup melihat-lihat, kami pun menuju arah pulang.

_____

Mobil masuk ke dalam gang rumah ibuku. Lima tahun tidak menginjakkan kaki di tanah kelahiranku. Semuanya masih sama tanpa ada yang berbeda sedikit pun.

Di teras rumah, Rindu dan Ranti sudah menunggu kedatanganku.

Oh, tidak. Bukan hanya Ranti dan Rindu. Tante Dira dan Zahra juga sudah menunggu, dua saudara Ibu yang lainnya juga ikut menunggu di teras rumah Tante Dira. Mereka bangkit dan berjalan ke rumah ibuku saat melihat mobil kami berhenti di halaman rumah.

Rumah Tante Dira dan ibuku hanya dibatasi dengan rumput saja, jadi mudah baginya untuk datang dan pergi begitu saja.

"Mobil siapa ini?" tanya Tante Dira langsung.

Kening Mas Ridwan tampak berkerut ketika mendengar pertanyaan yang langsung dilontarkan oleh adik ibuku, saat aku dan suamiku baru saja turun dari mobil. Seharusnya, dia menanyakan kabar kami, bukan menanyakan mobil siapa ini? Heran.

"Kak Jelita!" Rindu berhamburan turun dari tangga, dan langsung memelukku erat. Begitu juga dengan adik bungsuku, Ranti.

"Ibu curang, kenapa tidak ngomong kalau mau menjemput Kak Jelita?" protes Ranti.

"Habisnya kalian kelayapan ke mana? Jadi, Ibu pergi sendiri saja ke bandara."

"Baru bisa naik pesawat saja sudah sombong!" sindir Tante Nur. Bibirnya bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri dengan mata yang terlihat sinis menatapku.

"Jelita! Tidak sopan sekali kamu, Tante bertanya, mobil siapa ini?" ulang Tante Dira. Mukanya semakin terlihat masam saat melihatku mengacuhkan pertanyaan dan sindirannya.

"Mobil kami, Tante," jawab Mas Ridwan.

Aku tersenyum simpul mendengarnya, seharusnya suamiku tidak mengatakan apa-apa. Sebab, adik ibuku ini tidak akan pernah percaya.

"Iya, ini mobilnya menantuku. Masih baru dibeli tadi, baru buka sampul. Bagus 'kan? Tentu saja lebih bagus dari mobil menantumu yang katamu konglomerat," timpal Ibu.

Ada yang menggelitik hatiku saat mendengar ucapan Ibu. Sejak kapan ibuku seperti ini? Kalau yang baru mendengarnya, pasti ucapan ibuku terdengar sangat sombong sekali.

"Beneran? Wah, hebat sekali Jelita, suamimu beneran pengusaha, ya?" Paman Doni ikut bicara, Paman Doni adalah abangnya ibuku. Sifatnya hampir sama dengan Tante Dira, sekarang terlihat baik, mungkin Paman Doni sudah percaya kalau suamiku seorang pengusaha.

"Alhamdulillah, Paman," sahutku sekenanya saja. Mas Ridwan mengulurkan tangan menyalami Paman Doni.

"Kalau begitu, boleh dong Johan diberi pekerjaan, sejak lulus kuliah, Johan jadi pengangguran, sampai pusing kepala Paman dibuatnya, hari-hari minta rokok dan paketan internet terus," ucap Paman Doni seraya menepuk-nepuk pundak Mas Ridwan.

"Haid! Jangan percaya gitu aja, mobil ini pasti mobil sewaan, tidak mungkin sama sekali kalau suaminya Jelita ini pengusaha! Tampilannya saja seperti pemulung, tidak terlihat seperti seorang pengusaha seperti suaminya Zahra. Lihat saja suaminya Zahra kalau pulang ke sini, ke mana-mana selalu tampil memukau dengan kemeja dan jas kantorannya, beda sekali dengan suaminya Jelita. Pokoknya jangan percaya!" cetus Tante Dira, matanya melihat sinis ke arah sanda jepit yang Mas Ridwan kenakan.

Mas Ridwan mengulum senyum, entah apa yang lucu baginya? Apa Mas Ridwan tidak merasa tersindir atau sakit hati dikatain pemulung?

"Tidak usah, tidak level berjabat tangan dengan suaminya madesu!" ketus Tante Dira saat suamiku ingin bersalaman dengannya.

Mas Ridwan kembali menarik tangannya yang menggantung di udara tanpa disambut Tante Dira. Lalu mengulurkan tangan ke arah Tante Nur, perlakuannya sama dengan Tante Dira. Miris sekali melihatnya.

"Sudah, Mas. Jangan sok baik dengan mereka." Aku berbisik di telinga Mas Ridwan. Dia mengangguk.

"Masuk yuk," ajak Ibu.

Aku pun meminta tolong kepada kedua adikku untuk membawa belanjaan yang ada di bagasi mobil. Lalu aku menarik tangan Mas Ridwan untuk menjauh dari keluarga ibuku yang aneh itu.

"Mobil sewaan saja belagu!" teriak Tante Dira.

"Madesu tidak cocok naik mobil! Norak tahu nggak!" Zahra yang sedari tadi hanya diam kini kembali bersuara.

"Yuk, Mas, tidak usah ditanggapi, tujuan kita ke sini tidak untuk meladeni ucapan saudara ibuku, saudara ibuku memang sangat berbeda dari keluargamu. Mereka akan menganggap saudara kalau kita punya duit dan jabatan," jelasku sambil berjalan masuk.

"Kita juga punya duit, Dek. Apa perlu kita lihat isi ATM kita supaya mereka berhenti untuk meremehkan kita?"

"Jangan lah, Mas, kita tidak perlu begitu, itu namanya pamer, hi-hi-hi, nanti juga mereka akan kepanasan dengan sendirinya."

"Di sini orangnya aneh-aneh, melihat orang dari gaya luarnya saja. Kalo di tempatku, seorang pemulung jangan dipandang remeh, mungkin hidupnya lebih senang dan rumahnya bagus dari Tante kamu itu."

"Ah, masa iya, Mas? Jadi, pengemis yang dijembatan waktu itu, kaya dong?"

"Bisa jadi, iya."

"Lagi membahas soal apa sih?" Ibu datang dari dapur dengan membawa nampan berisi termos berisi air sirup es.

"Mas Ridwan heran melihat sikapnya saudara Ibu. Sekarang sudah, kita jangan bahas soal mereka. Oh, iya, kapan kita bisa menemui orang penjual tanah itu, Bu?" tanyaku sambil menuangkan air sirup ke dalam gelas dan menyerahkannya kepada Mas Ridwan.

"Kapan kalian maunya? Sekarang juga bisa," sahut Ibu sembari membuka tutup toples kue.

"Besok saja, Bu. Soal tukang, Ibu tolong cariin ya? Hanya Ibu yang tahu tukang bangunan yang bagus di sini," ujarku.

"Aman, semuanya sudah Ibu atur," sahut Ibu dengan senyum semringah.

Aku ingin melihat, gimana reaksi saudara-saudaranya ibuku saat kami membuka cabang restoran di sini? Apa masih mau meremehkan kami?

BERSAMBUNG...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status