HARI kedua di dalam hutan dihabiskan Tiara dengan malas. Gadis itu hanya duduk-duduk di atas lantai pondok, sesekali merebahkan diri jika merasa punggungnya capai. Atau duduk menjuntai di tepian pondok.
Sembari bermalas-malasan, direktur muda itu membayang-bayangkan apa yang sedang ia lakukan sekarang andai saja tidak mengalami kecelakaan. Mundur lebih jauh, andai ia tidak memergoki Ryan sedang mencumbu Anita.
Andai kejadian celaka itu tak terjadi, pagi ini seharusnya Tiara sedang melakukan pertemuan dengan pemilik Kendal City Group. Ini sebuah grup bisnis besar di kota kecil berjuluk Kota Santri tersebut.
Sebuah pertemuan formalitas saja. Sebab perusahannya sudah mencapai kesepakatan dengan Kendal City Group untuk mengelola areal parkir Kendal City Mall dan juga Kendal City Amusement Park. Keduanya merupakan mal terbesar, serta wahana permainan terlengkap di pusat keramaian Kabupaten Kendal.
Apa boleh buat, kesepakatan bernilai milyaran rupiah itu pu
TIARA terus bersungut-sungut sendiri. Entah seberapa lama gadis itu menuntaskan kemangkelannya begitu rupa. Sampai akhirnya ia sadar tengah seorang diri di dalam pondok."Ke mana Abdi?" tanyanya sembari memandang sekeliling. Tak ada siapa-siapa di sana.Seketika rasa jeri menyergap Tiara. Walaupun sejauh ini tidak pernah mengalami kejadian buruk, tapi seorang diri di tengah hutan belantara seperti ini tentulah bukan hal yang menyenangkan.Tiara lalu memperhatikan api unggun di muka pondok. Perapian itu hanya tampak sebagai tumpukan bara memerah, tanpa api sedikit pun. Juga tak ada ranting dan kayu tertumpuk di atasnya.Itu artinya Abdi sudah pergi sejak lama, sehingga kayu yang terakhir kali dimasukkan pemuda itu ke dalam api unggun sudah terbakar habis pula. Pertanyaannya, sudah seberapa lama? Dan ke mana perginya?"Ibu mencari saya?"Tiba-tiba saja suara Abdi terdengar. Tiara sampai terlonjak dari duduknya ketika mendengar suara pemuda itu
SETELAH mencicipi cempedak yang dibawa Abdi, Tiara sepakat dengan pemuda itu bahwa rasa buah tersebut memang lebih nikmat dibanding nangka. Lebih manis, lebih lembut daging buahnya, serta lebih harum aromanya.Tiara sudah pernah memakan buah nangka. Beberapa kali dalam bentuk buah segar, tapi yang lebih sering sebagai makanan olahan. Entah itu kolak atau es buah.Semanis-manisnya nangka, seingat Tiara belum pernah ada yang semanis cempedak yang saat ini ia santap. Dan nangka kalau sudah terlalu matang, terlalu lembut dan benyek daging buahnya, malah jadi tidak enak."Kamu kok bisa dapat cempedak ini sih?" tanya Tiara sembari terus melahap buah di hadapannya."Tadi saya mencium baunya, harum sekali. Ternyata pohonnya juga tidak terlalu tinggi, jadi langsung saja saya panjat," jelas Abdi.Tiara manggut-manggut. Dalam hatinya mengakui jika kemampuan bertahan hidup Abdi di dalam hutan dapat diandalkan. Dan beruntungnya lagi, mereka terperangkap di dala
HENING sejenak. Kedua insan berbeda jenis kelamin tersebut saling diam, sibuk dengan jalan pikiran masing-masing. Segerombol agas tahu-tahu saja sudah beterbangan di atas tebaran cempedak di antara Tiara dan Abdi."Lalu, jika memang seperti itu keadaannya, bagaimana peluang kita untuk keluar dari sini?" tanya Tiara kemudian.Ini pertanyaan yang jawabannya sangat ingin gadis itu dapatkan. Lebih tepatnya lagi, jawaban yang sesuai dengan kehendak hatinya, yaitu segera keluar dari hutan tersebut.Abdi tak langsung menjawab. Pemuda itu pandangi Tiara beberapa lama. Yang dipandangi balas memandang. Ada sorot penuh harap dalam tatapan mata si gadis.Untuk beberapa saat keduanya saling pandang, seolah hendak membagikan kegelisahan sekaligus harapan masing-masing. Tapi tak lama kemudian Abdi buru-buru merundukkan pandangan."Peluang itu tentu saja ada, Bu,” ujar Abdi setelahnya.“Namun, jika memang jalan tersebut berada di atas, maka meda
SUASANA hati Tiara berubah murung setelah obrolan dengan Abdi siang itu. Semangat si gadis serasa patah mengetahui sopir perusahaannya tersebut tak punya petunjuk menuju ke jalan raya.Padahal jalan yang mereka lalui sebelumnya itu bisa jadi pintu tercepat menuju pertolongan. Setidaknya di sana ada sinyal, sehingga Tiara dapat menelepon siapa pun yang bisa dihubungi untuk menolongnya.Selepas mandi sore, sembari mencuci pakaian yang dipakai sepanjang hari itu, Tiara lebih banyak diam saat makan malam. Cepat-cepat ia habiskan jatah makanannya, lalu duduk bersandar memancing kantuk.Untungnya Abdi bukan tipe orang yang banyak tanya. Mungkin juga karena pemuda tersebut merasa sungkan, sebab bagaimana pun Tiara adalah bos besarnya. Sopir PT Tirya Parkindo itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menyibukkan diri membuat apa saja di dekat perapian."Bagaimana ini sebaiknya? Aku tak mau bertahan lebih lama lagi di dalam hutan ini. Kalau memang kakiku sudah
PAGI keesokan harinya, Abdi sudah tak terlihat ketika Tiara bangun. Tapi si gadis sudah mulai terbiasa dengan rutinitas pemuda itu. Kalau tidak mandi di sungai, mungkin sedang mencari bahan makanan untuk sarapan mereka.Benar saja. Tak lama berselang Abdi muncul. Sebelah tangan si pemuda membawa beberapa ranting pohon duwet, lengkap dengan buahnya yang bergerombol lebat.Sebelah tangannya yang lain menenteng benda bulat-bulat besar, yang tak lain adalah sukun yang sudah terbalut lumpur tebal. Sebelum menuju pondok, diletakkannya bola-bola tersebut ke dalam tumpukan bara api."Duwetnya banyak yang matang, Bu," ujar Abdi sembari menaruh ranting-ranting bersama gerombolan buah duwet.Tiara tak menanggapi. Gadis itu tengah bimbang kapankah waktu yang tepat untuk menyampaikan maksudnya pada si pemuda.Sementara Abdi langsung berbalik pergi ke arah api unggun. Bola-bola tanah liat berisi sukun tadi ia kubur dengan bara api. Lalu beberapa bola-bola tanah
UCAPAN Abdi barusan membuat Tiara tercekat. Gadis itu seketika jadi merasa khawatir sendiri. Bagaimana kalau ternyata nanti kakinya bermasalah? Bagaimana kalau ternyata jalan itu entah berada di mana dan tak kunjung ditemukan?Tapi bukan Tiara Wardoyo namanya kalau tidak keras dalam mewujudkan keinginan. Meski berbagai kekhawatiran bercampur rasa bimbang masih menggelayuti benaknya, gadis itu tak mau melangkah surut.Usai sarapan pagi yang berlalu tanpa obrolan seperti kemarin-kemarin, keduanya segera berkemas-kemas. Tiara memasukkan pakaiannya yang kemarin dicuci dan masih agak basah ke dalam tas.Sementara Abdi melipat celana panjangnya, kemudian dibawa menggunakan semacam tas cangklong yang terbuat dari anyaman dedaunan palma. Mirip tas para maitua di Papua."Coba Ibu cek sekali lagi kondisi kaki Ibu, apakah sakitnya masih terasa?" ujar Abdi setelah mereka selesai bersiap-siap.Tiara menurut saja. Gadis itu tapakkan kakinya ke atas permukaan tan
Saat matahari sepenggalah, keduanya berjalan meninggalkan pondok. Abdi tak lupa membawa kuali besar yang diisinya dengan air sungai sebagai bekal minuman. Buah duwet yang tersisa masih banyak juga dibawa semua.Belum lagi berjalan jauh, drama sudah terjadi karena Tiara merasa bingung sendiri. Gadis itu tidak mau berjalan di belakang Abdi, ia takut karena selalu merasa ada yang membuntuti.Ketika kemudian oleh Abdi dipersilakan berjalan duluan di muka, Tiara semakin bertambah bingung. Gadis itu tak pernah menelusuri hutan seumur hidupnya. Kecuali hutan kota yang tentu saja berbeda kondisinya dengan di sini."Jadi bagaimana ini, Bu?" tanya Abdi kemudian, merasa bingung mencari solusi.Tiara mengernyitkan wajah, coba berpikir. Yang terpikir di kepala gadis itu cuma satu hal."Bagaimana kalau kita jalannya berjejer, samping-menyamping?" usul Tiara, meski dari nada suaranya ia sendiri tidak merasa yakin.Tentu saja itu bukan usul yang bagus. Berj
JANTUNG Tiara kebat-kebit, takut kebohongannya diketahui Abdi. Gadis itu pun memasang senyum lebar untuk menutupi kepura-puraan di wajah. Deretan giginya yang putih dan rata tersembul.Abdi pandangi wajah atasannya sejenak. Ekspresi pemuda itu datar, cenderung dingin. Sepasang matanya menampakkan sorot menyelidik. Tatapan yang membuat Tiara merasa sangat tidak nyaman."Ibu yakin kaki Ibu tidak apa-apa?" tanya Abdi lagi, penuh tekanan. Agaknya pemuda itu belum merasa yakin dengan jawaban singkat Tiara barusan.Tak mau kebohongannya terbongkar begitu dini, Tiara cepat anggukkan kepala. Senyum lebar di wajahnya tetap dipasang. Senyum untuk menutupi ekspresi wajah yang sebenarnya."Lalu, kenapa tadi wajah Ibu seperti merasa kesakitan?" kejar Abdi.Astaga, pemuda ini benar-benar ngotot! Kata Tiara di dalam hati. Diam-diam gadis itu jadi khawatir Abdi tahu kalau dirinya berdusta. Bisa gawat kalau begitu! Jangan sampai pemuda itu mencium muslihatnya.