Share

Chapter. 2

Sial!

Dewa? De-wa? Siapa dia?

Ah, masa bodoh dengan laki-laki itu, aku sudah membayangkan penampilannya tak jauh dari Ayah, seragam formal khas laki-laki kantoran. Pikirannya hanya ada berkas dan dokumen, atau hal-hal lain yang berhubungan dengan pekerjaan bisnis, itu semua membuat kepalaku pening.

Aku berjalan lemas kembali mendekati Hyun Joon. Kekasihku itu menatap penasaran.

"Ada apa?"

"Aku disuruh pulang. Ada sesuatu yang perlu dibahas. Aku pulang dulu, ya," jawab serta pamitku membuat dahinya mengerut.

Hyun Joon segera berdiri dan menggenggam tanganku erat, kami berjalan keluar dari tempat itu menuju lokasi parkir setelah pamit pada Om Johan dan teman-temannya.

"Apapun yang terjadi, kabari aku, ya," pesan Hyun Joon, kedua tangannya menyusup di antara pipi dan leherku. Matanya terpejam, perlahan bibir tipisnya mengecup keningku lembut.

Oh, Tuhan. Aku mencintai laki-laki ini. Sungguh!

Hyun Joon membuka mata lalu menyunggingkan senyumnya, senyum yang nyaris membuatku tak bisa tidur hampir setiap malamnya.

Aku balas tersenyum bersamaan dengan Hyun Joon menurunkan tangannya dari wajahku.

Tidak banyak kata lagi yang terucap, aku berbalik badan dan langsung membuka pintu mobil. Kulajukan mobil berkecepatan sedang. Meninggalkan Hyun Joon dengan tatapannya yang entah.

Sesampainya di rumah aku sedikit terburu-buru masuk setelah memarkirkan mobil di garasi samping taman, Ayah pasti sudah gelisah menungguku.

Benar saja, saat memasuki ruang tamu, beberapa orang -- keluarga Pak Nugroho -- yang sejak tadi duduk kini segera berdiri dan menoleh ke arahku. Aku melihat Ayah tengah mengembuskan napas lega.

"Salam Ayah, salam semuanya." Aku mengatupkan kedua tangan di dada, dan sedikit menundukkan kepala.

"Ini putriku, Aira." Ayah memperkenalkanku, "Masih ingat?" tanya Ayah pada laki-laki seusianya yang sejak tadi terus menatapku. Dialah Pak Nugroho sahabat terbaik Ayah.

"Oh, Aira. Sangat anggun dan cantek rupanya, ya. Dulu kau sama Dewa masih bayi saat kita masih bertetangga." Laki-laki itu menoleh pada seorang pemuda di sampingnya, yang aku bisa terka pasti dialah yang bernama Dewa.

Aku tersenyum ramah.

"Ini putraku, Dewa," lanjutnya menatapku dan Dewa bergantian.

Benar dugaanku! Dia yang namanya Dewa. Laki-laki bergaya eksekutif muda yang ...

"Salam kenal, gua Dewa." Dewa menjulurkan tangan ke arahku. Bibirnya menyeringai menyebalkan.

"Aku Aira, salam kenal." Kusambut uluran tangan Dewa dan segera melepaskannya.

Aku paling malas dengan situasi seperti ini, apalagi si Dewa itu yang terus meneliti penampilanku, benar-benar tidak sopan. Tetapi apalah daya, ayah selalu menuntutku untuk selalu bersikap ramah dan sopan pada tamu-tamu di rumah ini.

Aku melihat Ibu keluar dari arah dapur, bola matanya berbinar saat melihatku sudah datang, kusambut wanita yang sudah melahirkanku itu dengan senyum dan mengecup punggung tangannya.

"Syukurlah, Nak. Kamu sudah datang. Ayah mencemaskanmu," ucap Ibu lembut. Aku hanya bisa tersenyum kecil. Kata mencemaskan membuatku seperti masih anak-anak di hadapan semua orang.

"Sebaiknya kita langsung makan siang saja, ya, Pak." Ibu menatap pada Ayah, "Hidangan sudah siap sejak tadi," lanjut Ibu kini menyapu pandangan ke arah tamu-tamu.

Beruntung, Ibu mengalihkan perhatian semua orang, kalau tidak aku pasti terus jadi pusat perhatian.

"Iya, Bu. Sebaiknya kita makan siang bersama. Ayo, mari Pak, Bu, Nak Dewa," ajak ayah dan ibu bersamaan pada keluarga Pak Nugroho ramah tanpa cela.

"Wah, terima kasih, Pak, atas jamuannya," kata Pak Nugroho, dan ayah terkekeh. Mereka memang sudah akrab sejak masih muda, jadi sudah tidak merasa canggung seperti tamu-tamu baru Ayah yang biasa datang ke sini untuk berbicara urusan pekerjaan.

"Sama-sama lho, Pak. Kita juga kangen kumpul-kumpul begini, iya kan, Bu?" Ibu melirik ibunya Dewa meminta persetujuan, dan keduanya mengangguk sambil melempar senyum, kecuali aku dan Dewa. Mata kami bertemu, dan saling mencekik melalui tatapan masing-masing.

Semua orang tua sudah melangkah bersamaan menuju ruang makan, aku sendiri berjalan gontai malas-malasan, rasa laparku seketika hilang begitu saja, seandainya tamu-tamu ini tidak melibatkanku, sudah kutinggal ke kamar untuk tidur. Entah, rasa lelah menyergap berkali lipat hanya dengan menatap sosok Dewa.

"Lemes gitu?" tanya Dewa melirikku dengan ekor matanya. Ia sengaja berjalan lambat mensejajari langkahku.

"Biasa aja." Aku memasang mimik tak bersahabat.

"Hmm, baguslah. Oya, apa lo senang dengan perjodohan ini?"

Langkahku terhenti, sejurus aku menatap matanya tajam. Kenapa dia tanyakan itu? Seharusnya dia paham, perjodahan bukan hal menyenangkan bagi setiap wanita, mungkin juga kebanyakan para pria pun sama.

"Menurut kamu sendiri?" Aku membalikkan pertanyaan.

"Awalnya gua ngikut aja, tapi setelah ngeliat lo, tiba-tiba gua malas!" Dia menunjukkan seringai jahat yang tidak pernah Hyun Joon lakukan padaku.

Laki-laki sinting!

"Sama, jangan harap perjodahan ini benar-benar terjadi!" Aku tak mau kalah.

"Buktiin aja," pungkas Dewa terdengar santai, langkah kakinya yang ikut terhenti kini bergerak maju menyusul para orang tua menuju meja makan. Meninggalkanku yang masih mematung sambil merutuki nasib.

"Sial!"

Aku berjalan malas menuju meja makan, semua orang sudah duduk rapi di kursinya masing-masing dengan piring sudah tersedia di hadapan. Tinggal aku masih berdiri mematung, entah ingin duduk di mana. Tapi kursi yang tersisa hanya ada di hadapan Dewa. Laki-laki itu seakan tengah menungguku. Jari-jarinya menyilang di bawah dagu.

Meja makan di rumah ini begitu banyak kenangan, keluarga kami sering berbincang di sini saat makan daripada di ruang keluarga atau ruang tamu. Meja makan ini Ayah beli di toko furniture terbesar di Jakarta, yang pemiliknya adalah sahabat ayah sewaktu kuliah. Ukuran meja cukup besar, memiliki enam kursi, dengan material jati pilihan kualitas nomor satu. Warna cokelat motif serat kayu dipernis mengkilat menambah kemewahan meja makan ini sendiri. Apapun pilihan Ayah, semua nyaris sempurna di mataku. Kecuali pilihannya memilih calon suami untukku, Dewa!

"Aira, nunggu apa lagi?" tanya Ayah membuyarkan lamunanku. Aku tergagap dan segera duduk di kursi di hadapan laki-laki yang ingin Ayah jodohkan denganku ini. Dewa sedikit menggeleng-gelengkan kepala membuatku benar-benar kehilangan selera makan.

Ayah dan Ibu mempersilakan Pak Nugroho dan istrinya untuk segera menikmati makan siang dan kembali mengabaikanku. Tanpa banyak basa-basi mereka sibuk menyendokkan nasi dan lauk pauk yang sudah tersedia di atas meja. Tidak ada pembahasan apapun saat acara makan berlangsung semua terlihat begitu menikmati cita rasa yang tersaji. Ada beberapa menu spesial yang Ibu masak khusus untuk sahabat lamanya itu selain menu-menu mewah yang terhidang, seperti leunca dicampur oncom dan bawang daun, dan ikan asin beserta sambal cabai rawit mentah. Ada juga berbagai macam lalapan segar untuk menambah kenikmatan masakan khas daerah. Ibu pernah mengatakan padaku sebelumnya, ia akan bernostalgia dengan keluarga Pak Nugroho mengenang masa-masa 'ndeso', maksud Ibu mungkin masa-masa saat perekonomian begitu mencekik leher di masa dulu.

"Yang penting nikmat dan halal." Ibu selalu mengatakan itu. Benar saja, tergambar jelas raut wajah mereka begitu bahagia menikmati masakan spesial, dan mulai seru berbincang ringan seputar menu favorit dan kebiasaan-kebiasaan lama mereka yang hingga kini masih sering dilakukan, sesekali beradu tawa atas guyonan-guyonan Ayah dan Pak Nugroho.

Ya, mereka senang di atas penderitaanku!

"Kok nggak dimakan?" tanya Dewa saat melihatku hanya mengaduk-aduk makanan dengan bibir manyun.

"Malas," jawabku cuek, "ada kamu di sini." Aku meliriknya tak suka. Aku lebih suka mendengar pembicaraan para orang tua dibanding memperhatikan Dewa.

"Serah lo aja!" Dewa mendesis, "Dasar cewek keras kepala." Ia menyuap makanannya yang tinggal sedikit.

"Kamu yang keras kepala!" Emosiku mulai naik. Ternyata laki-laki ini bukan saja kaku tapi tidak tahu sopan satun terhadap perempuan.

Dewa melotot ke arahku. Aku balas melotot lebih lebar, membulatkan bola mata dan menjulurkan lidah. Dia harus tahu kalau aku benar-benar 'ilfeel'.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status