Pucuk dicinta ulam tiba, penantianku berujung bahagia. Aku mendengar sebuah mobil memasuki halaman rumah, tepat pukul 7 malam. Segera aku menghambur keluar, melihat siapa yang datang.
Hyun Joon!
Aku menarik napas panjang dan terus mengucap syukur. Perdebatan kecil dengan ayah beberapa menit lalu masih sedikit menyisakan sesak. Namun kini terasa sudah lebih baik saat melihat senyum Hyun Joon setelah keluar dari mobil. Ia mendekat ke arahku.
"Apa kabarmu, Aira?" sapa laki-laki yang kulihat berpenampilan rapi di hadapanku, ia terlihat berbeda dari biasanya. Hyun Joon nampak lebih keren.
"Lebih baik. Bagaimana denganmu, Hyun?" tanyaku pelan, manik mataku terus menatap wajah putih bersih Hyun, mata cokelat kebiruan, hidung mancung dan bibir sensual sungguh terlihat sempurna.
"Sangat baik, Sayang," jawabnya percaya diri, "bisa aku langsung bertemu ayahmu?" Hyun mengedipkan sebelah mata.
"Tentu, Ayo kita masuk. Ayah juga sudah lama menunggu." Aku memutar kaki dan membalikkan badan melangkah masuk ke ruang tamu diikuti langkah panjang Hyun Joon.
***
Ruang tamu klasik bergaya eropa ini akan jadi saksi setiap perbincangan kami nanti, dinding-dinding ruangan ini dimotif kotak besar berwarna kuning kecoklatan, listnya berwarna putih. Warna senada dengan gorden besar yang menutupi dinding kaca jendela yang mengarah ke luar. Di sudut tiap ruang ada guci-guci besar berukiran menonjol seperti gambar-gambar abstrak, di atasnya ditaruh bunga segar yang rimbun berwarna-warni. Tapi warna yang mendominasi adalah gold, dari karpet dan warna sofa. Lagi-lagi selera ayah.
Ayah menerima kedatangan Hyun Joon layaknya tamunya yang lain, meski aku menangkap sorot pandangan berbeda dari kedua matanya.
"Maaf, jika saya datang terlambat," sesal Hyun Joon setelah mengucap salam dan menyalami ayah dengan sopan.
"Duduklah," perintah Ayah singkat. Bersamaan dengan Bik Sarah yang datang membawa minuman dari dapur. Kedua tangannya meletakkan gelas-gelas minuman penuh kehati-hatian di atas meja, dan beberapa kue dalam piring kecil-kecil ia hidangkan. Lalu ia berjalan pelan kembali ke ruang belakang.
Hyun Joon segera duduk, raut wajahnya masih terlihat tenang mengikuti perintah ayah. Perintah laki-laki berperawan besar dan berparas tegas.
Aku sendiri tak sabar menunggu akhir dari pertemuan ini dengan perasaan tak menentu.
"Saya ingin dengar, siapa kau sebenarnya?" Seperti biasa ayah menegakkan punggungnya dengan kedua tangan di atas kedua lutut. Mimik wajahnya serius menatap tajam wajah Hyun Joon. Sesekali ayah menarik napas dalam.
"Saya Hyun Joon, dan orang tua saya berasal dari negara yang berbeda. Ibu asli Indonesia keturunan Sunda, sementara ayah orang Korea Selatan." Hyun Joon menjelaskan dengan tutur kata yang santun, "Saya lahir di Korea, tapi besar di Indonesia hingga sekarang. Dan ... Maaf, saya mencintai Aira, putri Bapak."
Rahang ayah mengeras saat Hyun menyebut namaku di akhir ucapannya. Pipinya berkedut. "Lalu di mana orang tuamu saat ini?"
Hyun menatap ayah, "ibu sudah tiada sejak saya lulus sekolah, sedangkan ayah kembali ke negaranya semenjak kepergian ibu."
Ayah terdiam sejenak, telunjuknya mengetuk-ngetuk lutut. Beberapa saat, nada suaranya terdengar berbeda. "Saya tidak cocok dengan garis keturunan seperti keluargamu. Ditambah lagi, kau hidup sendiri saat ini. O, ya. Apa kerjamu?"
Aku merasakan jemari ibu menyentuh tanganku yang mulai terasa dingin. Seakan ingin menguatkan perasaanku atas apa yang sudah kami dengar. Tapi tetap saja jantungku terasa tertusuk duri.
Hyun melihat ke arahku sekilas sebelum menjawab pertanyaan ayah, aku tahu ia pun mulai tak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan ayah seperti menginterogasi. "Saya ... hanya seorang pelukis jalanan, Pak. Terkadang, ikut mengerjakan proyek-proyek mural bersama komunitas-komunitas besar para seniman dan ... memiliki mimpi untuk memiliki galeri besar."
"Mimpi!" sengit Ayah cepat, "seharusnya Aira sudah mengatakannya padamu, anak muda. Bahwa keluarga kami tidak menerima orang jalanan sembarangan. Pelukis itu sudah tidak ada gunanya di zaman sekarang ini, mau makan apa Aira kalau menjadi istrimu? Sementara banyak pengusaha muda ingin --."
"Cukup! Ada apa denganmu, Ayah?" sergahku menahan isak, "Ayah sudah keterlaluan! Aku tidak masalah dengan profesi."
"Aira," bisik Ibu mengusap-usap pundakku, "Eling-eling."
"Tidak apa, bagiku seorang seniman itu istimewa. Memang tidak terlihat sememukau para pria berdasi yang mengenakan sepatu mahal yang mengkilap, para penikmat seni seperti kami, sebuah karya adalah bentuk syukur dan harga diri," tegas Hyun Joon mengungkapkannya di hadapan Ayah. Ada emosi tertahan dalam nada bicaranya.
"Tetap tidak menarik bagi saya!" tukas Ayah angkuh.
"Tapi kami saling mencintai, Ayah."
"Tetap tidak bisa!" bentak Ayah cukup keras, "Maafkan saya, Hyun. Aira sudah saya jodohkan dengan laki-laki terhormat, laki-laki yang memiliki garis keturunan yang jelas, tentu saja pekerjaan yang bergengsi. Dan seorang eksekutif muda yang berotak cerdas, bukan orang jalanan biasa."
"Ayah!"
"Baiklah!"
Aku dan Hyun Joon berucap bersamaan. Mata kami beradu, "saya sudah membawa sebuah maha karya terbaik untuk Aira malam ini. Jika berkenan, biar saya memperlihatkannya sekarang. Agar jadi bahan pertimbangan bahwa saya bersungguh-sungguh. Saya berjanji, Aira akan bahagia bersamaku, Pak. Saya janji." Kata-kata Hyun Joon membuat mataku memanas, gumpalan air sudah menumpuk di bawah kelopak mata. Sekali mengerjap ia akan luruh. Rasa haru dan rasa sakit itu beradu.
"Sayangnya saya tidak begitu tertarik dengan sebuah lukisan, seindah apapun bentuknya. Saya sarankan, lupakan Aira. Ia akan segera menikah di bulan Agustus ini," tolak Ayah berbicara melunak, namun tetap terdengar menyakitkan.
Aku sudah benar-benar terisak di samping ibu. Hatiku sudah terluka begitu dalam hingga terasa nyeri berlebih-lebih.
"Hyun, boleh Ibu melihatnya?" tanya Ibu lembut, dengan bibir tersenyum ramah, "Aira pun mungkin juga ingin melihat karyamu."
"Bu!" sergah Ayah.
"Saya tidak akan memperlihatkannya, tanpa persetujuannya, Bu. Biarlah lukisan itu kusimpan sendiri tanpa ada yang bisa melihatnya." Bibir tipis Hyun tersenyum getir. Ia berusaha menyelamatkan harga diri.
"Pemikiranmu cukup bijak, Hyun. Dan Saya salut atas keberanianmu sudah datang kemari. Berhubung saya akan ada acara penting di luar kota, kau boleh pulang." Ayah melihat jam di tangan kirinya, menunjukkan bahwa ia cukup sibuk dan disiplin waktu. Membuatku merasa muak melihat tingkah ayah.
Hyun segera berdiri, ia mendekat ke arahku. Kedua tangannya lancang menyentuh kepalaku di hadapan ayah dan ibu, tapi aku menyukai kelancangannya kali ini. "Aku pulang. Maafkan aku, Aira. Jaga dirimu baik-baik, Sayang."
Hyun menyeret langkah menuju pintu keluar, tanpa berucap apapun lagi. Aku hanya menatap punggungnya dengan mata basah. Ia membawa pergi hatinya yang berdarah. Meninggalkan gelas-gelas yang masih terisi penuh tak tersentuh di atas meja.
***
Aku berlari menaiki anak tangga menuju kamar, air mata tumpah ruah akibat rasa sakit yang mendera.
Ayah, dia kepala keluarga yang sangat kuhormati, kubanggakan dan selalu jadi panutan keluarga kami selama ini. Aku sering mengatakan pada ayah, bahwa ialah inspirasi hidupku. Laki-laki pertama yang kucintai sepenuh jiwa raga. Hampir setiap keputusan dan kebijaksanaan ayah selalu membuatku takjub, ia suami idaman bagi setiap wanita. Aku berpikir, betapa beruntungnya ibu memiliki ayah.
Namun ... semua rasa hormat dan kagum itu seketika hilang malam ini, malam berembuskan angin yang sangat dingin menyentuh kulit hingga ke tulang, setelah panas terasa membakar di waktu siang. Serupa dengan kemarau di hatiku, ayah yang menciptakan kegersangan jiwaku, meretakkan setiap sendi dan saraf kehidupanku. Ayah menghancurkan segalanya. Harapan dan mimpi-mimpi bersama Hyun Joon.
Aku membuka pintu kamar dan menutupnya keras. Tak peduli telinga siapa yang merasa terganggung. Kurasa, ayah sudah berangkat ke bandara saat ini.menghempaskan tubuh di atas kasur dan menenggelamkan kepala di bawah bantal.
Hidupku sudah kacau!
Ayah benar, apa yang terlihat biasanya bukan yang sebenarnya. Ternyata kalimat itu ayah tunjukkan pada dirinya sendiri.
Ayah, betapa kecewanya aku. Mengertikah ayah, bahwa cinta itu tidak dapat dipaksakan, ia hadir tanpa syarat, tanpa mimilih, tanpa menyakiti.
Seandainya Hyun memang bukan jodohku, biarlah ia pergi dengan sendirinya, ayah. Biarlah rasa yang ada terkubur oleh waktu, terkikis sedikit demi sedikit tanpa harus merasakan nyeri hingga ke palung hati. Tanpa menelan luka lalu berdarah.
Jangan paksa aku mencintai laki-laki pilihan ayah, itu tidaklah mudah. Aku bukan butuh materi dan kedudukan seperti yang ayah inginkan, aku berbeda, ayah. Dengarlah, ayah ... dengarlah.
Rasa sakit ini ... tak akan sembuh. Tidak akan, ayah.
Air mataku sudah mengering, aku tersadar saat mendengar dering ponselku berbunyi. Mataku mengerjap-ngerjap, kulihat jam dinding menunjukkan pukul 02:20 dini hari. Rupanya aku tertidur setelah menumpahkan semua sesak dan sesal dalam rongga dada. Aku meraih ponsel di atas meja rias, dan kembali membaringkan tubuh di atas kasur. Penasaran, siapa yang menelepon sepagi ini. "Salsa?" Aku membekap mulut. "Ra, dari mana aja, atuh?? Baru angkat telepon Salsa." Suara manja Salsa terdengar merajuk. Oh, ya Tuhan! Aku baru ingat kalau Salsa kusuruh menemui Dewa jam 7 malam di Avec Moi. Bagaimana dengan kencan kejutan mereka? "So-sorry, Sa," ucapku serak. "Kamu kenapa, Ra? Sakit, yah?" tanya Salsa khawatir. Ah, paling dia cuma basa-basi.
Kulaju mobil dengan kecepatan tinggi, melesat menembus angin dan panasnya terik matahari. Setelah pamit pulang pada Om Johan. Aku ingin cepat sampai ke tempat di mana aku bisa seluasa membaca surat dari Hyun Joon. Pantai adalah satu-satunya tujuan. Lama kaki ini tidak menyentuh pasir dan bui ombak.Kepergian Hyun sudah menyempurnakan rasa sakitku. Mungkin, bisa saja aku mati secara perlahan karena jeratan rindu.Perjalanan berjam-jam dari kontrakan pinggir kota di mana Hyun pernah tinggal bersama teman-temannya, kini aku sudah sampai di tempat tujuan.Pantai yang indah.Tetapi keindahan itu terlihat biasa saat ini. Tak seindah dulu saat aku dan Hyun berlari menerjang ombak, saling melempar pasir di antara embusan angin dan gelak tawa.Aku bertelanjang kaki menyusuri pantai, meninggalkan jejak kaki di atas pasir yang tersapu omba, bui-buinya mencium kaki, menggelitik geli.
Beberapa hari setelah perbincangan di meja makan itu, sesuai janji Ayah, tanggal pernikahanku dengan Dewa sudah ia diskusikan dengan keluarga calon besan. Aku hanya pasrah, kukatakan berulangkali pada Ayah jangan lagi bertanya soal tanggal dan sebagainya, aku tak ingin direpotkan hal semacam itu. Hari ini, besok, lusa, atau kapanpun aku siap. Asal Ayah bahagia aku menikah dengan Dewa. Tidak hanya Ayah, Dewa pun terdengar ceria saat ia meneleponku. "Gua nggak nyangka lo akhirnya mau nikah sama gua." Suara Dewa penuh percaya diri yang tinggi. Orang stress! "Gua masih inget waktu lo ngancam gua soal perjodohan kita. Gampang banget lo nyerahnya. Hahaa." Lagi lagi dia membangkitkan emosiku. Aku sudah tak tahan untuk terus diam mendengar ocehannya. "Ter-se-rah!" Tanpa menunggu respon, sambungan sudah kumat
Aku nyaris kehilangan fokus saat menyetir mobil saat perjalanan pulang, hubungan Dewa dan Salsa sangat menggangguku. Entah, sampai di mana keakraban mereka, yang jelas aku bisa melihat dari sorot mata gadis yang berprofesi model itu ada rasa kagum pada Dewa. Aku paham betul, bagaimana rona wajahnya ketika jatuh cinta."Salsa ngak bakal peduli sama cowok kalau Salsa gak suka." Salsa pernah mengatakannya padaku setahun lalu, saat ia mengacuhkan Mas Doni, seorang fotografer yang berpenampilan necis.Malam ini, aku melihat kepedulian Salsa terhadap Dewa, ia nampak cemas dan khawatir. Hanya saja rasa itu sedikit tertutup.Sialan! Kenapa aku terus memikirkan Dewa dan Salsa. Apa aku mulai menuntut kesetiaan Dewa karena akan jadi suamiku nanti? Benarkah begitu? Hahaa. Ini gila!Aku tergelak, sudah lama aku kehilangan sensasi rasa cemburu. Selama berpacara dengan Hyun Joon, seniman k
"Aira." Suara Ibu terdengar cemas dalam telepon, "Kamu di mana, Nak?""Ibu ... aku sedang bersama Dewa sekarang. Kami perlu bicara mengenai pernikahan nanti," jelasku pada Ibu, benar saja kudengar ibu menghela napas lega."Yah, Aira lagi sama Dewa," adu Ibu berbisik pada Ayah. Biasanya Ibu dan Ayah memang sering berbincang sebelum tidur di teras rumah."Baguslah, Bu. Mereka pelan-pelan harus saling mengenal." Suara Ayah membuatku sedikit menahan napas."Bu, sudah dulu, ya. Kecup sayang buat Ibu." Aku mematikan sambungan telepon setelah mendengar Ibu membalas kecup sayang dariku. Sejak kecil hingga saat ini, kebiasaanku sering mengabari Ibu setiap terlambat pulang tak pernah berubah.Tak lama aku melihat Dewa keluar dari pintu caffe dengan membawa napan makanan, bibirnya tersenyum ke arahku.Dasar bucin!Aku melempar pandangan ke lain arah, berpura-pura ti
Aku terbangun dengan air mata sudah mengering di pipi, rupanya cukup lama aku tertidur setelah jarum jam menunjuk di angka lima sore.Perutku mulai keroncongan, wajar saja jam segini sudah terasa lapar, sejak siang aku belum makan. Badan rasanya sangat lemas.Aku mengenakan baju kaos dan rok selutut dengan rambut panjangku yang sengaja tergerai selesai keramas, aroma shampoo dan conditioner semerbak harum. Sedikit polesan bedak di wajah dan memerahkan bibir dengan lipstik tipis-tipis."Nah, itu dia!” Ibu menunjuk ke arahku saat melihat aku menuruni tangga.Aku baru sadar, orang-orang di rumah ini sangat ramai. Mereka terlihat sibuk menyusun dan mengangkat barang-barang.Di sana, di samping Ibu berdiri sosok laki-laki bertampang sok keren dengan senyuman khasnya. Kulihat, Ayah sudah di duduk di ruang tamu menemani calon besannya.&nb
"Selamat ya, Ra. Semoga cepet cerai!" bisik Salsa saat ia menyalamiku. Mata genitnya melirik Dewa di sampingku yang terus memamerkan senyum pasta giginya pada para tamu undangan."Gila!" desisku melototi Salsa. Gadis ini sinting luar biasa, meski tidak suka dengan perjodohan ini tapi tak pernah terbersit sedikitpun untuk bercerai. Aku tidak suka menyakiti hati orang dengan kejam.Salsa mengulum senyum. "Salsa cuma becanda atuh, dih baperan. Hihiii."Aku memutar bola mata, malas menanggapi candaan Salsa. Aku kurang suka bergurau semacam itu. Melihatku cuek, dia akhirnya sadar diri untuk segera menyeret langkah menjauh dan mulai mengincar sesuatu untuk bisa ia kunyah.Beruntung hanya Salsa yang hadir di resepsi pernikahan ini, itu pun Dewa yang mengundangnya secara langsung, seandainya semua teman-temanku dan Dewa ada, entah seperti apa pesta ini. Bisa kacau dengan segala celotehan tak mengenakkan. Jauh dar
Di mana dia? Di mana pelukis itu!"Hyun Joon!" Aku berteriak sekuat tenaga, di depan lukisan dan di depan banyak orang."Hyun Joon!" panggilku kembali, "ini aku ...." Suaraku mulai melemah dan terasa serak.Tak ada tanda-tanda batang hidung laki-laki blasteran itu di sini. Ah, aku benar-benar gila. Bagaimana kalau Dewa melihatku? Aku segera tersadar dengan status baru sebagai istri anak dari sahabat Ayah. Dewa sudah sah menjadi suamiku saat ini.Segera kulap air mata dan berhenti menangisi sesuatu yang mustahil untuk bisa kuulang kembali. Berusaha tegar, dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Kutarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.Huufth! Sudahi kegilaan ini, Aira!Orang-orang itu mulai bubar, satu persatu melangkah pergi meninggalkanku."Kakak cantik, lukisan itu benar-benar mirip Kakak." Seorang anak kecil sekitar umu