Share

Chapter. 10

"Aira." Suara Ibu terdengar cemas dalam telepon, "Kamu di mana, Nak?"

"Ibu ... aku sedang bersama Dewa sekarang. Kami perlu bicara mengenai pernikahan nanti," jelasku pada Ibu, benar saja kudengar ibu menghela napas lega.

"Yah, Aira lagi sama Dewa," adu Ibu berbisik pada Ayah. Biasanya Ibu dan Ayah memang sering berbincang sebelum tidur di teras rumah.

"Baguslah, Bu. Mereka pelan-pelan harus saling mengenal." Suara Ayah membuatku sedikit menahan napas.

"Bu, sudah dulu, ya. Kecup sayang buat Ibu." Aku mematikan sambungan telepon setelah mendengar Ibu membalas kecup sayang dariku. Sejak kecil hingga saat ini, kebiasaanku sering mengabari Ibu setiap terlambat pulang tak pernah berubah.

Tak lama aku melihat Dewa keluar dari pintu caffe dengan membawa napan makanan, bibirnya tersenyum ke arahku.

Dasar bucin!

Aku melempar pandangan ke lain arah, berpura-pura tidak melihat ke arahnya. Tapi sialnya, aku melihat sesuatu yang tak ingin kulihat.

Mereka masih berpagut ganas di bawah sinar lampu taman, seakan dunia ini milik mereka dan kami cuma numpang singgah. Bahkan saat Dewa sudah meletakkan nampan di atas meja dan kembali duduk sepasang kekasih itu tak peduli, semakin angin berembus kencang semakin panas nafsu birahi.

"Selera makanku hilang." Aku menggigit bibir. Rasa mual dan rasa malu menyergap secara bersamaan.

"Kita pindah ke dalam, yuk!" ajak Dewa, tapi sesekali matanya menatap sepasang kekasih tak tahu malu itu.

Tak ada pilihan. Aku mengangguk. Dewa begegas mengangkut kembali nampan makanan.

"Bawa ke hotel aja, Bang. Di sini banyak setannya!" teriak Dewa pada laki-laki ganas itu sebelum langkah kami menjauh dari meja taman. Diikutin kikikkan tawaku di balik telapak tangan.

Percuma, mereka tidak akan mendengar. Bahkan untuk secangkir kopi saja mereka belum memesan.

Aku dan Dewa sudah pindah tempat, kini kami menikmati makan malam di dalam caffe, tepatnya di pojok ruangan dekat dengan jendela yang terbuka. Entah, aku lebih suka ruang bebas udara daripada ruang tertutup.

"Setelah ini aku harus pulang," tegasku sambil mengunyah sepotong roti keju.

Dewa hanya menjawab singkat, "Oke."

"Ra, setelah nikah lo mau tinggal di mana? Mau ikut atau tetap mau bareng orang tua?" tanya Dewa serius setelah beberapa menit kami saling diam. Dia sudah mengisi perutnya dengan semangkuk mie ramen dan roti bakar telur crispy.

Pertanyaan Dewa mengembalikan ingatanku saat bersama Hyun Joon. Aku pernah mengatakan pada kekasihku itu bahwa aku ingin tinggal di sebuah rumah di perkampungan pinggir kota.

"Kita sewa rumah kontrakan di perkampungan pinggir kota Jakarta. Bagaimana?"

Dua potong roti sudah habis, aku menunggu respon Dewa. Keningnya mengerut heran, mungkin dia pikir aku mengigau.

"Jangan gila deh, Ra. Mana bisa gua tinggal di tempat kayak gitu," tolak Dewa lesu.

"Tapi aku lebih suka kita hidup sederhana, seperti kebanyak orang. Setelah nikah, ya pindah."

"Gua kan udah punya rumah sendiri, Ra. Ngapain kita harus tinggal dikontrakkan?" 

"Keberatan artinya gagal nikah!" ancamku kesal, dan mulai sibuk mengikat rambut panjangku yang bergelombang. Membentuknya sanggul kecil seperti rambut Ibu.

Dewa bungkam. Dia pasrah dengan permintaanku tanpa banyak alasan lagi. Aku ingin tahu, seberapa kuat Dewa menjalani hidup seperti Hyun Joon.

Bulan bulat sempurna di atas sana, jadi saksi perbincangan kami malam ini, dan keputusan terakhirku.

***

    Aku dan Dewa sudah memutuskan beberapa hal mengenai pernikahan kami saat di Night Caffe, dan itu membuatku cukup lega sebagai calon istri anak dari sahabat Ayah.

Sudah kujelaskan pula pada Ayah soal tempat tinggalku setelah menikah nanti, sudah kutebak Ayah akan keberatan tapi kuyakinkah bahwa aku bisa, aku menginginkan kehidupan seperti itu sejak lama, tepatnya sejak Hyun Joon masuk dalam kehidupanku. Dialah yang banyak mengajarkan arti kesederhanaan, juga kebebasan.

Hari pernikahan tinggal sehari, undangan sudah dicetak dan disebar. Jangan tanya siapa saja dan berapa jumlahnya, aku tak tahu. Ayah, Ibu dan calon mertua lah yang sudah menyiapkan semuanya. Sementara aku dan Dewa sibuk fitting baju pengantin dan pergi ke salon.

"Dewa?" Seorang gadis berbulu mata lebat mendekati Dewa setelah kaki kami baru saja melangkah melewati pintu masuk salon kecantikan.

"Tiara?" Dewa tak kalah terkejut melihat gadis di hadapannya. Dia menoleh ke arahku sebentar, terlihat gugup.

Tangan gadis itu mengulur padaku. "Kenalin, gue mantannya Dewa. Tiara." Bibirnya yang semerah cerry tersenyum tipis, terkesan dibuat-buat. Aku melihatnya agak ngeri dengan penampilannya yang seronok. Selera Dewa benar-benar payah!

"Aku, Aira," balasku menjabat tangan Tiara dan segera melepaskannya, "Wa, aku duluan, ya."

"Ntar, bareng aja!" Dewa menarik pergelangan tanganku.

Beberapa pengunjung salon memerhatikan kami, ada juga yang tak peduli sama sekali. Jujur, aku paling malas berurusan dengan orang-orang seperti Tiara. Selain tak sopan, tingkahnya sangat mengganggu.

"Dewa, gue perlu ngomong bentar sama lo, pliiis!" Tiara langsung menyambar tangan Dewa tanpa ragu, tanpa rasa malu tentunya.

Pelan, Dewa melepaskan pegangan tangan Tiara. Matanya melihat kesekeliling. "Gua nggak bisa. Ngapain lo di sini?"

"Ya nyalon lah, emang kalian doang yang perawatan." Tiara memutar bola mata, bibirnya sedikit mendekat ke telinga Dewa, "ikut gue, yuk!"

"Sorry, gua mau nemenin calon bini nyalon dulu." Dewa segera menggenggam erat tanganku dan meninggalkan Tiara cepat-cepat. Gadis itu menghentakkan kaki kesal, bibirnya manyun sambil berkacak pinggang.

"Dewa! Lo harus tanggung jawab. Gue hamil!" teriak Tiara dari belakang.

Langkah Dewa terhenti saat mendengar teriakan Tiara, sedikit menoleh tanpa membalikkan badan. Rahangnya mengeras dengan sorot mata penuh kebencian.

"Jangan minta pertanggungjawaban dari gua!" Tangan Dewa mengeratkan genggamannya di jemariku. Seakan tak ingin lepas.

Kutatap wajah Tiara, menelisik perasaannya melalui mimik dan cara ia memandang Dewa. Tidak ada yang salah dengan gadis itu. Entah, dengan air mata yang menetes saat kelopak matanya menutup apakah sebuah ungkapan kesungguhan atau sekedar bualan.

"Tapi ini anak lo, Wa," tukas Tiara serak. Punggung tangannya menyeka mata yang basah.

Beberapa pasang mata mengarah pada kami, terutama pada Tiara. Mungkin ada di antara mereka merasa iba dan menganggap Dewa laki-laki tak bertanggung jawab, sementara aku? Barangkali mulai disebut sebagai pelakor. 

"Wa, lebih baik kamu ajak Tiara bicara dulu di luar. Jangan buat kesalahpahaman orang-orang di dalam sini," bisikku pada Dewa, mengingat para pelayan salon mulai menatap kami tak suka. Bagaimanapun, baik pegawai salon atau pengunjung wajib menjaga keamanan dan kenyamanan bersama-sama.

Dewa menatapku tak percaya dengan apa yang kuucapkan, tapi aku segera mengangguk pelan untuk meyakinkannya.

Dewa berbalik, dan berdecak kesal, akhirnya pasrah untuk menuntaskan permasalahan dengan mantan kekasihnya, Tiara. Mereka berjalan beriringan menuju pintu keluar salon. Kuharap Dewa bisa menyelesaikan persoalannya dengan Tiara baik-baik.

Aku sendiri, masih mematung memandang langkah kaki mereka hingga menghilang di balik pintu masuk. Tanpa kusadari, sesuatu menelusup dalam ruang hati. Ada sedikit kekecewaan mulai bersarang di dalam sini.

***

     "Dewa mana?" tanya Ibu saat melihatku pulang sendirian.

Aku mengigit bibir, harus bagaimana kujelaskan pada Ibu, kalau Dewa ...

"Dewa tidak bisa antar aku pulang. Ada kerjaan mendadak." Aku tidak sepenuhnya berbohong, Dewa memang ada kerjaan mendadak setelah Tiara datang dan mengatakan kalau ia tengah hamil, sialnya bayi dalam kandungan gadis itu adalah benih dari Dewa.

Ibu mengangguk paham, alasanku cukup masuk akal walaupun kening Ibu mengerut. Seperti ada sesuatu yang masih mengganjal dipikirannya.

"Bu, aku istirahat dulu, ya. Hari ini cukup lelah." Aku pamit ke kamar, bergegas menaiki tangga setelah mengecup kening Ibu.

Di dalam kamar, pengakuan Tiara dan air matanya masih terus kuingat, seandainya benar Dewa adalah pelakunya, lalu bagaimana nasibku? Dan ... perasaan Ayah serta kedua orang tuanya? Dia benar-benar sudah sinting!

Ponsel di tasku berdering mengejutkan lamunanku, dengan malas kurogoh isi tas dan duduk di tepian ranjang. Dugaanku benar Dewa yang menelepon.

"Lo di mana?" Suaranya terdengar kesal.

"Sudah pulang." Kujawab santai. Aku merebahkan tubuh di kasur dengan tangan masih memegang ponsel dan memasang Earphone.

Dewa berdecak, "Pantes gua cariin gak ada, kirain gua jadi nyalon. Ntar gua ke rumah lo."

Aku tersenyum getir. "Mau apa?" 

"Gua mo ngejelasin soal Tiara."

Kuputar bola mata dan mengembuskan napas cepat-cepat, aku tidak kuat mendengar kalau ...

"Tidak ada yang harus kamu jelasin, Wa. Itu bukan urusanku, kan? Lakukan saja hal terbaik demi hubungan kalian." Aku berharap Dewa membatalkan perjodohan karena Tiara. Segera!

"Lo ngomong apaan? Ngaco!" Aku bisa merasakan napas Dewa di telingaku.

Tak ingin menanggapinya lagi, aku langsung mematikan sambungan telepon, biarlah dia semakin kesal di sana. Aku ingin menenangkan pikiran barang sejenak, akhir-akhir ini hati dan pikiran serasa terkuras untuk hal-hal di luar keinginanku.

Di dunia ini, tidak ada cinta yang sempurna. Pengalamanlah yang mengatakannya. Hyun Joon pernah mengisi kekosongan hati dan mrmberi warna disetiap dindingnya. Membuatku lupa bahwa sesungguhnya ia hadir sekadar singgah. Aku luput dari segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Besar kesalahanku hingga harus menerima pahit, Hyun Joon terlambat untuk kuperkenalkan dengan Ayah.

Hyun pergi setelah mendengar hinaan dari Ayah dan membuatku rapuh seketika. Kupikir, Hyun tak akan seputus asa itu, aku menginginkan perjuangan yang lebih. Seandainya ia menginginkanku tidak sekedar ingin, aku rela berjuang mempertahankan ikatan kami meskipun harus bertentangan dengan keinginan Ayah.

Nyatanya, keindahan itu perlahan sirna. Seperti tak ada arti, harus diapakan sisa perasaan ini?

Aku lelah.

Lelah menyimpan kenang.

Lelah sendirian.

Lelah mengingatnya.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status