Share

Chapter. 7

     Kulaju mobil dengan kecepatan tinggi, melesat menembus angin dan panasnya terik matahari. Setelah pamit pulang pada Om Johan. Aku ingin cepat sampai ke tempat di mana aku bisa seluasa membaca surat dari Hyun Joon. Pantai adalah satu-satunya tujuan. Lama kaki ini tidak menyentuh pasir dan bui ombak.

Kepergian Hyun sudah menyempurnakan rasa sakitku. Mungkin, bisa saja aku mati secara perlahan karena jeratan rindu.

Perjalanan berjam-jam dari kontrakan pinggir kota di mana Hyun pernah tinggal bersama teman-temannya, kini aku sudah sampai di tempat tujuan.

Pantai yang indah.

Tetapi keindahan itu terlihat biasa saat ini. Tak seindah dulu saat aku dan Hyun berlari menerjang ombak, saling melempar pasir di antara embusan angin dan gelak tawa.

Aku bertelanjang kaki menyusuri pantai, meninggalkan jejak kaki di atas pasir yang tersapu omba, bui-buinya mencium kaki, menggelitik geli.

"Aira!"

Seseorang memanggilku. Suara Hyun Joon.

Refleks aku mencari sumber suara, memutar bola mata. Tapi tak ada siapa-siapa. Pantai ini cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang datang, itu pun sangat jauh dari tempatku berdiri.

Hyun?

Ah, aku lupa. Bukankah ia sudah pergi? 

Itu hanya suara ombak menghantam karang, gema-gema dari riuh berbagai suara alam. Hyun tak mungkin tiba-tiba muncul di sini.

Dia sudah benar-benar pergi.

Meninggalkanku ....

Air di sudut mata kembali menetes. Beberapa kenangan tentang Hyun terputar kembali. Kami hampir tak pernah bepergian jauh atau menjelajahi beberapa tempat wisata, yang kami sukai hanya memandang laut terhampar luas dari atas batu karang.

"Berteriaklah sekuat-kuatnya di sini, maka bebanmu akan hilang," ucap Hyun saat itu.

"Aku menyukai pantai, laut yang biru, pasir putih, bui-bui ombak, serta anginnya yang kencang." Hyun menatapku, "Dan warna senja yang memukau, seperti pesonamu, Aira."

Mataku terpejam mengingat kembali suara lembut Hyun. Jika aku tahu kebahagiaan itu hanyalah semu, aku tak mungkin terlalu dalam mencintainya. Tapi ketulusan Hyun seakan nyata, dia benar-benar memberi cinta tak biasa.

Tidak, cinta itu salah!

Aku membuka mata, mengambil lipatan surat dalam tas kecil yang menyelempang di bahu. Sebuah surat dari kekasiku, Hyun Joon.

Kurebahkan tubuhku di atas pasir, kedua tanganku terangkat di depan wajah membuka lipatan kertas pelan-pelan. Kedua mata mulai mengeja kata perkata.

Ada melelehan hangat keluar dari sudut mata menyentuh daun telinga. Riuh debur ombak menyamarkan isak. Berkali-kali aku mencoba menahan sesak, namun tetap napasku tersengal.

Dear,

Aira kekasihku ....

Aku tahu, kau akan berlari mengadu pada senja. Di pantai kita. Sebelumnya, aku akan katakan, rinduku selalu untukmu.

Aira ...

Jika saat ini kau melihat rona merah senja, kau harus tahu bahwa keindahannya tidaklah lama. Senja akan kembali keperaduannya meninggalkan gulita dan desau angin pantai yang dingin menusuk kulit hingga ke tulang.

Jika kau melihat sepasang jejak kakimu di atas pasir, kau pun sudah mengerti bahwa ombak akan menyapunya hingga pasir kembali merata.

Begitu pun dengan takdir kita.

Seindah apapun kisah cinta yang pernah tercipta, sekuat bagaimanapun usaha kita, jika Tuhan tidak menggariskan takdir kebersamaan kita untuk menyatu hingga menua, kau paham betul memaksa bukan tindakan mulia.

Lihatlah, kekasihku.

Burung-burung akan kembali pulang jika gelap sudah datang. Ia akan masuk dalam sangkar atau kembali ke sarang. Tak ada bedanya denganku, tak ada lagi cahaya apalagi warna-warna di sana, maka kuputuskan kembali ke Korea. Di tanah kelahiranku.

Aku mengutuk diriku sendiri, mengapa sepayah ini. Aku patut kau katai pengecut, atau orang paling bodoh sedunia, Aira. 

Meninggalkanmu ... adalah keputusan tak adil bagimu. Tapi tindakan yang tepat sebagai pilihanku. Ayahmu benar, aku terlalu bermimpi, seharusnya tak kuucap soal mimpiku di hadapan ayahmu. Itu membuatku tampak lebih bodoh.

Percayalah, aku pun sangat tersiksa. Mungkin juga akan mati bersama waktu yang tersisa.

Terimalah laki-laki yang dijodohkan oleh ayahmu, agar kau bahagia.

Demi aku, Aira.

Kau akan hidup seperti para ratu, memiliki anak-anak yang lucu. Tak perlu bersusah payah menemani kesulitan-kesulitan hidupku.

Kumohon. Jadilah gadis yang dapat membahagiakan hati kedua orang tua. 

Demi hidupmu di masa depan.

Aku,

Hyunmu.

Kau tahu rasanya sakit yang berlebih-lebih itu seperti apa? Bukan lagi berdarah, ngilu, atau pedih sedemikian rupa, tapi rasa yang sudah tidak merasakan apapun lagi. Mati.

    Aku kembali pulang ke rumah, sebelum matahari sore benar-benar tenggelam. Aku tak tahu bagaimana paras dan penampilanku setelah berjam-jam berjemur di pantai dengan cuaca panas membakar, lalu merendam tubuhku dalam air laut sampai mata memerah. Kulit berubah jadi hitam akibat sengatan matahari, pakaian kotor dan bau air laut.

   "Aira," panggil Ibu terlihat cemas saat melihatku masuk ke rumah, "ya, Tuhaaan. Kamu kenapa, Nak?" Tangan ibu memegang kedua pundakku, kedua matanya menatap keheranan.

    "Sudahlah, Bu. Aku baik-baik saja. Sekarang aku butuh istirahat." Kucium kening Ibu, lalu meninggalkannya. Aku belum ingin bercerita apapun dengannya, yang aku butuhkan hanya kasur, aku diserang rasa lelah.

   "Aira, ayah sudah pulang. Jangan lupa turun saat makan malam!" teriak Ibu dari bawah bersamaan saat aku hendak menutup pintu kamar dan menguncinya.

   Ayah sudah pulang, cepat sekali? Tidak seperti biasanya memakan waktu berminggu-minggu kalau ada kegiatan penting di luar kota.

    Kuletakkan tas kecil di atas meja dan segera kuhempas tubuh di atas kasur sambil menggeliat nikmat.

Bola mataku menyapu ruangan, kamar ini sangat berantakan, entah kapan aku sadar ingin membersihkannya. Rasa malas dalam diriku berlipat-lipat semenjak ... ayah mengacaukan semuanya.

   Kuraih ponsel dalam laci dan segera menyalakannya. Sejak pagi benda itu memang semgaja kutinggal. Saat ponsel menyala, suara pesan terdengar saling tindih, begitu cepat dalam jumlah banyak. Yang paling mencolok, ada 30 pesan dari Dewa dan notifikasi banyak panggilan masuk.

   Sinting!

   Semua pesan mengatakan hal sama, bahwa dia ... rindu!

   Perutku jadi mual, bisa-bisanya dia mengirim pesan kurang ajar. 30 pesan berisi sama. Dia pikir aku tidak bisa baca?

   Aku membuka pesan dari Salsa, gadis itu menagih utang padaku. Ya, aku nyaris lupa untuk membayar jasanya karena sudah membantuku menemui Dewa. Sejujurnya, aku rugi banyak karena laki-laki sialan itu.

   Aku benci ayah, lalu Hyun Joon. Hati terluka. Tak ada harapan lagi untuk bisa bahagia, jadi aku memutuskan untuk mengikuti kainginan Ayah apapun yang ia perintahkan untukku nanti.

***

    Ini sudah waktunya makan malam, selesai mandi air hangat dan berpakaian rapi aku turun ke bawah menuju dapur, ayah dan ibu mungkin sudah menungguku di meja makan.

   "Ayo, duduklah, " suruh Ibu sesampainya aku di dekat meja makan. Banyak menu yang ibu sajikan sore ini, menu favorit keluarga. Sementara ayah sudah duduk rapi menatap hidangan.

   "Aira, duduklah. Ada yang ingin ayah sampaikan." Ayah mempersilakanku duduk di hadapannya. Ibu sendiri duduk di samping ayah sambil mengisi piring ayah dengan nasi dan lauk pauk. Lalu mengisi piringku setelah aku duduk.

   "Ayah lihat kamu masih murung, apa kabar laki-laki itu?" tanya Ayah, sendok di tangannya mulai terangkat ke mulut.

   "Hari ini Aira menemuinya, entah apa yang terjadi. Yang jelas Ibu lihat matanya sembab dan pakaiannya sangat kotor." Ibu menjawab lebih dulu, ia menatap ke arahku.

   Ibu?

   "Kenapa?" tanya Ayah entah ditujukan untukku atau Ibu.

   Aku masih diam. Bingung mau jawab apa.

   "Entah, Ibu ndak tau," jawab Ibu, "lebih baik kita makan dulu saja, ya. Baru nanti kasih kesempatan Aira buat ngomong. Ayo, Sayang kita makan." Seperti biasa Ibu selalu mengerti aku.

   Ayah makan sangat lahap, tidak ada yang berubah darinya, tetap bersemangat dan percaya diri. Ibu pasti sangat senang melihat Ayah seperti ini.

   "Dimakan, jangan cuma bengong." Suara Ayah mengejutkanku. Aku baru sadar nasiku masih penuh di piring sedangkan Ayah sudah selesai makan. Begitu juga dengan Ibu. Mereka seperti lomba, sangat cepat. Atau barangkali aku yang lambat.

   "Iya, Yah." Aku mulai menyendokkan nasi ke mulut. Mengunyahnya pelan.

   "Aira, Ayah mau minta maaf." Ayah berucap pelan, "Soal kemarin malam, jujur ... Ayah pulang cepat karena pikiran Ayah tidak tenang. Ayah mengaku salah atas sikap tidak baik Ayah terhadap--."

   "Tidak perlu minta maaf Ayah, Ayah tidak salah. Akulah yang salah karena sudah bersikeras ingin menikah dengannya," potongku cepat. Aku tak ingin Ayah menyebut nama seniman itu saat ini.

   Alis ibu bertaut, ia menatapku seakan meminta penjelasan.

   "Ibu, kumohon jangan pandang aku seperti itu." Aku membalikkan sendok dan garpu di piring pelan-pelan, perutku sudah merasa kenyang.

   "Muka kamu pucat, Nak," tukas Ibu, dan langsung disetujui oleh Ayah.

   "Pelukis itu sudah kembali ke Korea. Apalagi yang aku harapkan, Bu? Seseorang yang hatinya terluka oleh orang lain, ia bisa juga dengan tega menyakiti hati orang lain." Akhirnya aku berani mengatakan perihal kepergian Hyun Joon. Mataku memanas, seharusnya aku tidak menceritakan hal ini di hadapan Ayah.

    Firasatku benar, Ayah menginterogasiku, "Kapan dia pergi?"

    "Belum lama ia pulang dari rumah kita, Ayah. Ia pergi membawa rasa kecewa yang teramat dalam." Sejurus aku menatap wajah Ayah.

    Wajah laki-laki di hadapanku langsung tertunduk. "Seharusnya dia tidak pergi jika benar-benar mencintaimu, Aira. Sangat terlihat pengecut."

   "Ayah," panggil Ibu tertahan.

   Aku tersenyum getir saat Ibu berusaha ingin menegur Ayah.

   "Ayah benar, Bu. Untuk itu ... aku ikhlas jika Ayah ingin segera menikahkanku dengan laki-laki pilihan Ayah," tegasku tanpa ragu. Membuat wajah Ayah sedikit terangkat dan sorot aneh di mata Ibu. Aku tahu keduanya hampir tak mempercayai ucapanku barusan.

   "Aku lelah, Bu. Boleh aku kembali ke kamar?"

    "Aira." Ayah buka suara, "Bersiaplah, Ayah akan segera tentukan tanggal pernikahan kalian."

   Ayah melipat kedua tangan di atas meja. Ia menatapku serius. Kami beradu pandang dalam beberapa detik.

   "Aku sudah siap kapan saja pernikahan itu dilakukan." Pandanganku mengabur, aku sudah membuka pintu penderitaan untukku sendiri.

   Sekuat tenaga kutahan dorongan air mata berdesakan ingin keluar, segera aku beranjak dari kursi dan melangkah keluar dari dapur. Setengah berlari menaiki tangga menuju kamar.

   Tuhan,

   Aku tak tahu bagaimana cara hilangkan benci tanpa dendam, dan menumbuhkan bahagia tanpa paksaan.


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status