Arief merupakan rekan sekelas mereka yang sangat pintar. Kepintarannya tentu saja diketahui dengan selalu menjadi juara kelas, selain itu pula cowok ganteng maksimal ini juga salah satu pengurus OSIS dan juga ketua kelas. Banyak cewek-cewek yang mengidam-idamkan cowok ini jadi pacarnya, termasuk Lusi dan Iskha yang sebenarnya sudah naksir berat sejak tahun pertama mereka masuk sekolah. Mereka bahkan sering ngomongin si Arief ini untuk jadi bahan khayalan. Misalnya saja berkhayal andainya Arief jadi pacar mereka, kira-kira bagaimana keadaan mereka nantinya. Hal itu mereka anggap sebagai hiburan yang menggelikan.
“Ah, sudah pasti bakalan banyak yang ngantri,” kata Iskha sambil kembali duduk di meja makannya. Ia lalu menyuapi mulutnya dengan nasi goreng yang sejenak ia tinggalkan tadi.
“Yah, jangan khawatir. Jam pertama kan Bimbingan Konseling. Kita masih punya waktu untuk menyalin kerjaannya,” jelas Lusi menenangkan Iskha.
“Hmm,” sahut Iskha singkat.
“Kamu sedang sarapan?”
“He-eh,” ucap Iskha.
“Ya udah deh, sampai ketemu nanti, bye!” ucap Lusi sambil menutup teleponnya.
Iskha buru-buru menghabiskan sarapannya.
“Makan jangan seperti dikejar setan gitu!” ucap Mamanya yang baru saja datang dari belakang. Ibu satu anak ini kemudian ikut duduk di meja makan kemudian mengambil nasi goreng.
“Ini dikejar beneran Ma,” ucap Iskha. Nasi goreng di piringnya sudah habis. Segera ia mengambil air minum lalu meneguknya.
“Pelan-pelan Iskha!” nesehat Mamanya.
Iskha hanya mengangguk sementara air mulai masuk ke dalam kerongkongannya. Setelah itu ia mengambil tissue yang berada di atas meja makan untuk membersihkan mulutnya. Diambilnya ponsel yang tadi dia letakkan di atas meja kemudian dia masukkan ke dalam saku yang ada di rok abu-abunya.
Dengan cepat Iskha segera menyahut tangan Mamanya. “Ma, berangkat! Pa, berangkat!” setelah itu bergantian mencium tangan kedua orangtuanya.
“Hati-hati!” ucap Papanya.
“Iya, pa. Oh ya, nanti aku pulang telat. Seperti biasa, latihan,” ujarnya.
“Yang penting hubungi Papa atau Mama,” ucap Mamanya.
Iskha hanya menjawab dengan lambaian tangan. Dia meraih jaket biru kesayangannya dengan gambar jam di bagian punggungnya. Jaket kesayangannya ini merupakan hadiah dari seseorang yang sangat ia kagumi. Mereka berpisah dua tahun lalu. Padahal dia dan orang itu sudah lama berteman, hanya karena suatu hal mereka pun berpisah. Hilang kontak. Tak ada kabar lagi dari dia sampai sekarang.
Gadis berkuncir itu segera mengambil sepatu yang ada di rak, kemudian buru-buru memakainya. Setelah itu ia pun berlari keluar dari rumah.
Rumah yang ditempatinya merupakan rumah bergaya spanyol bercat krem di salah satu komplek perumahan. Sebenarnya keluarga Burhanudin merupakan keluarga yang terbilang cukup, bukan berarti kaya. Papanya saja mendapatkan rumah tersebut dengan penuh perjuangan. Rumah tersebut baru lunas setelah Iskha lulus SMP. Rumah yang nyaman dengan halaman yang luas ditumbuhi rerumputan yang dipotong pendek dengan beberapa tanaman seperti pohon pandan, tomat, serta beberapa bunga. Ada pohon kamboja, ada juga pohon mangga yang tertanam di sana yang terkadang buah mangga jatuh keluar rumah dan menjadi incaran anak-anak kampung. Terkadang pula Iskha mengundang beberapa temannya untuk menikmati rujak mangga di rumahnya. Mungkin itu salah satunya yang membuat ia sangat akrab dengan teman-temannya.
Perjalanan menuju ke sekolah tak begitu ada yang istimewa. Seperti biasa Iskha naik angkot bersama dengan anak-anak sekolahan lainnya. Berdesak-desakan setiap pagi hingga akhirnya sampai pula di sekolah tempat ia menuntut ilmu.
Bel masih belum berbunyi ketika Iskha sampai di depan gerbang sekolah. Ia segera buru-buru untuk pergi ke kelasnya. Untuk apalagi kalau bukan untuk menyalin pekerjaan rumah yang belum selesai. Ia sudah bisa mengira-ngira kalau buku pekerjaan Arief bakalan banyak yang akan mengerubuti seperti gula dikerubuti semut. Saat Iskha sampai di kelas segera saja Lusi melambaikan tangan kepadanya. Seolah-olah ia tahu apa yang dibutuhkan Iskha saat ini.
Tampak Lusi sedang menyalin selembar pekerjaan yang dia dapatkan. Iskha bisa melihat nama Arief di lembaran tersebut. Buset, cepet banget ini anak? Pikir Iskha.
“Gerak cepat juga kamu,” ucap Iskha.
“Udah, langsung kerjain aja. Daripada Bu Tatik senewen lagi,” ujar Lusi.
Segera saja Iskha mengeluarkan bukunya dan menyalin pekerjaan Arief. Ia melirik ke arah Arief yang saat itu memperhatikannya. Cowok itu duduk di dekat jendela, tempat favoritnya saat menerima pelajaran dari guru. Dan karena itu pulalah Arief makin terlihat cool di mata siapapun. Entah sudah berapa banyak cewek-cewek menaruh hati kepadanya karena tingkahnya yang seperti itu.
Menyadari kalau kedua mata mereka bertemu, segera saja Arief membuang mukanya ke arah lain, demikian juga Iskha. Lusi yang memperhatikan Arief pun segera menundukkan wajahnya pura-pura sibuk dengan pekerjaan menyalinnya.
Bisa dibilang meskipun menyalin pekerjaan rumah, tetapi Iskha masih saja tak faham apa yang dia tulis. Ia hanya tahu kalau itu pekerjaannya Arief, seorang anak yang paling cerdas dan bintang kelas. Butuh waktu lima belas menit untuk menyalin semuanya. Secepat itu, buat apa harus berpikir keras toh ini semua pekerjaan menyalin, bukan pembahasan yang diperlukan pemahaman yang lebih.
Bel masuk pun berbunyi. Buru-buru Iskha mengambil lembaran pekerjaan milik Arief kemudian mengembalikan ke pemiliknya.
“Thank’s yah!?” ucap Iskha sambil tersenyum ke cowok itu.“Sama-sama,” balas Arief singkat. Iskha berjalan perlahan ke tempat duduknya. Rasanya aneh saja mendapatkan balasan “sama-sama” tanpa sesuatu yang lebih. Apa gitu, misalnya udah sarapan belom? Ke sekolah naik apa? Gimana kabarnya? Terlalu lempeng. Herannya hal-hal yang semacam itu disukai cewek-cewek seperti Iskha, Lusi dan yang lainnya.
Hal yang paling membuat semua penghuni kelas XI-3 cemburu yaitu ketika akhirnya Kayla duduk di sebelah Arief. Demi apa murid baru cewek itu bisa mendapatkan tempat duduk di sebelah Arief? Oh, baiklah. Itu karena wali kelas mereka menyuruh Kayla untuk duduk bersebelahan dengan Arief, tapi itu bukan berarti yang lain tidak boleh duduk di sebelahnya, hanya saja mana pantas?!“Hai? Aku Kayla, panggil saja Kay,” ucap Kayla kepada Arief. Keduanya pun bersalaman. “Aku.... Arief,” kata Arief.
“Diketahui f(x) | x-7 dan g(x) | x2+ x, tentukan (fxg)(x)!” ucap Bu Tatik. Iskha mengernyitkan dahi. Dia mencoba menulis apa yang didiktekan, ia saja tak faham apa yang didiktekan. Ia pun menulis sebisanya, hasilnya tak sesuai yang diharapkan. Dia menulis “fungsi fx | x-7 & fungsi gx | x2+ x”
Akhirnya Iskha pun mengantar Kayla untuk berkeliling sekolah. Mereka menyusuri lorong kelas. Iskha mulai memperkenalkan bangunan-bangunan yang ada di kelas. Mulai dari lapangan, pembagian kelas-kelas, ruang-ruang kelas sepuluh, sebelas dan kelas dua belas. Kayla cukup antusias melihat bangunan kelas yang mungkin usianya sudah tua tapi masih kokoh. Tampak kayu-kayu jati yang menjadi rangka bangunan sekolah itu juga terlihat masih kuat. Sekolah ini memiliki empat lapangan outdoor dan satu lapangan indoor. Lapangan itu terdiri dari dua lapangan basket, satu lapangan futsal dan satu lapangan bola voli yang juga terkadang digunakan untuk badminton. Satu-satunya lapangan indoor digunakan untuk beladiri ataupun gymanstic. Cukup luas memang. Ada pula alua, empat ruangan laboratorium, yaitu dua ruang laboratorium IPA, kemudian laboratorium seni dan multimedia dan labo
Jam istirahat berakhir. Kayla sudah kembali ke dalam kelas bersama Iskha. Keduanya telah puas melahap semangkok bakso di kantin. Rasa penat pelajaran matematika yang tadi mereka tempuh hilang begitu saja. Kelas pun kembali ramai riuh dengan suara murid-murid. Kayla kembali duduk ke tempatnya. Terlihat Arief sudah ada di sana.“Bagaimana jalan-jalannya?” tanya Arief. Kayla mengangguk-angguk. “Sekolahnya ternyata luas. Ekstrakurikulernya juga banyak, fasilitasnya lengkap. Aku suka.”
Untuk beberapa saat Agus berpikir. Sampai sekarang memang benar kalau Faiz tidak pernah mencatat di buku tulisnya. Apa benar Faiz ini mengingat segala hal? Tidak mungkin. Orang yang bisa mengingat segala hal biasanya memiliki ingatan fotografis atau memang memorinya sangat kuat. Hanya saja, orang-orang seperti itu biasanya spesial. Tetapi Faiz tidak terlihat spesial. Nilai rapornya juga pas-pasan, ia hanya bagus di satu hal saja yaitu olahraga. Agus meragukan ucapan temannya. Dia pun akhirnya membiarkan Faiz tenggelam dalam mimpinya. Sudah menjadi kebiasaan kalau meja yang mereka tempati pasti basah karena ilernya Faiz. Tetapi Faiz bukan cowok yang jorok, ia pasti membersihkan mejanya karena tahu ia tak sendirian menggunakan meja tersebut.
Iskha mengira mungkin Kayla melakukan itu untuk menjaga perasaannya agar tak dikira menjadi saingannya. Dia bisa menghargai hal itu. Tapi ketidak jujurannya itu berbahaya. Siapa tahu dia diam-diam demen, ternyata besoknya jadian. Kan itu kampret namanya.Di angkot mereka lalu berbincang-bincang tentang banyak hal. Dari mulai urusan sekolah, hingga akhirnya soal musik. Maksud awal Iskha ingin bertanya-tanya tentang Kayla, tapi malah dia menjelaskan tentang dunia musik. Entah bagaimana Kayla bisa menggiringnya untuk menceritakan hal-hal yang dia sukai. Sekali lagi Iskha hanya sedikit tahu tentangnya.
Faiz mengemasi barang-barangnya. Ia baru saja latihan silat bersama rekan-rekan satu ekstrakurikuler. Saat itulah ia dipanggil gurunya. Gurunya termasuk seorang lelaki paruh baya yang usianya mungkin sudah 50-an. Meskipun sudah berumur tapi dia termasuk salah satu pendekar yang paling disegani. Namanya Ki Anwar. Mengajar untuk anak-anak SMA memang merupakan tantangan tersendiri, terlebih biasanya anak-anak remaja itu kebanyakan suka pamer, termasuk pula Faiz. Menyadari Faiz merupakan seorang siswa yang berbakat, maka ia begitu hati-hati untuk menggembleng bocah itu.“Bagaimana akhirnya?” tanya Ki Anwar. Meskipun melatih silat tapi baju yang dipakainya kaos lengan panjang dengan ikat pinggang sebagai penanda tingkatannya di dalam perguruan.Faiz menghela napas, “Saya tidak tahu guru. Rasanya saya harus ke Jakarta. Saya tak punya pilihan lain.”“Aku tidak bisa mencegahmu kalau begitu. Hanya saja, itu artinya waktumu tinggal sedikit la