“Thank’s yah!?” ucap Iskha sambil tersenyum ke cowok itu.
“Sama-sama,” balas Arief singkat.
Iskha berjalan perlahan ke tempat duduknya. Rasanya aneh saja mendapatkan balasan “sama-sama” tanpa sesuatu yang lebih. Apa gitu, misalnya udah sarapan belom? Ke sekolah naik apa? Gimana kabarnya? Terlalu lempeng. Herannya hal-hal yang semacam itu disukai cewek-cewek seperti Iskha, Lusi dan yang lainnya.
Meskipun bel telah berbunyi, bukan berarti guru yang seharusnya mengisi jam pertama ini langsung masuk ke dalam kelas. Murid-murid masih sibuk dengan cerita-cerita mereka bahkan juga ada yang sibuk bermain ponsel mereka sebelum nanti ketika pelajaran dimulai ponsel akan disita di depan kelas. Iya, sekolah ini punya kebiasaan akan menyita setiap ponsel murid-muridnya untuk ditaruh di meja guru. Semua ponsel harus dimatikan sampai pelajaran selesai.
“Kok lama yah Bu Ida? Biasanya beliau paling cepat kalau soal tepat waktu. Apa jangan-jangan lagi kosong nih,” gumam Iskha.
“Iya, nggak biasanya,” ucap teman sebangkunya.
Salah seorang anak cowok mencoba melihat apa yang terjadi di luar. Ia keluar sejenak untuk melihat lorong kelas apakah ada yang aneh atau tidak. Dia bernama Agus, salah satu cowok penghuni kelas XI-3. Saat itulah dia tampak heboh sekali.
“Teman-teman, kayaknya kita akan ada teman baru!” serunya.
“Teman baru?” tanya Iskha.
Segera beberapa orang melongok keluar. Mereka mengintip dari jendela juga dari pintu. Iskha pun tak ketinggalan, karena penasaran ia pun juga ingin melihat apakah benar akan ada murid baru di kelas mereka. Bagaimana Agus bisa tahu kalau ada murid baru? Kecuali memang murid tersebut berjalan beriringan dengan wali kelas mereka, Bu Rina.
Iskha pun mendapati Bu Rina berjalan beriringan dengan seorang murid perempuan dengan baju seragam abu-abunya. Rambutnya sebahu dan dikuncir ekor kuda. Matanya lebar, wajahnya cantik, melihat gadis itu Iskha merasa dejavu. Ia sepertinya mengenalinya tapi ia tak yakin. Segera ia pun kembali ke bangkunya, menunggu sang wali kelas masuk beserta murid baru tersebut.
Sang murid baru mulai masuk. Dia seorang gadis yang sangat cantik, hal yang membuat anak-anak cowok heboh karenanya.
“Selamat pagi anak-anak!” ucap Bu Rina sang wali kelas. Tampak terlihat tinggi Bu Rina dengan sang murid baru hampir sama atau mungkin malah lebih tinggi dari guru itu, terlebih sang guru memakai sepatu berhak.
“Selamat pagi bu!” sahut semuanya.
“Sebelumnya ibu mau memberitahu kalau Bu Ida sedang ada keperluan jadi beliau agak telat sedikit. Sebelum itu ibu mau memperkenalkan teman kalian yang baru. Nah, silakan perkenalkan dirimu!” ujar Bu Rina mempersilakan murid baru itu memperkenalkan dirinya.
Cewek itu pun maju selangkah. Pandangannya menyapu seluruh ruangan dari bangku depan hingga bangku paling belakang. Ia seperti mencari-cari sesuatu, hingga akhirnya matanya menemukan Iskha. Dia lalu tersenyum.
“Perkenalkan semuanya, nama saya Kayla Kirana Larasati. Saya baru pindah dari luar kota dan baru tiba beberapa hari yang lalu. Membaca novel misteri, suka dengan warna merah, dan juga suka dengan drakor. Tak lupa saya juga hiking, melihat alam, jalan-jalan dan yang pasti saya juga suka menyeruput cappucinno. Makanan kesukaan saya bakso, suka dengan bakso ukuran jumbo. Ukuran sepatu saya 37 kalau ingin tahu. Ketika saya sedang suntuk saya biasa mendengarkan musik. Sebut saja Deep Purple, Quinn, Alan Walker,” ceritanya.
“Wuih, seleranya tinggi tuh lagunya,” ujar Lusi.
Iskha mengernyitkan dahinya. Dia juga suka dengan musik-musik yang disebutkan. Tetapi ia ragu kalau cewek yang ada di depannya ini bisa memainkan musik, mungkin hanya sebatas penggemar saja. Tak ada yang istimewa.
“Udah punya pacar belum?” celetuk salah satu murid cowok.
Kayla mengangkat bahunya. “Entahlah, kira-kira siapa yang beruntung nantinya,” ujarnya sambil nyengir.
“Wah, boleh mendaftar nih,” kata Agus lalu diikuti ger dari murid-murid yang lain.
Arief tampak sedikit tersenyum melihat teman-temannya yang seperti menemukan suasana baru. Hal itu langsung diketahui Lusi.
“Wah, bahaya nih! Bahaya!” bisik Lusi.
“Bahaya apaan?” tanya Iskha ingin tahu tentang apa yang dimaksud teman sebangkunya itu.
“Tuh, lihat si Arief tersenyum ama anak baru. Waduh, saingan nambah satu nih!”
Iskha menoleh ke arah Arief, memang benar sih. Tetapi bukan itu yang menjadi persoalannya. Ada sesuatu yang menggelitik dirinya pada diri Kayla. Dia mengamati Kayla dari ujung sepatu sampai ujung rambutnya. Dia seolah-olah melihat foto-copy sempurna dari dirinya sendiri. Siapa Kayla yang sebenarnya?
* * *
Hal yang paling membuat semua penghuni kelas XI-3 cemburu yaitu ketika akhirnya Kayla duduk di sebelah Arief. Demi apa murid baru cewek itu bisa mendapatkan tempat duduk di sebelah Arief? Oh, baiklah. Itu karena wali kelas mereka menyuruh Kayla untuk duduk bersebelahan dengan Arief, tapi itu bukan berarti yang lain tidak boleh duduk di sebelahnya, hanya saja mana pantas?!“Hai? Aku Kayla, panggil saja Kay,” ucap Kayla kepada Arief. Keduanya pun bersalaman. “Aku.... Arief,” kata Arief.
“Diketahui f(x) | x-7 dan g(x) | x2+ x, tentukan (fxg)(x)!” ucap Bu Tatik. Iskha mengernyitkan dahi. Dia mencoba menulis apa yang didiktekan, ia saja tak faham apa yang didiktekan. Ia pun menulis sebisanya, hasilnya tak sesuai yang diharapkan. Dia menulis “fungsi fx | x-7 & fungsi gx | x2+ x”
Akhirnya Iskha pun mengantar Kayla untuk berkeliling sekolah. Mereka menyusuri lorong kelas. Iskha mulai memperkenalkan bangunan-bangunan yang ada di kelas. Mulai dari lapangan, pembagian kelas-kelas, ruang-ruang kelas sepuluh, sebelas dan kelas dua belas. Kayla cukup antusias melihat bangunan kelas yang mungkin usianya sudah tua tapi masih kokoh. Tampak kayu-kayu jati yang menjadi rangka bangunan sekolah itu juga terlihat masih kuat. Sekolah ini memiliki empat lapangan outdoor dan satu lapangan indoor. Lapangan itu terdiri dari dua lapangan basket, satu lapangan futsal dan satu lapangan bola voli yang juga terkadang digunakan untuk badminton. Satu-satunya lapangan indoor digunakan untuk beladiri ataupun gymanstic. Cukup luas memang. Ada pula alua, empat ruangan laboratorium, yaitu dua ruang laboratorium IPA, kemudian laboratorium seni dan multimedia dan labo
Jam istirahat berakhir. Kayla sudah kembali ke dalam kelas bersama Iskha. Keduanya telah puas melahap semangkok bakso di kantin. Rasa penat pelajaran matematika yang tadi mereka tempuh hilang begitu saja. Kelas pun kembali ramai riuh dengan suara murid-murid. Kayla kembali duduk ke tempatnya. Terlihat Arief sudah ada di sana.“Bagaimana jalan-jalannya?” tanya Arief. Kayla mengangguk-angguk. “Sekolahnya ternyata luas. Ekstrakurikulernya juga banyak, fasilitasnya lengkap. Aku suka.”
Untuk beberapa saat Agus berpikir. Sampai sekarang memang benar kalau Faiz tidak pernah mencatat di buku tulisnya. Apa benar Faiz ini mengingat segala hal? Tidak mungkin. Orang yang bisa mengingat segala hal biasanya memiliki ingatan fotografis atau memang memorinya sangat kuat. Hanya saja, orang-orang seperti itu biasanya spesial. Tetapi Faiz tidak terlihat spesial. Nilai rapornya juga pas-pasan, ia hanya bagus di satu hal saja yaitu olahraga. Agus meragukan ucapan temannya. Dia pun akhirnya membiarkan Faiz tenggelam dalam mimpinya. Sudah menjadi kebiasaan kalau meja yang mereka tempati pasti basah karena ilernya Faiz. Tetapi Faiz bukan cowok yang jorok, ia pasti membersihkan mejanya karena tahu ia tak sendirian menggunakan meja tersebut.
Iskha mengira mungkin Kayla melakukan itu untuk menjaga perasaannya agar tak dikira menjadi saingannya. Dia bisa menghargai hal itu. Tapi ketidak jujurannya itu berbahaya. Siapa tahu dia diam-diam demen, ternyata besoknya jadian. Kan itu kampret namanya.Di angkot mereka lalu berbincang-bincang tentang banyak hal. Dari mulai urusan sekolah, hingga akhirnya soal musik. Maksud awal Iskha ingin bertanya-tanya tentang Kayla, tapi malah dia menjelaskan tentang dunia musik. Entah bagaimana Kayla bisa menggiringnya untuk menceritakan hal-hal yang dia sukai. Sekali lagi Iskha hanya sedikit tahu tentangnya.
Faiz mengemasi barang-barangnya. Ia baru saja latihan silat bersama rekan-rekan satu ekstrakurikuler. Saat itulah ia dipanggil gurunya. Gurunya termasuk seorang lelaki paruh baya yang usianya mungkin sudah 50-an. Meskipun sudah berumur tapi dia termasuk salah satu pendekar yang paling disegani. Namanya Ki Anwar. Mengajar untuk anak-anak SMA memang merupakan tantangan tersendiri, terlebih biasanya anak-anak remaja itu kebanyakan suka pamer, termasuk pula Faiz. Menyadari Faiz merupakan seorang siswa yang berbakat, maka ia begitu hati-hati untuk menggembleng bocah itu.“Bagaimana akhirnya?” tanya Ki Anwar. Meskipun melatih silat tapi baju yang dipakainya kaos lengan panjang dengan ikat pinggang sebagai penanda tingkatannya di dalam perguruan.Faiz menghela napas, “Saya tidak tahu guru. Rasanya saya harus ke Jakarta. Saya tak punya pilihan lain.”“Aku tidak bisa mencegahmu kalau begitu. Hanya saja, itu artinya waktumu tinggal sedikit la
Faiz mengambil sepeda miliknya dan segera mengayuh pedal. Dia melewati gerbang lalu langsung berbelok ke jalan raya. Dia setel gearnya ke gear berat agar gaya dorongannya bisa membuat dia lebih cepat bergerak. Angin berhembus menerpa wajahnya membawa kesejukan. Sepedanya melaju di atas jalan raya, terkadang ia naik ke trotoar. Untuk menuju ke rumahnya ia pun melewati jalanan kecil yang menurun, jalanan itu kemudian terhubung dengan jembatan kecil. Dari jembatan kecil itu ia masuk ke kampung baru, dari kampung tersebut ia melewati gang sempit kemudian berbelok lagi ke jalanan yang agak lebar. Di sini ia melewati perlintasan kereta api. Saat itu ternyata ada kereta api yang mau lewat. Palang diturunkan petugas dengan cara manual. Ini bukan perlintasan kereta api yang berada di jalanan besar. Perlintasan api ini dibiayai swadaya masyarakat, petugas kereta apinya pun digaji juga dari iuran masyarakat setempat.Sekitar lima menit Faiz menunggu sambil ditemani beberapa pengendara m