Jam istirahat berakhir. Kayla sudah kembali ke dalam kelas bersama Iskha. Keduanya telah puas melahap semangkok bakso di kantin. Rasa penat pelajaran matematika yang tadi mereka tempuh hilang begitu saja. Kelas pun kembali ramai riuh dengan suara murid-murid. Kayla kembali duduk ke tempatnya. Terlihat Arief sudah ada di sana.
“Bagaimana jalan-jalannya?” tanya Arief.
Kayla mengangguk-angguk. “Sekolahnya ternyata luas. Ekstrakurikulernya juga banyak, fasilitasnya lengkap. Aku suka.”
Untuk beberapa saat Agus berpikir. Sampai sekarang memang benar kalau Faiz tidak pernah mencatat di buku tulisnya. Apa benar Faiz ini mengingat segala hal? Tidak mungkin. Orang yang bisa mengingat segala hal biasanya memiliki ingatan fotografis atau memang memorinya sangat kuat. Hanya saja, orang-orang seperti itu biasanya spesial. Tetapi Faiz tidak terlihat spesial. Nilai rapornya juga pas-pasan, ia hanya bagus di satu hal saja yaitu olahraga. Agus meragukan ucapan temannya. Dia pun akhirnya membiarkan Faiz tenggelam dalam mimpinya. Sudah menjadi kebiasaan kalau meja yang mereka tempati pasti basah karena ilernya Faiz. Tetapi Faiz bukan cowok yang jorok, ia pasti membersihkan mejanya karena tahu ia tak sendirian menggunakan meja tersebut.
Iskha mengira mungkin Kayla melakukan itu untuk menjaga perasaannya agar tak dikira menjadi saingannya. Dia bisa menghargai hal itu. Tapi ketidak jujurannya itu berbahaya. Siapa tahu dia diam-diam demen, ternyata besoknya jadian. Kan itu kampret namanya.Di angkot mereka lalu berbincang-bincang tentang banyak hal. Dari mulai urusan sekolah, hingga akhirnya soal musik. Maksud awal Iskha ingin bertanya-tanya tentang Kayla, tapi malah dia menjelaskan tentang dunia musik. Entah bagaimana Kayla bisa menggiringnya untuk menceritakan hal-hal yang dia sukai. Sekali lagi Iskha hanya sedikit tahu tentangnya.
Faiz mengemasi barang-barangnya. Ia baru saja latihan silat bersama rekan-rekan satu ekstrakurikuler. Saat itulah ia dipanggil gurunya. Gurunya termasuk seorang lelaki paruh baya yang usianya mungkin sudah 50-an. Meskipun sudah berumur tapi dia termasuk salah satu pendekar yang paling disegani. Namanya Ki Anwar. Mengajar untuk anak-anak SMA memang merupakan tantangan tersendiri, terlebih biasanya anak-anak remaja itu kebanyakan suka pamer, termasuk pula Faiz. Menyadari Faiz merupakan seorang siswa yang berbakat, maka ia begitu hati-hati untuk menggembleng bocah itu.“Bagaimana akhirnya?” tanya Ki Anwar. Meskipun melatih silat tapi baju yang dipakainya kaos lengan panjang dengan ikat pinggang sebagai penanda tingkatannya di dalam perguruan.Faiz menghela napas, “Saya tidak tahu guru. Rasanya saya harus ke Jakarta. Saya tak punya pilihan lain.”“Aku tidak bisa mencegahmu kalau begitu. Hanya saja, itu artinya waktumu tinggal sedikit la
Faiz mengambil sepeda miliknya dan segera mengayuh pedal. Dia melewati gerbang lalu langsung berbelok ke jalan raya. Dia setel gearnya ke gear berat agar gaya dorongannya bisa membuat dia lebih cepat bergerak. Angin berhembus menerpa wajahnya membawa kesejukan. Sepedanya melaju di atas jalan raya, terkadang ia naik ke trotoar. Untuk menuju ke rumahnya ia pun melewati jalanan kecil yang menurun, jalanan itu kemudian terhubung dengan jembatan kecil. Dari jembatan kecil itu ia masuk ke kampung baru, dari kampung tersebut ia melewati gang sempit kemudian berbelok lagi ke jalanan yang agak lebar. Di sini ia melewati perlintasan kereta api. Saat itu ternyata ada kereta api yang mau lewat. Palang diturunkan petugas dengan cara manual. Ini bukan perlintasan kereta api yang berada di jalanan besar. Perlintasan api ini dibiayai swadaya masyarakat, petugas kereta apinya pun digaji juga dari iuran masyarakat setempat.Sekitar lima menit Faiz menunggu sambil ditemani beberapa pengendara m
Iskha berganti pakaian dengan baju casual. Dia memakai cardigan kemudian mengambil gitar yang tergantung di kamarnya. Setelah selesai berdandan dengan make-up tipis, ia pun keluar dari kamarnya. Dia segera menuju ke dapur untuk mengisi perut. Ada sayur asem berisi kacang, jagung dan tauge. Dia tersenyum saat melihat isi mangkuk tempat sayur tersebut. Sayur asem, salah satu sayur kesukaan Iskha. Dia pasti bakalan nambah kalau ada sayuran tersebut. Dia segera duduk di kursi.“Wah, masak sayur asem nih. Asyiiikk!” seru Iskha.“Iya, mama emang sengaja masak itu. Biar suaramu nggak ancur,” ucap mamanya yang berada di ruang tengah sambil menonton televisi.“Makasih ya ma,” ucap Iskha. Dia pun segera mengambil secentong nasi kemudian mengguyurnya dengan kuah sayur asem beserta isinya.“Nanti pulang jangan malam-malam! Mama nggak mau di rumah sendirian apalagi tiba-tiba listrik mati seperti kemarin,” pinta mamanya.
“Iskha? Iskha? Kau tak apa-apa?” tanya suara anak perempuan. Dia pasti Kayla, pikir Iskha.Iskha membuka matanya perlahan-lahan. Dia merasa pusing dan bingung bagaimana ia bisa berada di ruangan dengan Kayla di hadapannya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi dan di pikirannya ada sesosok tubuh manusia tanpa kepala, lalu kepalanya ada di tangannya. Itu menakutkan sekali. Siapapun yang melihatnya bakalan merinding dan dia pingsan ketakutan.“Erggh...,” Iskha mengerang sambil bangun dari tidurnya. Dia memijit-mijit kepalanya. Dilihatnya keadaan sekitar tempat ia berada dan betapa terkejutnya ia ketika melihat sesosok lelaki yang tadi dilihatnya tanpa kepala dan menggendong kepalanya sendiri. Dia berdiri di sebelah Kayla. Hampir saja Iskha melompat.“I-itu, tadi aku lihat bapak ini nggak punya kepala. Trus kepalanya dibawa,” jelas Iskha menjelaskan apa yang tadi dilihatnya sebelum pingsan.Kayla menoleh ke arah ayah
“Jaman sudah canggih non, om pakai GPS,” ujar ayah Kayla.“Yuk turun!” ajak Kayla.Iskha hanya manggut-manggut mendengar penjelasan ayah Kayla. Mereka segera turun untuk menuju ke dalam studio musik.Studio itu terletak di pinggir jalan. Ada tiga lantai dengan kaca jendela terlihat berwarna hijau dari luar. Di atas bangunan itu ada papan nama yang cukup mentereng dengan tulisan STUDIO MUSIC HARAPAN. Dari luar tampak banyak sepeda motor terparkir di sana. Iskha segera berlari-lari kecil memasuki studio itu. Dari pintu masuk langsung saja dia disambut beberapa orang.“Nah, ini dia. Kukira nggak jadi latihan,” sapa seseorang pemuda bertopi hitam dengan tulisan ABSOLUTE. Tampangnya biasa saja dengan baju kaos warna hitam dan celana jins, serta sepatu kets warna putih.“Oh, Sandi. San, sorry lama. Tadi aku pake acara pingsan segala,” sahut Iskha.“Hah? Pingsan? Pingsan kenapa? Kamu sakit?&rdqu
“Serius, kalau aku penasaran dengan seseorang maka aku akan banyak bertanya dan selalu ingin tahu tentangmu. Aku juga orangnya blak-blakan, nggak mau bicarain orang di belakang,” ujar Iskha. “Jadi aku ingin tahu sesuatu hal tentangmu.”“Iya, tanya saja!” ucap Kayla.“Aku agak merasa aneh dengan tiba-tibanya kau berada di komplek perumahanku. Itu yang pertama, yang kedua keluargamu yang nyentrik. Tidak biasa aku melihat keluarga seperti itu. Pekerjaan ayahmu juga sebenarnya masih belum jelas, tapi entah kenapa ada sesuatu yang menggelitikku,” ucap Iskha.“Trus?”Iskha menutup wajahnya sejenak. Ia lalu menaruh kedua tangannya di meja. “Mungkin kebetulan atau apa, tetapi cara menata rambutmu, sifatmu, kesukaanmu, bahkan juga cara berpakaianmu kenapa mirip aku? Kau seperti mengetahui banyak hal tentang diriku kemudian kamu meng-copy-nya.”Untuk beberapa detik Kayla terdiam. Lalu di