Tangis sesegukan terdengar semakin kencang. Telinga Jaka seperti bergetar, ingin menolak suara itu merasuki otaknya. Dia kembali memejamkan mata, sedangkan suara klakson semakin ramai menegurnya.
Jaka menarik napas dalam-dalam. Bayangan tentang Roro yang akan marah besar bila ayam potong dan beras itu tidak dapat dibelikan menggerayangi otaknya. Di samping itu, dia memikirkan tentang keadaan anaknya. Kalau sampai pada titik Roro harus bersalin dan dia belum mendapat uang sama sekali, Jaka tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Dia akan menjadi pria paling gagal dalam memperjuangkan keluarganya.
Jaka memungut kembali serpihan-serpihan keberanian yang tercecer dan kembali menyalakan mesin mobil. Dia melanjutkan perjalanannya menuju tempat tujuan. Terlepas dari rasa takut yang menyerangnya dan keinginan mendapatkan uang lebih cepat, ada amanah dari Danu yang harus dirampungkan.
“Sedikit lagi Jaka! Sedikit lagi!” bisiknya menyemangati diri.
Jaka mempercepat laju mobil begitu sampai di perputaran utama lantas mengambil jalan pintas menuju desa tujuannya. Begitu yakin alamat tujuan persis ada di depan, dia langsung turun.
Pemilik rumah duka yang ditujunya menyambut Jaka dengan hangat. Dia menghampiri Jaka karena tau pria ini pasti tak nyaman di hari pertamanya.
“Kau sudah datang,” sambut pemilik rumah duka berbaju biru tua itu sambil mengulurkan sebuah amplop untuk Jaka.
“Iya, saya dari pabrik peti!” jelas Jaka agar tugasnya segera berakhir.
“Ya, saya tau!” Pria itu lalu menunjukkan layar ponselnya yang bergambar dirinya. “Ini Pak Danu yang kirim supaya saya tau siapa petugas yang dikirim.”
“OH! Jadi saya sudah boleh pulang?” tanya Jaka sembari melirik ke arah belakang pick up dimana dua orang petugas rumah duka menurunkan peti yang dia bawa.
“Ya, barang sudah diterima dan amplop ini sebagai ucapan terima kasih saya.”
“Wah dapat bonus juga?” kekeh Jaka merasa beruntung menerima tantangan jadi supir peti mati.
“Hooh! Sekarang pulanglah!”
“Terima kasih!” Jaka buru-buru naik lagi ke atas mobilnya dan melaju kencang bersiap menyerahkan upah pertamanya kepada Roro.
Jaka lalu membuka amplop pemberian pemilik rumah duka itu dan betapa kagetnya dia jika uang yang ada di dalam amplop sama dengan bayaran yang diterima dari Pak Danu.
Sontak dia terbelalak dan semakin ingin cepat pulang untuk menunjukkan semua rejeki yang didapat hari ini.
“Roro! Roro!” teriak Jaka dari halaman rumah lalu bersujud di depan istrinya yang sedang berdiri di depan pintu rumah.
“Eh, kamu kenapa?” tanya Roro tak mengerti.
“Ini!” Jaka masih duduk dilantai sedang istrinya berdiri sembari menerima dua amplop yang dibawa suaminya.
“Apa ini?”
“Buka!” jawab Jaka singkat.
“Alhamdulillah!” Roro terpana melihat lembaran uang berwarna merah yang dibawakan Jaka untuknya. Dia lalu menghitungnya lembar perlembar dan senyumnya semakin lebar saja. “Satu juga sekali pergi? Kamu ngak ngerampok bank, kan?”
“Astagfirullah!” Jaka berdiri lalu menatap tajam wajah istrinya. “Tega amat bilang suamimu kasih istrinya uang haram!”
“Hehehe! Maklum, kamu sudah lama ngak bawa yang merah-merah kayak gini,”
“Itu uang hasil keringatku. Aku harap kita bisa hidup lebih baik setelah ini!”
“Jadi pekerjaanmu menyenangkan?”
Jaka seketika ingat kejadian horor di dalam mobil yang membuatnya sempat ingin pulang saja. “Kayaknya sekali aja aku kerja, ya. Cukuplah sejuta untuk biaya lahiran anak kita!”
“Heh! Jangan ngadi-ngadi, ya! Besok kerja lagi. Masa cuma sejuta. Memangnya bayi ini cuma lahirnya aja yang di urus. Kan butuh pamper, butuh susu, banyak!”
“Duh! Tapi…,”
“Gak pake tapi!” teriak Roro dengan matanya yang hampir keluar.
Jaka tak menjawab teriakan istrinya, baginya bisa mendapat satu juta di hari pertamanya kerja saja sudah alhamdulillah. Besok bagaimana besok. Dan yang lebih penting hari ini Roro tak teriak-teriak padanya seperti biasa.
“JAKA!” teriakan itu begitu kencang di telinga supir peti mati ini. Padahal hari masih pagi dan matanya masih lengket tapi sempat-sempatnya Roro berteriak begitu lantang.
“Apa?” jawab Jaka dengan malas.
“Bangun! Kamu harus kerja lebih pagi dari kemarin biar duitnya lebih banyak!”
Duit!
Sepertinya hanya kata-kata ini yang tertulis dengan tinta tebal di kepala Roro, tapi Jaka tak mau ribut dan lebih pasrah bergerak menuju kamar mandi meski matanya belum terbuka lebar.Sama seperti hari kemarin, hari ini Jaka kembali ditugaskan untuk mengirim peti mati. Saat Jaka tiba pukul 7 Pak Danu terlihat sudah berdiri di depan garasi pabrik dimana pick up sudah siap tempur.
“Tugas lagi?” tanya Danu sebelum menyodorkan selembar surat jalan untuk supirnya.
“Iya!” tegas Jaka bersemangat.
“Bagus!” Danu lalu memutar badan ke arah seorang pria yang usianya lebih muda dari Jaka. "Perjalananmu hari ini akan diantar oleh seorang kernet bernama Bowo, Jaka. Dia ini sudah bekerja dengan saya sejak lama jadi aku harap dia bisa membantumu untuk tugas kali ini."
Jaka manggut-manggut. Meski sempat ragu tapi dia yakin kali ini akan kembali menyelesaikan tugas itu dengan sangat enteng. Perasaan ragu yang dia rasakan di hari pertamanya bekerja hilang begitu saja. Bayang-bayang Roro tersenyum gamblang sembari menimang-nimang setumpuk uang merah kembali menyingkap fokus Jaka.
Roro begitu senang dengan gaji pertamanya Jaka. Bahkan secara terang-terangan wanita itu meminta agar Jaka lebih sering mengambil tugas dari Danu agar uangnya terkumpul semakin banyak.
Jaka geleng-geleng kepala sembari nyengir. Jangankan terkumpul banyak. Bahkan uang seratus ribu kemarin sudah ludes dibuat belanja bahan makanan. Katanya hari ini Roro akan belanja pakaian dan segala macam keperluan untuk bayi mereka.
"Baik, Pak. Saya akan mulai memanaskan mobil dan memasukkan peti ke dalam mobil. Ngomong-ngomong, alamat lengkapnya mana, Pak?" Jaka bertanya sembari mengangkat peti mati yang sudah disiapkan oleh Danu.
Danu menepuk pundak Jaka pelan. "Oh, iya. Saya udah menuliskan alamat lengkapnya dan udah saya berikan ke Bowo. Kamu bagian menyetir saja. Masalah jalan Bowo sudah berpengalaman."
"Baik, Pak," jawab Jaka sembari mengangguk.
Jaka pikir orang yang diperkenalkan Danu sebagai Bowo itu adalah teman yang tepat. Sekiranya Jaka tidak akan merasa tak takut lagi semisal ada hal mistis seperti kemarin. Terlebih katanya Bowo adalah orang yang sudah berpengalaman.
Jaka semakin memantapkan hati dengan tugasnya yang satu ini. Usai memanaskan mobil, dia pamit ke toilet sebentar lalu sarapan roti. Pasalnya lagi-lagi dia terlambat bangun. Roro yang tidak sabaran langsung memerintahkan Jaka untuk segera berangkat, takut-takut Danu berubah pikiran.
"Nah, ini." Danu berucap sembari menunjuk Bowo yang baru saja keluar dari kamar mandi. Pria yang ditunjuk itu berjalan sembari mengenakan kaos oblong lalu menundukkan kepala dihadapan Danu. Tampaknya pria itu baru saja mandi karena rambutnya masih basah.
"Ngomong-ngomong saya pergi dulu ya? Masih ada keperluan yang harus saya bereskan," lanjut Danu kemudian. Danu menepuk-nepuk pundak Jaka sekali lagi lantas melangkah meninggalkan mereka berdua.
"Baik, Pak Danu," jawab Jaka dan Bowo bersamaan.
“Bagus! Hati-hati di jalan, ya!” ucap Danu saat sudah beberapa langkah jauhnya dari kedua pegawainya itu.
Seketika perkataan Danu itu membuat Jaka teringat kejadian kemarin dan hampir tak mungkin hantu itu tak menampakkan diri.
“Aduh!” desis Jaka menanggapi perkataan atasannya.
“Kenapa, Mas?” tanya Bowo sambil terkekeh. “Ah! Nggak!” jawab Jaka sok berani. Dia sebenarnya takut bukan main tapi bukan Jaka anaknya Pak Gunawan kalau dia harus terlihat penakut di depan teman kerjanya.“Kalau gak ada apa-apa kita sarapan dulu aja!” lanjut Bowo.Roti basah yang dibekalkan Roro dari rumah ludes sudah. Jaka langsung membuang bungkusnya dan segera menandaskan secangkir kopi yang disiapkan Danu. Bowo juga ikut menghabiskan kopi jatahnya lantas memeriksa mobil."Saya Jaka. Pekerja baru yang katanya bakal nganter peti mati bareng Bowo."Bowo mengangguk. "Wah, kamu masih keliatan muda banget. Salam kenal, saya Bowo yang bakalan jadi kernet kamu hari ini," jawabnya sembari tersenyum.Keduanya sudah siap untuk berangkat. Usai memasuki mobil, mereka langsung mengenakan sabuk pengaman. Gas ditarik pelan dan mobil berhasil memotong jalan, menyusul kendaraan lain yang lewat.Perjalanan pagi ini masih cukup lancar. Belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Matahari pun belum m
Seketika Jaka menelan salivanya. Pikiran buruk kembali hadir. Nama-nama saudara Ayah dan pada karyawan itu berbaur dengan sekian banyaknya keluarga Ibu. Kembali Jaka ingin kenangan tentang satu per satu keluarga Ibu. Termasuk Rani.Kalau bukan keluarga Ayah yang berbuat jahat, tidak ada opsi selain keluarga Ibu. Kini pertanyaan Jaka menjadi sangat kompleks.'Apakah keluarga Ibu yang membunuh Ayah dan merampas semua harta Ayah?'Jaka bergegas mengantarkan peti mati tersebut dengan kecamuk pikiran buruknya. Dia terus mencari korelasi yang tepat tentang peran penting keluarga Ibu di tengah kebangkrutan perusahaan Ayah.'Apakah kematian Ibu dua tahun yang lalu membuat mereka merasa bebas dan semakin semena-mena dengan keluargaku?'Jaka berceloteh dalam hati, menafsirkan apa pun yang sekiranya bisa memecah kebisingan dalam benak.Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke alamat tujuan. Jaka langsung tahu di mana persisnya rumah yang dimaksud Danu.Jaka langsung memberhentikan mobil
"Ngomong apa kamu, Ka? Aneh! Kamu pikir aku nggak bisa marah sama kamu karena tuduhan ini?" kesal Irwan pada Jaka yang begitu berani di hadapannya. "Apa karena kamu jatuh miskin kamu jadi minim ahlak?" Jaka menatap nanar ke arah Irwan yang begitu marah di depannya. Dia sadar saat ini dia tidak punya dasar untuk melanjutkan perdebatan yang pasti akan jadi panjang kalau dia lanjutkan."Sudah, kalau kamu tidak mau ribut sama aku, pergi aja sana. Kita hidup masing-masing, jangan saling ganggu toh perkataanmu itu nggak mungkin ada buktinya," Irwan berbisik penuh penekanan sambil menatap tajam ke mata Jaka yang memang dia yakini berbicara tanpa dasar.Irwan lalu menunjuk ke arah pintu keluar dengan senyuman licik seakan mengusir putra yang kini sudah tidak berharta. "Aku akan kembali," bisik Jaka dengan tatapan perlahan meredup. "Aku akan cari bukti untuk seret kamu dari sini,""Ok, cari saja. Kalau kamu bisa dapat, aku akan pergi dari sini dan mengembalikan semua harta yang kamu tuduhkan
Jaka kembali melanjutkan harinya sembari terus mengingat apa yang dikatakan Roro padanya, dia harus mulai melupakan keinginannya membalas dendam ayahnya demi keselamatan keluarga kecilnya. Bukan tanpa alasan Roro meminta itu pada suaminya, bagi wanita sederhana itu memang Jaka berhak untuk memenuhi permintaan ayahnya yang sudah tiada, tapi melawan keluarga kaya suaminya yang memiliki uang dan kekuasaan adalah hal konyol yang bisa saja membuat mereka justru terjerumus dalam jurang kesulitan yang lebih besar. "Memang Bang Irawan itu polisi, Ro," lanjut Jaka malam harinya. "Duh, kalau ingat kemarahanku tadi, aku jadi takut kalau dia... " Roro yang biasanya pemarah malam itu malah terlihat tenang, dia tau kemarahannya tidak akan merubah apapun saat ini. Dia hanya memandangi wajah Jaka yag terus tergiang wajah ayahnya yang memintanya menuntut balas. "Kalau dia apa?" tanya Roro setelah anak kata Jaka tidak berlanjut. "Ya, seperti yang kamu bilang tadi," "Sudah, Mas. Yang penting sekaran
Jaka melangkah cepat mengikuti Danu yang terlihat tidak mau sampai terlambat menemui tamu tidak diundangnya."Bapak siapa, ya?" tanya Danu datar saat tiba di depan Irawan yang berseragam lengkap dengan bintang tanda jasa di bahunya. Saudara Jaka itu langsung tersenyum sinis melihat Jaka yang berdiri di belakang Danu dengan wajah menunduk malu.Jaka sungguh tidak menyangka jika identitasnya akan segera terbongkar oleh Irawan yang akan semakin merendahkannya."Oh, jadi kamu sekarang kerja di sini? Kasihah," ledek Irawan lalu meninggikan dagunya begitu sombong. "Jadi anak orang kaya sekarang kerja di sini? Hehehehehe,"Jaka masih menunduk, dia tidak tau harus marah atau senang mendengar perkataan Irawan yang begitu merendahkannya."Pantas saja kamu begitu marah sampai nuduh-nuduh aku yang bukan-bukan. Ternyata kamu...""Ada apa, ya, Pak?" tanya Danu dengan sopan. "Bapak tidak datang untuk menghina pekerjaan kami, kan?""Hey, aku tidak ada urusan sama kamu!" bentak Irawan membuat Danu be
"Jaka, cepatlah! Dia butuh kamu ke sana sekarang," teriak sosok Rani, salah seorang kerabat Jaka yang sempat ditemui Jaka saat mengantarkan peti jenazah."M..." Belum sempat Jaka memanggil sosok itu, tanggannya sudah lebih dulu meraih surat jalan di meja Danu lalu memutar badannya menuju mobil pick up yang sudah berisi muatan sebuah peti mati cantik berwarna putih."Mas! Mas!" panggil Bowo yang harusnya menemani Jaka hari ini."Eh," Jaka yang sudah menyalakan menis mobil untuk siap meluncur mengeluarkan kepalanya lewat kaca jendela untuk memihat Bowo di bagian belakang mobil."Mau kemana? Aku kok ditinggal," keluh Bowo sambil menggaruk tengkuknya."Maaf, aku lupa," Jaka membuka pintu samping mobil pick up itu mempersilahkan kernetnya duduk di samping sebelum Jaka kembali menyalakan mobil."Kenapa buru-buru?" tanya Bowo merasa aneh. "Memangnya kita mau ke mana?" "Itu," tunjuk Jaka pada surat jalan yang ada di atas dastboard. Kernet muda itu meraih surat jalan yang ditunjuk Jaka kemud
"Aku tidak percaya dia sejahat itu," lirih Jaka sambil menghela nafas berat. Kabar yang disampaikan Rani sungguh menyesakkan dadanya, terlebih karena dia dan keluarganya tidak pernah mau mempercayai hal mistis, gaib atau apapun namanya apa lagi yang membutuhkan tumbal.Bowo bukan tidak mendengar perkataan temannya, tapi dia tidak mau mengganggu Jaka yang kini sedang berbincang dengan mahluk gaib di sebelahnya.Mata Bowo menangkap kehadiran Rani, namun karena dia merasa ini urusan Jaka, dia pun memilih untuk diam."Itu rumahnya," tunjuk Bowo setelah tiba di belokan terakhir menuju Jalan Ijen, Kota Malang."Iya, aku tau. Aku pernah kesana,"Bowo hanya mengangguk pelan sambil memarkirkan mobil setelah dia melambai ke penjaga gerbang rumah besar itu.Jaka membuka pintu untuk turun, Tapi belum sampai kakinya menatap tiba-tiba Bowo menarik tangan suami Roro itu lalu menggeleng."Apa?" tanya Jaka tidak mengerti."Mas di mobil aja, kalau Mas turun aku takut mereka curiga," bisik Bowo lalu m
"Irawan datang dengan marah tengah malam itu, lalu menghardik ayahku seakan dialah yang membuat polisi itu jadi seperti ini," lanjut Puri terisak."Seperti ini?" kening Jaka seketika mengerut. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti,""Mas, baiknya ngobrol di dalam aja, nggak enak dilihat pelayat," tutur seorang petugas penjaga rumah yang mendekat ke arah putri Dumadi itu. Wajahnya begitu iba melihat Puri yang kembali kehilangan orang tuanya dalam waktu yang berdekatan."Ya, masuk, yuk," ajak Puri kemudian menarik tangan Jaka.Jaka yang tidak mau menolak segera mengikuti langkah Puri dan tentunya mengajak Bowo, kernetnya karena tidak mau Roro, istrinya akan menganggap dia main mata pada gadis cantik ini.Bowo ikut saja, dia tau Jaka tidak mungkin masuk sendirian mengingat mereka datang memang untuk tugas yang sama.Setelah masuk ke ruangan lain di sudut rumah, Puri kemudian meminta pelayan menyajikan kopi dan rokok untuk tamunya dan tidak lama kemudian semua tersedia yang berarti itu saatny