“Nyonya Elisa Andara,” panggil seorang petugas yang keluar dari laboratorium rumah sakit.Elisa langsung berdiri dari kursi dan menatap petugas tersebut menyerahkan selembar kertas ke tangannya. “Ini hasil pemeriksaan USG-nya.” Wajah petugas itu semringah, berbanding terbalik dengan Elisa yang tampak pucat. “Selamat, Nyonya akan jadi ibu.” Kepala Elisa tertunduk, menatap kertas di tangannya dengan saksama. “Aku … sungguh hamil?”Elisa semakin tak bisa berkata-kata. Ketakutannya menjadi nyata. Dia benar-benar hamil anak Stevan!Detik itu juga ingatannya kembali ke belakang saat Stevan bertekad menceraikannya. Pria itu tidak pernah menerima pernikahan mereka, juga membenci inseminasi buatan yang dilakukan tanpa persetujuan darinya.Kalau pria itu mengetahui kehamilan ini, bukankah posisi Elisa akan sangat berbahaya?!Elisa langsung menghadap Dokter Mecca, dokter yang bertugas memeriksanya atas rekomendasi Renata dulu.“Dokter, berapa usia kandungan saya saat ini?”“Dilihat dari tangga
“Apa aku salah lihat?”Elisa mengerjap matanya dua kali, bahkan sampai mendekatkan dokumen itu mendekati wajahnya. Dia benar-benar kaget melihat nominal yang tertera di sana.“Satu, dua, tiga, empat, ….” Elisa lanjut berhitung dalam hati, berapa digit angka yang berhasil membuat bola matanya terbelalak tak percaya. Jumlah yang sangat fantastis, tidak pernah terbayang sebelumnya jika aset yang dimiliki oleh Stevan sebanyak itu. “Pantas saja Alex dan ayahnya sangat berambisi menguasai harta peninggalannya jika Stevan meninggal. Kehidupan mereka akan terjamin tujuh turunan. Ah, bahkan mungkin lebih,” gumam Elisa seorang diri, masih terhanyut dengan isi kepalanya sendiri.“Jika yang Stevan miliki saja sebanyak ini, tidak menutup kemungkinan Mama juga memiliki jumlah aset yang sama atau bahkan lebih banyak lagi. Pantas saja dia tidak masalah menanggung utang ibu tiriku ….”Elisa mencubit pipinya sendiri untuk menyadarkannya jika yang dia lihat bukanlah mimpi. Namun, hal itu justru berhasi
“Katakan! Untuk siapa kau bekerja?!”Bentakan Stevan membuat Elisa terenyak. Gadis itu pun berusaha melepas tangan Stevan yang semakin menyakitinya, tapi pria itu begitu kuat.“Aku sama sekali tidak bekerja untuk siapa pun!”“Bohong! Kalau memang demikian, untuk apa kamu mencuri laporan keuangan perusahaan?!”‘Mencuri?’ Mata Elisa membola. “Bidang studiku fashion design dan tidak pernah bersinggungan dengan laporan keuangan sebelumnya. Untuk apa mencurinya?!” Dia mencoba menjelaskan, “Aku hanya tidak sengaja melihatnya, tapi aku benar-benar tidak punya tujuan apa pun. Bahkan, aku tidak paham isi berkas yang tadi kulihat. Bagaimana mungkin aku akan menjatuhkanmu?!”Elisa berusaha membela diri, tapi hal itu malah membuat Stevan semakin menjadi-jadi.Bibir Stevan mengukir senyum miring, dia merasa Elisa tengah mengucapkan omong kosong.“Tidak mau mengaku, ‘kan?” ujar Stevan dengan nada menantang. “Kalau begitu coba kita lihat kamu mau diam sampai kapan!”Stevan berteriak lantang, “Pengaw
“Elisa … bangunlah, Nak.” Renata berlari memasuki kamar Elisa dan bersimpuh di samping tubuh mungilnya yang tergeletak di lantai. Tangannya sibuk menepuk-nepuk Elisa yang masih terpejam. Bibirnya pucat pasi seperti mayat.Maria terperanjat mendengar kepanikan Renata. Semula, dia hanya berdiri di tempatnya karena takut kepada Stevan. Pria itu melarang siapa pun membuka pintu kamar Elisa. Bahkan, Maria juga kena dampaknya saat kemarin berniat memberikan makanan secara diam-diam.“Elisa ….” Renata berusaha mengguncang tubuh menantunya, tapi tetap tak ada reaksi. “Buka matamu, Sayang. Mama di sini.”Beberapa detik berlalu, tetap tak ada yang berubah. Tubuhnya begitu dingin seperti sudah berjam-jam tergeletak di lantai tanpa pertolongan.“Maria, panggil dua pengawal ke sini dan siapkan mobil sekarang juga!” Hening beberapa saat. Suara serak Renata tak berhasil membuat wanita enam puluh tahun itu bertindak. Tatapan Stevan yang dingin dan arogan berhasil mengikis keberaniannya.“Maria!”“Ba
PLAK! Suara tamparan mantap bergema di bilik rumah sakit Elisa. Semua orang yang ada di ruangan itu terbelalak, terkejut dengan sosok Renata yang melayangkan pukulan ke wajah putra kesayangannya itu. “Berani-beraninya kamu bertindak dengan begitu keji?!” Mata Renata menatap nyalang sosok Stevan. “Apa nyawa manusia tidak berarti lagi untukmu, hah?! Apa hanya dinasti bisnismu yang kamu pikirkan!?” Stevan terdiam di tempatnya. Setelah apa yang dia lakukan kepada Elisa, dirinya memang pantas menerima sebuah tamparan. Namun, kemarahan sang ibu, apa Stevan bisa menerimanya? “Kalau ada yang marah, hanya wanita itu yang berhak marah.” Stevan mengangkat pandangan dan menatap ibunya. “Ibu tidak pantas membicarakan mengenai menghargai nyawa manusia di hadapanku,” balas pria itu dengan wajah dingin. Mata Renata terbelalak. “Stevan, berani-beraninya kamu—” “Tinggalkan kami berdua,” ucap Stevan dengan suara dingin dan dalam. Tatapan matanya tertuju pada Elisa yang terbaring lemah tak berdaya
“Hukuman? Apa yang kamu—”“Pikirkan sendiri,” balas Stevan ketus. “Intinya, kita tidak akan bercerai kecuali aku mengizinkannya!”Elisa mengerjap beberapa kali, berusaha mencerna kalimat yang baru saja didengarnya. Namun, sebelum dia bisa mengatakan apa pun, Stevan berbalik dan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Menghadapi sikap Stevan, Elisa merasa sangat kacau. Matanya terasa panas karena pening di kepala dan sesak di dada.Di mata Stevan, apa dirinya adalah sampah yang tidak memiliki hak untuk bicara?Kalau memang ya, kenapa tidak buang saja? Kenapa pria itu malah menjadikannya tahanan dan menyiksanya!?Air mata mulai luruh menuruni wajah Elisa. Di dalam hatinya yang terdalam, dia sedikit menyesal telah mendoakan kesembuhan Stevan. Andaikan pria itu tetap koma, mungkin hidupnya tidak akan menjadi serumit ini!Tepat pada saat itu, pintu kamar Elisa terbuka. “Elisa!” Renata terlihat memasuki ruang perawatan dengan tergesa.Melihat Elisa menangis, Renata langsung memeluk menantuny
“Kemari dan ikut makan malam.”Perintah itu membuat mata Elisa mengerjap, seakan ragu apakah dirinya salah dengar atau tidak. Namun, tatapan tajam Stevan membuat Elisa yang bingung tetap melangkah mendekat dan bergabung di meja makan.“Aku cukup terkejut saat tahu Stevan akhirnya menikah.” Pria dengan kening lebar membuka suara, memperhatikan penampilan Elisa dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Matanya tampak jelalatan di beberapa bagian tubuh tertentu milik Elisa, sedangkan senyumnya terlihat mesum karena membayangkan apa yang ada di balik pakaian wanita tersebut.Ucapan tersebut dibalas oleh seorang tamu wanita, “Memangnya ada masalah apa? Karena dia laki-laki, sudah seharusnya menikahi seorang wanita, bukan?”Elisa menatap wanita yang duduk di depannya. Dari penampilan dan wajahnya, dia pastilah wanita karier yang sukses. Usianya sekitar 27 tahun, lima tahun lebih tua dari Elisa. Namun, tidak ada cincin di jari manisnya yang menandakan dia masih lajang.Seorang tamu lain menga
“Siapa yang mengizinkanmu menyentuh istriku?” cetus Stevan sambil menahan tangan kanan Clara yang hampir saja mendarat di wajah Elisa. Clara tampak terkejut dengan reaksi Stevan. Begitu pula dengan Elisa yang juga membeku di tempat selagi menatap pria tersebut, sama sekali tidak dia sangka pria itu akan melindunginya. “Stevan, aku–” Ucapan Clara terhenti. Dia sedikit meringis kesakitan karena cengkeraman tangan Stevan menguat. “Aku paling tidak suka dengan orang yang tidak tahu tempat,” kata Stevan sambil menghempaskan pergelangan tangan Clara, membuat wanita itu terhuyung mundur beberapa langkah ke belakang. “Steve!” Mata Clara berkaca-kaca, tidak menyangka Stevan tega bersikap kejam padanya. Walau dirinya mulai berteman dengan Stevan karena ibunya dan ibu Stevan adalah kolega bisnis, tapi tetap saja dia dan Stevan juga termasuk teman lama! Teganya pria itu bersikap seperti ini padanya!? “Di rumahku, kau harus ikuti aturanku,” titah Stevan. “Merendahkan istriku, sama saja d