“Kemari dan ikut makan malam.”Perintah itu membuat mata Elisa mengerjap, seakan ragu apakah dirinya salah dengar atau tidak. Namun, tatapan tajam Stevan membuat Elisa yang bingung tetap melangkah mendekat dan bergabung di meja makan.“Aku cukup terkejut saat tahu Stevan akhirnya menikah.” Pria dengan kening lebar membuka suara, memperhatikan penampilan Elisa dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Matanya tampak jelalatan di beberapa bagian tubuh tertentu milik Elisa, sedangkan senyumnya terlihat mesum karena membayangkan apa yang ada di balik pakaian wanita tersebut.Ucapan tersebut dibalas oleh seorang tamu wanita, “Memangnya ada masalah apa? Karena dia laki-laki, sudah seharusnya menikahi seorang wanita, bukan?”Elisa menatap wanita yang duduk di depannya. Dari penampilan dan wajahnya, dia pastilah wanita karier yang sukses. Usianya sekitar 27 tahun, lima tahun lebih tua dari Elisa. Namun, tidak ada cincin di jari manisnya yang menandakan dia masih lajang.Seorang tamu lain menga
“Siapa yang mengizinkanmu menyentuh istriku?” cetus Stevan sambil menahan tangan kanan Clara yang hampir saja mendarat di wajah Elisa. Clara tampak terkejut dengan reaksi Stevan. Begitu pula dengan Elisa yang juga membeku di tempat selagi menatap pria tersebut, sama sekali tidak dia sangka pria itu akan melindunginya. “Stevan, aku–” Ucapan Clara terhenti. Dia sedikit meringis kesakitan karena cengkeraman tangan Stevan menguat. “Aku paling tidak suka dengan orang yang tidak tahu tempat,” kata Stevan sambil menghempaskan pergelangan tangan Clara, membuat wanita itu terhuyung mundur beberapa langkah ke belakang. “Steve!” Mata Clara berkaca-kaca, tidak menyangka Stevan tega bersikap kejam padanya. Walau dirinya mulai berteman dengan Stevan karena ibunya dan ibu Stevan adalah kolega bisnis, tapi tetap saja dia dan Stevan juga termasuk teman lama! Teganya pria itu bersikap seperti ini padanya!? “Di rumahku, kau harus ikuti aturanku,” titah Stevan. “Merendahkan istriku, sama saja d
Setelah dirinya tenang, Elisa kembali ke dalam kamar untuk membersihkan diri. Selagi melakukan hal tersebut, berulang kali dia mengingatkan dirinya akan satu kenyataan penting.“Jangan mengharapkan apa pun. Dengan demikian, kamu tidak akan merasa kecewa, Elisa,” bisik gadis itu kepada dirinya sendiri.Selesai membersihkan diri, Elisa keluar dari kamar mandi dan bersiap untuk tidur. Baru saja gadis itu menutup mata, ponselnya mulai berdering.Dengan kening berkerut, Elisa segera meraih benda pipih itu dan melihat nama yang tertera di layarnya.“Samuel?” Elisa tampak bertanya-tanya. Namun, dia langsung mengangkat panggilan asisten pribadi ayahnya itu. “Sam?”“Selamat malam, Nona. Maaf mengganggu waktu istirahat Anda.”Elisa melirik jam digital yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Memang sedikit terlalu larut untuk seorang bawahan menghubungi atasannya. “Tidak masalah. Ada apa?” duga Elisa.“Anda perlu datang ke kantor besok pagi.”Alis Elisa tertaut. “Apa ada masalah?” Mungkinkah para
“Selamat pagi, Stevan,” sapa Elisa saat bergabung dengan Stevan di meja makan. Sebuah blouse slim fit warna gading dengan aksen tali di depan leher membuat Elisa terlihat lebih segar. Rok span hitam di atas lutut melengkapi penampilannya pagi ini yang tampak sedikit berbeda. Terlebih, Elisa menggunakan make up dan ujung rambut yang dibuat bergelombang.Stevan melirik Elisa dan sempat membeku di tempatnya untuk sesaat sebelum kembali fokus pada makanan di depan mata. Tidak ada balasan yang keluar dari mulutnya.“Selamat pagi, Nona. Anda terlihat sangat cantik pagi ini.” Maria melirik Stevan. “Bukan begitu, Tuan?” Pertanyaan Maria membuat Stevan hampir tersedak minuman di mulutnya. “Biasa saja,” jawab Stevan setelah berdeham. Meski begitu, gerak-gerik Stevan yang salah tingkah mengundang senyum wanita berusia enam puluh tahun itu.Bukan tanpa alasan Maria bertanya, melainkan karena dia menyadari tuannya sudah tiga kali melirik Elisa hanya dalam hitungan beberapa detik. Elisa mencebi
“Apa yang kamu lakukan, Lex?!” teriak Elisa saat Alex meraih jemari dan mencium punggung tangannya. Sontak, gadis itu menarik diri dengan ekspresi jijik terlukis di wajahnya. Selama sesaat, Alex kaget dengan reaksi Elisa yang keras. ‘Apa wanita ini mengira dirinya lebih tinggi daripadaku karena sudah menikah dengan Paman Stevan?! Beraninya dia berteriak seperti itu padaku! Padahal, dulu dia yang selalu haus perhatianku!’ Namun, Alex menahan amarahnya dan memaksakan senyuman tipis. “Aku khawatir padamu, El. Aku hanya ingin mengingatkanmu kalau masih ada aku di sini.” Alex menambahkan, “Sepertinya kamu punya masalah. Katakan saja padaku.
“Ayahmu meninggalkan hutang dan menelantarkan karyawannya. Bagaimana caraku menghadapi mereka semua, hah?!”Bentakan itu membuat Elisa menoleh. Dia sama sekali tidak mengenal pria itu dan berujung melirik Samuel, meminta penjelasan siapa identitas pria ‘santun’ tersebut.Samuel dengan sopan menjelaskan, “Dia William, Nona. Manajer umum yang bertanggung jawab terhadap semua operasional di perusahaan ini. Dia yang mendesak saya memanggil Anda kemari.”Sembari mendengus angkuh, William berkata, “Benar. Aku menyuruh Samuel membawamu kemari. Kamu harus mencari dana untuk membayar pesangon karyawan! Mereka bekerja bertahun-tahun di perusahaan ini untuk memberikan kehidupan yang layak untukmu! Sudah seharusnya kamu membalas kebaikan mereka!”
“Tidak ada pengunjung yang datang ke lantai tujuh, bagaimana barang-barang ini bisa laku?”Elisa jatuh terduduk di lantai setelah menyuarakan keluhan kepada dirinya sendiri. Dia memijat pelipis, tak tahu apa yang harus dilakukan. Dirinya adalah jurusan fashion, bukan bisnis! Bagaimana dia bisa terpikirkan cara menjual barang-barang ini?!Tepat saat dirinya memusingkan hal itu, Elisa mendadak merasa mual. Dia berlari ke kamar mandi dan berujung mengeluarkan isi perutnya.Dalam posisi membungkuk, Elisa merasa dirinya ingin menangis. Namun, dia menahan diri dan memaksakan sebuah senyuman selagi mengelus perutnya yang masih rata.‘Kamu ikut stres, ya? Maafkan Mama ya ….’ Dengan tenaga yang tersisa, Elisa memutuskan keluar dari mall dan berjalan menuju apotek tak jauh dari sana. Karena pergi dengan tergesa, dia lupa tidak membawa obat anti mual maupun suplemen makanan yang diberikan dokter Mecca.Sambil menunggu pesanannya, Elisa duduk di kursi panjang tak jauh dari sana. Tangannya masih
‘Itu tidak mungkin!’ Stevan menggertakkan giginya, menyangkal pendapat Yohan yang dirasa tidak masuk akal. ‘Aku melakukannya agar dia tidak merusak reputasiku karena terlilit banyak utang. Itu saja. Tidak ada yang lain!’ Pria dengan kaus putih lengan pendek itu segera menjauhi kamar Elisa sambil berkali-kali menggelengkan kepala. Sayangnya, bayangan gadis itu justru semakin mengusiknya. “Stevan, kalau kita bertemu dalam kondisi dirimu yang sadar, apa kamu akan tertarik dengan wanita sepertiku?” Teringat samar oleh Stevan kalimat yang diucapkan suara lembut Elisa kala dirinya masih koma. Ya, Stevan bisa mendengar ucapan gadis itu. Meski matanya saat itu masih terpejam, tapi indera pendengarannya berfungsi dengan baik. “Andai saja kamu bisa bangun dan melihatku.” Ucapan Elisa kala itu terngiang di benak Stevan lagi. Mungkinkah sebenarnya kalimat gadis tersebut yang membuat Stevan terbangun? “Tuan? Apa Tuan masih di sana?” Panggilan Yohan menyadarkan Stevan dari lamunannya.