“Apa yang kamu lakukan, Lex?!” teriak Elisa saat Alex meraih jemari dan mencium punggung tangannya. Sontak, gadis itu menarik diri dengan ekspresi jijik terlukis di wajahnya. Selama sesaat, Alex kaget dengan reaksi Elisa yang keras. ‘Apa wanita ini mengira dirinya lebih tinggi daripadaku karena sudah menikah dengan Paman Stevan?! Beraninya dia berteriak seperti itu padaku! Padahal, dulu dia yang selalu haus perhatianku!’ Namun, Alex menahan amarahnya dan memaksakan senyuman tipis. “Aku khawatir padamu, El. Aku hanya ingin mengingatkanmu kalau masih ada aku di sini.” Alex menambahkan, “Sepertinya kamu punya masalah. Katakan saja padaku.
“Ayahmu meninggalkan hutang dan menelantarkan karyawannya. Bagaimana caraku menghadapi mereka semua, hah?!”Bentakan itu membuat Elisa menoleh. Dia sama sekali tidak mengenal pria itu dan berujung melirik Samuel, meminta penjelasan siapa identitas pria ‘santun’ tersebut.Samuel dengan sopan menjelaskan, “Dia William, Nona. Manajer umum yang bertanggung jawab terhadap semua operasional di perusahaan ini. Dia yang mendesak saya memanggil Anda kemari.”Sembari mendengus angkuh, William berkata, “Benar. Aku menyuruh Samuel membawamu kemari. Kamu harus mencari dana untuk membayar pesangon karyawan! Mereka bekerja bertahun-tahun di perusahaan ini untuk memberikan kehidupan yang layak untukmu! Sudah seharusnya kamu membalas kebaikan mereka!”
“Tidak ada pengunjung yang datang ke lantai tujuh, bagaimana barang-barang ini bisa laku?”Elisa jatuh terduduk di lantai setelah menyuarakan keluhan kepada dirinya sendiri. Dia memijat pelipis, tak tahu apa yang harus dilakukan. Dirinya adalah jurusan fashion, bukan bisnis! Bagaimana dia bisa terpikirkan cara menjual barang-barang ini?!Tepat saat dirinya memusingkan hal itu, Elisa mendadak merasa mual. Dia berlari ke kamar mandi dan berujung mengeluarkan isi perutnya.Dalam posisi membungkuk, Elisa merasa dirinya ingin menangis. Namun, dia menahan diri dan memaksakan sebuah senyuman selagi mengelus perutnya yang masih rata.‘Kamu ikut stres, ya? Maafkan Mama ya ….’ Dengan tenaga yang tersisa, Elisa memutuskan keluar dari mall dan berjalan menuju apotek tak jauh dari sana. Karena pergi dengan tergesa, dia lupa tidak membawa obat anti mual maupun suplemen makanan yang diberikan dokter Mecca.Sambil menunggu pesanannya, Elisa duduk di kursi panjang tak jauh dari sana. Tangannya masih
‘Itu tidak mungkin!’ Stevan menggertakkan giginya, menyangkal pendapat Yohan yang dirasa tidak masuk akal. ‘Aku melakukannya agar dia tidak merusak reputasiku karena terlilit banyak utang. Itu saja. Tidak ada yang lain!’ Pria dengan kaus putih lengan pendek itu segera menjauhi kamar Elisa sambil berkali-kali menggelengkan kepala. Sayangnya, bayangan gadis itu justru semakin mengusiknya. “Stevan, kalau kita bertemu dalam kondisi dirimu yang sadar, apa kamu akan tertarik dengan wanita sepertiku?” Teringat samar oleh Stevan kalimat yang diucapkan suara lembut Elisa kala dirinya masih koma. Ya, Stevan bisa mendengar ucapan gadis itu. Meski matanya saat itu masih terpejam, tapi indera pendengarannya berfungsi dengan baik. “Andai saja kamu bisa bangun dan melihatku.” Ucapan Elisa kala itu terngiang di benak Stevan lagi. Mungkinkah sebenarnya kalimat gadis tersebut yang membuat Stevan terbangun? “Tuan? Apa Tuan masih di sana?” Panggilan Yohan menyadarkan Stevan dari lamunannya.
Kantor Miracle Company. Jam empat sore.“Akhirnya selesai juga!” Elisa menyandarkan punggung ke kursi dan meregangkan tangannya di atas kepala. Menemui seluruh karyawan Miracle ternyata cukup menyita waktu dan tenaganya. “Sudah semua kan, Sam?” tanya Elisa seraya menoleh ke arah Samuel yang tengah berdiri di hadapannya sembari tersenyum.“Sudah, Nona. Semua karyawan sudah mendapatkan haknya.”“Syukurlah.”Senyum di wajah Elisa semakin mengembang. Kerja kerasnya beberapa hari ke belakang telah terbayarkan. Satu masalah berhasil terpecahkan.‘Masalah pesangon sudah selesai, hanya tersisa investor perusahaan,’ batinnya sembari membuka bibir, berniat bertanya pada Samuel, “Sam, mengenai–”“ELISA!” Suara menggelegar mendadak memotong ucapan Elisa dan membuat gadis itu dan Samuel menoleh ke sumber suara. Tampak seorang pria dengan setelan jas mewah limited edition mendekat dengan wajah keruh. “Manager William …,” sapa Elisa dengan wajah dingin. Dia sudah tahu pria ini cepat atau lambat
“Aku tidak mengatakan apa pun tentang laporan keuangan,” balas Elisa. “Lalu, kenapa Anda tahu bahwa ada masalah dengan laporan keuangan?!” sindir Elisa terang-terangan. Menyadari kebodohannya, William segera menutup mulutnya rapat-rapat dan bersiap pergi dari sana. Tertangkap menggelapkan dana perusahaan akan lebih merugikan dirinya dibandingkan kehilangan pesangon pemberhentian kerjanya! Sayangnya, Samuel lebih dulu menghadang. “Tuan, Nona belum selesai bicara!” Dengan gerakan yang sedikit kasar, Samuel memaksa William duduk di depan Elisa. Dua laporan keuangan terbuka dan menampilkan dengan jelas perbedaan yang signifikan. Elisa membongkar korupsi yang pria itu lakukan. “Lima tahun Anda mengeruk uang Papa, sekarang Anda bahkan dengan terang-terangan ingin memanipulasi uang pesangon. Tidak adakah sedikit rasa malu yang tersisa?” William tak berkutik. Elisa sudah mengetahui semua kebusukannya! “Dengan semua bukti yang ada, mudah saja membawa masalah ini ke pihak yang berwajib d
Aroma antiseptik tercium saat Elisa mendapatkan kembali kesadarannya. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan penglihatan dengan cahaya ruangan. “Di mana ini?” lirih Elisa sembari memerhatikan sekeliling. Ruangan luas dengan warna biru muda menjadi hal pertama yang dilihatnya. Begitu melihat jarum infus terpancang di punggung tangan kirinya, kening gadis itu berkerut. “Rumah sakit?” gumamnya lagi seraya memegangi kepala yang terasa pening saat berusaha bangun dari ranjang. Elisa bisa melihat langit di luar jendela kamarnya gelap. Pandangannya menyapu sekeliling dan dia mendapati jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. “Nona! Syukurlah, akhirnya Anda sadar.” Suara yang mendadak terdengar membuat Elisa tersentak dan melihat ke kanan. “Samuel …?” panggil Elisa dengan mata mengerjap. Sosok Samuel yang tampak mengantuk segera berdiri dari kursi dan mendekati Elisa. Tampak jelas raut wajah lega melihat gadis itu siuman. Masih sedikit bingung dengan apa yang t
Samuel memutar ingatannya akan apa yang terjadi beberapa jam lalu setelah Elisa mengalami kecelakaan itu. Tercetak dengan jelas di ingatannya ada sosok yang langsung keluar dari mobil mewahnya untuk menghampiri gadis itu.“Elisa!” teriak Stevan sembari meraih setengah tubuh gadis itu ke dalam pelukan. “Elisa, buka matamu!” Pria itu tampak mengguncang bahu Elisa.Samuel mendekat dan melihat tangan Stevan berlumuran darah. Hal itu membuatnya gegas berkata, “Tuan, kita harus membawa Nona ke rumah sakit!”Stevan menoleh ke arah Samuel dan menyadari apa yang terjadi. Dia terlalu panik.Tanpa membuang waktu, Stevan menggendong tubuh Elisa. “Bertahanlah, Elisa!” ucapnya seraya masuk ke dalam mobil yang langsung melesat meninggalka