“Elisa … bangunlah, Nak.” Renata berlari memasuki kamar Elisa dan bersimpuh di samping tubuh mungilnya yang tergeletak di lantai. Tangannya sibuk menepuk-nepuk Elisa yang masih terpejam. Bibirnya pucat pasi seperti mayat.Maria terperanjat mendengar kepanikan Renata. Semula, dia hanya berdiri di tempatnya karena takut kepada Stevan. Pria itu melarang siapa pun membuka pintu kamar Elisa. Bahkan, Maria juga kena dampaknya saat kemarin berniat memberikan makanan secara diam-diam.“Elisa ….” Renata berusaha mengguncang tubuh menantunya, tapi tetap tak ada reaksi. “Buka matamu, Sayang. Mama di sini.”Beberapa detik berlalu, tetap tak ada yang berubah. Tubuhnya begitu dingin seperti sudah berjam-jam tergeletak di lantai tanpa pertolongan.“Maria, panggil dua pengawal ke sini dan siapkan mobil sekarang juga!” Hening beberapa saat. Suara serak Renata tak berhasil membuat wanita enam puluh tahun itu bertindak. Tatapan Stevan yang dingin dan arogan berhasil mengikis keberaniannya.“Maria!”“Ba
PLAK! Suara tamparan mantap bergema di bilik rumah sakit Elisa. Semua orang yang ada di ruangan itu terbelalak, terkejut dengan sosok Renata yang melayangkan pukulan ke wajah putra kesayangannya itu. “Berani-beraninya kamu bertindak dengan begitu keji?!” Mata Renata menatap nyalang sosok Stevan. “Apa nyawa manusia tidak berarti lagi untukmu, hah?! Apa hanya dinasti bisnismu yang kamu pikirkan!?” Stevan terdiam di tempatnya. Setelah apa yang dia lakukan kepada Elisa, dirinya memang pantas menerima sebuah tamparan. Namun, kemarahan sang ibu, apa Stevan bisa menerimanya? “Kalau ada yang marah, hanya wanita itu yang berhak marah.” Stevan mengangkat pandangan dan menatap ibunya. “Ibu tidak pantas membicarakan mengenai menghargai nyawa manusia di hadapanku,” balas pria itu dengan wajah dingin. Mata Renata terbelalak. “Stevan, berani-beraninya kamu—” “Tinggalkan kami berdua,” ucap Stevan dengan suara dingin dan dalam. Tatapan matanya tertuju pada Elisa yang terbaring lemah tak berdaya
“Hukuman? Apa yang kamu—”“Pikirkan sendiri,” balas Stevan ketus. “Intinya, kita tidak akan bercerai kecuali aku mengizinkannya!”Elisa mengerjap beberapa kali, berusaha mencerna kalimat yang baru saja didengarnya. Namun, sebelum dia bisa mengatakan apa pun, Stevan berbalik dan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Menghadapi sikap Stevan, Elisa merasa sangat kacau. Matanya terasa panas karena pening di kepala dan sesak di dada.Di mata Stevan, apa dirinya adalah sampah yang tidak memiliki hak untuk bicara?Kalau memang ya, kenapa tidak buang saja? Kenapa pria itu malah menjadikannya tahanan dan menyiksanya!?Air mata mulai luruh menuruni wajah Elisa. Di dalam hatinya yang terdalam, dia sedikit menyesal telah mendoakan kesembuhan Stevan. Andaikan pria itu tetap koma, mungkin hidupnya tidak akan menjadi serumit ini!Tepat pada saat itu, pintu kamar Elisa terbuka. “Elisa!” Renata terlihat memasuki ruang perawatan dengan tergesa.Melihat Elisa menangis, Renata langsung memeluk menantuny
“Kemari dan ikut makan malam.”Perintah itu membuat mata Elisa mengerjap, seakan ragu apakah dirinya salah dengar atau tidak. Namun, tatapan tajam Stevan membuat Elisa yang bingung tetap melangkah mendekat dan bergabung di meja makan.“Aku cukup terkejut saat tahu Stevan akhirnya menikah.” Pria dengan kening lebar membuka suara, memperhatikan penampilan Elisa dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Matanya tampak jelalatan di beberapa bagian tubuh tertentu milik Elisa, sedangkan senyumnya terlihat mesum karena membayangkan apa yang ada di balik pakaian wanita tersebut.Ucapan tersebut dibalas oleh seorang tamu wanita, “Memangnya ada masalah apa? Karena dia laki-laki, sudah seharusnya menikahi seorang wanita, bukan?”Elisa menatap wanita yang duduk di depannya. Dari penampilan dan wajahnya, dia pastilah wanita karier yang sukses. Usianya sekitar 27 tahun, lima tahun lebih tua dari Elisa. Namun, tidak ada cincin di jari manisnya yang menandakan dia masih lajang.Seorang tamu lain menga
“Siapa yang mengizinkanmu menyentuh istriku?” cetus Stevan sambil menahan tangan kanan Clara yang hampir saja mendarat di wajah Elisa. Clara tampak terkejut dengan reaksi Stevan. Begitu pula dengan Elisa yang juga membeku di tempat selagi menatap pria tersebut, sama sekali tidak dia sangka pria itu akan melindunginya. “Stevan, aku–” Ucapan Clara terhenti. Dia sedikit meringis kesakitan karena cengkeraman tangan Stevan menguat. “Aku paling tidak suka dengan orang yang tidak tahu tempat,” kata Stevan sambil menghempaskan pergelangan tangan Clara, membuat wanita itu terhuyung mundur beberapa langkah ke belakang. “Steve!” Mata Clara berkaca-kaca, tidak menyangka Stevan tega bersikap kejam padanya. Walau dirinya mulai berteman dengan Stevan karena ibunya dan ibu Stevan adalah kolega bisnis, tapi tetap saja dia dan Stevan juga termasuk teman lama! Teganya pria itu bersikap seperti ini padanya!? “Di rumahku, kau harus ikuti aturanku,” titah Stevan. “Merendahkan istriku, sama saja d
Setelah dirinya tenang, Elisa kembali ke dalam kamar untuk membersihkan diri. Selagi melakukan hal tersebut, berulang kali dia mengingatkan dirinya akan satu kenyataan penting.“Jangan mengharapkan apa pun. Dengan demikian, kamu tidak akan merasa kecewa, Elisa,” bisik gadis itu kepada dirinya sendiri.Selesai membersihkan diri, Elisa keluar dari kamar mandi dan bersiap untuk tidur. Baru saja gadis itu menutup mata, ponselnya mulai berdering.Dengan kening berkerut, Elisa segera meraih benda pipih itu dan melihat nama yang tertera di layarnya.“Samuel?” Elisa tampak bertanya-tanya. Namun, dia langsung mengangkat panggilan asisten pribadi ayahnya itu. “Sam?”“Selamat malam, Nona. Maaf mengganggu waktu istirahat Anda.”Elisa melirik jam digital yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Memang sedikit terlalu larut untuk seorang bawahan menghubungi atasannya. “Tidak masalah. Ada apa?” duga Elisa.“Anda perlu datang ke kantor besok pagi.”Alis Elisa tertaut. “Apa ada masalah?” Mungkinkah para
“Selamat pagi, Stevan,” sapa Elisa saat bergabung dengan Stevan di meja makan. Sebuah blouse slim fit warna gading dengan aksen tali di depan leher membuat Elisa terlihat lebih segar. Rok span hitam di atas lutut melengkapi penampilannya pagi ini yang tampak sedikit berbeda. Terlebih, Elisa menggunakan make up dan ujung rambut yang dibuat bergelombang.Stevan melirik Elisa dan sempat membeku di tempatnya untuk sesaat sebelum kembali fokus pada makanan di depan mata. Tidak ada balasan yang keluar dari mulutnya.“Selamat pagi, Nona. Anda terlihat sangat cantik pagi ini.” Maria melirik Stevan. “Bukan begitu, Tuan?” Pertanyaan Maria membuat Stevan hampir tersedak minuman di mulutnya. “Biasa saja,” jawab Stevan setelah berdeham. Meski begitu, gerak-gerik Stevan yang salah tingkah mengundang senyum wanita berusia enam puluh tahun itu.Bukan tanpa alasan Maria bertanya, melainkan karena dia menyadari tuannya sudah tiga kali melirik Elisa hanya dalam hitungan beberapa detik. Elisa mencebi
“Apa yang kamu lakukan, Lex?!” teriak Elisa saat Alex meraih jemari dan mencium punggung tangannya. Sontak, gadis itu menarik diri dengan ekspresi jijik terlukis di wajahnya. Selama sesaat, Alex kaget dengan reaksi Elisa yang keras. ‘Apa wanita ini mengira dirinya lebih tinggi daripadaku karena sudah menikah dengan Paman Stevan?! Beraninya dia berteriak seperti itu padaku! Padahal, dulu dia yang selalu haus perhatianku!’ Namun, Alex menahan amarahnya dan memaksakan senyuman tipis. “Aku khawatir padamu, El. Aku hanya ingin mengingatkanmu kalau masih ada aku di sini.” Alex menambahkan, “Sepertinya kamu punya masalah. Katakan saja padaku.