Share

Chapter 06

Sepasang mata penuh amarah menyorot tajam terus memperhatikan kejadian yang ada di depannya. Tangannya terkepal kuat dengan gigi yang menggerutu mempertegas guratan kemarahan di wajahnya.

"Hormat kepada Yang Mulia Permaisuri, kesejahteraan selalu melingkupi."

Kedua prajurit yang sedari tadi berdiam di depan pintu berlutut menghormat begitu menyadari sosok agung hadir diambang pintu.

Sang permaisuri tak mengidahkan hal tersebut. Ia berlari menerobos peraduan sang pangeran. Dengan secepat kilat ia menahan tangan seorang wanita yang sudah terangkat tinggi.

“BELUM PUASKAH KAU MENYAKITI DARAH DAGINGMU SENDIRI, SELIR AGUNG JIREA?!” seru Audreya dengan suara menggeram. Sorot matanya tak lepas menatap sang selir yang juga menatapnya terkejut.

"Pengawal, pergilah tinggalkan kami disini," perintah Jirea kepada kedua pengawalnya yang masih setia berjaga di depan pintu.

Tak butuh waktu lama kedua prajurit itu pergi menuruti perintah sang selir agung.

"Setelah apa yang kau lakukan dengan darah dagingmu, kau masih memiliki hati untuk mengunjunginya, Selir Agung Jirea?" lanjut Audreya dengan amarah yang sudah menggebu-gebu hingga tanpa sadar ia semakin mencengkeram kuat pergelangan tangan sang selir.

Jirea merintih kesakitan sembari berusaha melepaskan tangannya. Meskipun harus bersusah payah akhirnya dapat terlepas. Ia membuang muka sejenak kemudian menatap sang permaisuri dengan wajah memerah. "Aku tak mengerti maksud anda, Yang Mulia Permaisuri."

Audreya berjalan mendekat menyusup di tengah-tengah posisi Jirea dan Adrian.

"Tak usah berlagak bodoh! Bukankah kau tahu betul kabar burung apa yang kini sedang ramai di perbincangkan?" gertak Audreya dengan aura mengintimidasi. Ia sudah tak mampu menyembunyikan amarahnya lagi.

Jirea tak terpengaruh dengan aura mengintimidasi dari Audreya, ia justru terkekeh pelan. "Tak kusangka sosok terpandang sepertimu juga gemar bergosip, Yang Mulia."

Tatapan Audreya semakin tak ramah. Sedangkan lawan bicara masih saja menyeletuk sebuah gurauan tak penting.

"Oh maaf aku hanya bercanda, Yang Mulia, semoga engkau tidak tersinggung dengan mulut sampahku ini," lanjut Jirea seolah olah terkejut dan menyesali ucapannya.

"Itu benar ulahmu kan?" tanya Audreya kembali mengintimidasi.

Mendengar pertanyaan itu Adrian hanya mengernyitkan kening terheran.

Sedangkan raut wajah Jirea yang semula masih memancarkan keramahan berubah 180°. Matanya memicing menatap Audreya jengah.

"Kedudukan saya di istana ini hanyalah seorang selir sedangkan anda adalah ratu kekaisaran, bukankah seharusnya anda lebih paham mengenai tata krama kerajaan, Yang Mulia? Dan maaf jika saya lancang, bukankah menuduh tanpa bukti termasuk tindakan penghasutan dan hal itu menyalahi tata krama?" jawab Jirea dengan memaparkan fakta yang tak bisa terbantahkan.

Memang benar tindakan gegabah yang Audreya pada Jirea sama saja seperti melakukan tindakan bunuh diri. Sosok Jirea yang lihai dalam bersilat lidah akan dengan mudah membantah tuduhan tanpa bukti.

Audrea bergeming mendengar bantahan yang Jirea ucapkan. Ia tak menampik jika tindakannya yang mengedepankan amarah adalah tindakan bodoh.

"Yang Mulia, apakah anda baik-baik saja?" tanya Jirea kembali menyadarkan Audeya yang masih terdiam tanpa kata.

Audreya mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia lantas berdeham dengan raut wajah menahan kekesalan.

"Ahh mungkin iya sepertinya itu hanya sebuah gosip sampah dari orang dengan kasta yang lebih rendah daripada sampah, benarkan selir agung?" tanggap Audreya dengan senyum terkesan mengejek seolah permaisuri ingin menegaskan posisi jirea yang sebenarnya.

"Ya sudah kalau begitu beristirahatlah, Adrian, pastikan kau tumbuh dengan sehat agar bisa menjadi seorang ksatria yang menjunjung tinggi keadilan dan kebijaksanaan," ungkap Audreya mengusap pundak Adrian dengan sayang.

"Kalau begitu aku pergi sekarang. Maaf telah mengganggumu dengan tuduhan sampah. Semoga saja penghasut sampah itu akan mendapatkan balasan yang setimpal akibat menyebarkan gosip sampah keluarga kerajaan. Iya kan, Selir Agung?" ucap Audreya kini beralih menatap Jirea yang masih menatap dengan congkak.

Nampak tercetak raut kepuasan di wajah Audreya begitu melihat wajah Jirea berubah pias. Ia bahkan tak mampu menjawab apa yang Audreya ucapkan kepadanya.

"Sial," umpat Jirea dengan suara pelan. Wajahnya nampak begitu kesal melihat kepergian Audreya yang sepertinya dengan sengaja berusaha mengoyak harga dirinya di depan sang putra.

Adrian yang masih berada dihadapan sang ibunda hanya mengangkat alisnya heran. Ia nampaknya masih tidak bisa membaca arah pembicaraan kedua wanita itu.

Kini atensi Jirea sepenuhnya menyorot kepada Adrian. "Jika kau berulah lagi aku tak akan segan meminta kaisar mengusirmu dari sini. Camkan itu!"

Usai mengelurkan sumpah serapah, Jirea pergi begitu saja meninggalkan sang anak seorang diri.

"Kita lihat saja sebilah besi tak akan mampu menggantikan sebongkah emas."

***

"Tunggu! Diam di sana, Audreya."

Sebuah suara menginstrupsi langkah kaki wanita bersurai karamel.

Tak perlu waktu lama Audreya segera mengetahui siapa sosok yang mengintrupsinya.

Dan benar saja begitu Audreya berbalik, sosok Jirealah yang muncul dari kegelapan.

"Dengarkanlah, ada sedikit pesan yang ingin kusampaikan," seru Jirea ketika berhadapan dengan sang permaisuri.

"Hemmm apa sekarang kau akan mengakuinya, Jirea?"

Pertanyaan Audreya membuat Jirea terdiam sejenak.

"Kau pasti tahu untuk mempertahankan pohon yang sehat, kita perlu memotong bagian yang busuk kan?"

Audreya menatap penuh tanda tanya sembari menyilangkan kedua tangannya bersedekap dada menanti perkataan sang selir selanjutnya.

"Begitupun keadaan kekaisaran sekarang. Aku perlu menyingkirkan bagian yang busuk sebelum bagian yang lain ikut hancur," lanjut Jirea tersenyum miring.

Audreya yang menjadi lawan bicara sedari tadi hanya terdiam tanpa ekspresi.

"Memang benar, tapi apakah kau lupa daun busuk tak sepantasnya membuang batang yang sedang tumbuh?"

"Apa kau yakin setelah apa yang kau lakukan akan bisa membuatnya tumbuh sehat? Atau justru akan ... mati konyol?" tanggap sang permaisuri mempertanyakan lagi tindakan Jirea yang membuatnya terlihat lebih bijaksana.

Sang selir nampak terkesiap, ia lantas buru-buru mengubah mimik wajah santai. "Ya, pilihanku tak akan pernah salah. Lagi pula punya hak apa kau menilai pilihan yang aku pilih?" sungut Jirea tak mau kalah. Bahkan ia kini dengan kurang ajarnya memandang remeh sang permaisuri.

"Entahlah. Yang lebih mengherankan, mengapa engkau harus memiliki hak untuk membuat pilihan?"

Sindiran sang permaisuri sukses membuat sang selir naik pitam. Giginya mulai bergemertuk menahan kekesalan.

"Orang bodoh cenderung akan mencari-cari alasan untuk mendukung pernyataannya. Ia akan mencari sebanyak mungkin pembenaran atas ucapannya, padahal sebuah pembenaran sampai kapanpun tak akan bisa memvalidasi sebuah kesalahan."

"Kau?!" ucap Jirea menggeram marah.

Ia secepat kilat menatap nyalang Audreya hanya dalam jarak 5 cm. Bahkan deru napas sang selir terdengar keras dipendengaran Audreya.

"Dengar, jangan merasa paling benar dan merasa sudah menang hanya karena kini kau sudah menjadi seorang ratu. Ingatlah itu hanyalah formalitas!! Bagaimanapun juga kaisar tak akan pernah menganggapmu sebagai permaisurinya, camkan itu!" teriak Jirea dengan amarah menguasai dirinya.

Audreya tak merasa takut dengan acaman intimidasi yang Jirea lontarkan. Ia justru nampak terkekeh pelan melihat Jirea yang berteriak kesetanan.

"Maaf jika membuatmu kecewa, Jirea, nampaknya ekspektasimu akan cinta sang Kaisar harus kandas karena dia sendiri sudah terperangkap dalam pesonaku."

"OMONG KOSONG?!" teriak Jirea masih denial dengan perasaannya.

Kisah cintanya dan Vernon masih bersemi hangat di hatinya, tentu saja ia tak terima dengan ucapan Audreya yang sangat berbanding terbalik.

"Kau ini memang tak tahu atau pura-pura bodoh? Bukankah kau sendiri juga menyadarinya, Jirea? Oke jika kau belum sadar juga, coba kau ingat-ingat kembali kapan terakhir kali Kaisar Vernon mengunjungi peraduanmu?" timpal Audreya dengan senyuman remeh yang semakin memancing kemarahan Jirea.

"Bukankah sudah terlalu lama hingga kau tidak mengingatnya?"

"KAU?! KURANG AJAR!!"

Amarah Jirea meluap, aura kegelapan menguasai kesadarannya. Ia sungguh telah dibutakan oleh cinta sang kaisar. Sebenarnya ia menyadari adanya jarak yang semakin merenggang dalam hubungannya dengan sang kaisar, namun hatinya masih menolak untuk percaya. Nalurinya sebagai sosok yang berharga bagi sang kaisar membuatnya memaksa buta akan semua yang telah terjadi.

Kini tangan kirinya diam-diam mengambil benda yang terselip pada gaunnya. Benda panjang, tajam nan berkilau itu dengan amarah tak terbendung tanpa ragu segera ia ayunkan ke arah samping tubuh Audreya.

"Arghhh..."

Ringisan kesakitan seketika menggema di kegelapan lorong. Tak lama kemudian terlihat seseorang jatuh tersungkur.

"APA-APAAN INI?!"

Kembali sebuah teriakan kemarahan menggema menyadarkan ketiga insan yang tadinya bercakap-cakap di tengah kegelapan.

Audreya meringis kesakitan sembari memegangi pinggang yang kini telah mengelurkan banyak darah. Sebelum kesadarannya terenggut, netra zamrud itu bertubrukan dengan manik Jirea yang menatapnya dingin. Seketika itu juga ia tersadar jika lawan bicaranya telah berhasil menusuknya dengan sebilah pisau yang tak pernah terlepas dari baju kekaisaran suaminya.

"YANG MULIA PERMAISURI?!"

Tbc

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status