Share

Chapter 08

Enghh

Lenguhan terdengar dari sosok wanita anggun yang terbaring lemah di ranjang besar. Kelopak matanya perlahan bergerak hingga matanya terbuka sempurna.

"Ibunda?"

Netranya menangkap wajah pemuda bernetra biru. Dengan perlahan ia mengangkat tangannya dan mengusap wajah sang anak.

"Kau baik-baik saja, Adrian?" tanya sang permaisuri dengan suara selembut sutra.

Namun sebuah suara protes membuat kesadarannya berkumpul seketika.

"Ibunda, ini aku George bukan Adrian!" sentak George merasa kesal. Ia menepis tangan sang ibunda yang masih bertengger pada pipinya.

Audreya yang menyadari kesalahannya segera tersadar.

"Oh maafkan aku, Sayang."

George memasang raut wajah kesal bercampur iri. Sebenarnya ini bukan kali pertama Audreya membuat kesalahan seperti ini. Entah mengapa sang permaisuri kerap salah sebut nama ketika bersama anak kandungnya sehingga tak heran jika George begitu membenci sosok Adrian.

***

Situasi istana kala itu memanas usai kabar sang selir yang menganiaya sang permaisuri tersebar. Hal itu membuat kegaduhan dalam istana tak mampu terbendung.

"Tutup mulut setiap orang di istana ini, jangan biarkan kabar ini sampai keluar istana."

"Baik, Panglima, dimengerti!" seru beberapa prajurit istana yang berpangkat tinggi.

Sebelum Panglima Terrson berbalik hendak pergi, ia kembali berbisik kepada lima orang prajurit itu.

"Sekalipun harus menghunuskan pedang pada jantungnya, lakukanlah."

Akhirnya rapat mendadak itu berakhir. Satu persatu prajurit bergegas keluar untuk mengkondisikan kegaduhan yang terjadi.

"Mengapa sampai seperti ini? Apakah yang terjadi pada permaisuri dan ibunda sebegitu seriusnya hingga harus membungkam berita itu dengan nyawa?" gumam seseorang yang ternyata sedari tadi menguping pembicaraan panglima dengan beberapa prajurit.

Adrian, ya itulah dia. Usai terjadi kegaduhan di lorong peraduannya, ia memanfaatkan situasi untuk kabur. Dan akhirnya ia berhasil keluar dari istana bawah tanah itu.

"Selagi aku bebas, aku harus memperoleh informasi sebanyak-banyaknya. Aku tak mau kehadiranku di sini sia-sia."

Pemuda itu lantas bergerak pergi dengan mengendap-endap berusaha memasuki istana utama.

Namun malangnya saat ia hendak mencapai istana utama, ia dikejutkan dengan sekelompok prajurit yang berjaga. Nampaknya mustahil untuknya bisa memasuki istana itu tanpa ketahuan.

"Huh, bagaimana ini, sulit untuk mengelabui prajurit sebanyak ini," bisik Adrian bersandar pada dinding di belakang pintu masuk istana utama.

Disaat ia sibuk berkutat dengan pikirannya, tiba-tiba sebuah tangan menarik ujung pakaiannya. Ia nyaris berteriak hingga menyadari sosok yang ia kenal ada di sampingnya.

"Putri Rhiannon? Apa yang—"

Belum sempat menyapa, tangan sang pangeran ditarik mundur memasuki sebuah cela kecil yang mampu membuat tubuh mereka tersembunyi.

Rhiannon menghela napas lega dan menatap Adrian dengan curiga.

"Apa kau gila, Pangeran? Bagaimana bisa kau seceroboh itu? Hampir saja kau tertangkap basah oleh prajurit ayahku."

"Hah?! Aku tidak tau hal itu. Tapi mengapa kau bisa ada di sini?" tanya Adrian semakin dibuat bingung.

Dengan tatapan datar, Rhiannon menyentil kening Adrian kencang. "Kau masih saja bodoh. Sudahlah hentikan omong kosong ini. Jadi bagaimana bisa kau keluar dari peraduanmu?"

"Aish, aku hanya sedang beruntung bisa keluar," gerutu Adrian kesal sembari mengusap keningnya yang baru saja disentil.

Mata hazel Rhiannon tiba-tiba berbinar. "OH WOW! Kau benar-benar keluar dari jalan rahasia itu?" tebaknya dengan antusias.

Adrian sedikit terkejut dengan apa yang Rhiannon ucapkan. "Ya, bisa dibilang begitu," balas Adrian dengan suara kecil yang lebih tepatnya kurang yakin.

Rhiannon terkagum-kagum, ia hendak menanyai lebih lanjut namun diinstrupsi oleh sang pangeran.

"Stop! Waktuku terlalu berharga untuk mendengar omong kosongmu, Putri. Aku harus bergegas memasuki istana utama."

Mata putri membulat.

"Oh iya ya ampun kau pasti khawatir dan diam-diam ingin mengunjungi Yang Mulia Permaisuri Audreya ya? Astaga, seharusnya aku paham kenapa kau sampai nekat keluar dari peraduanmu. Sebagai wujud permintaan maafku karena menghabiskan waktu berhargamu, aku akan membantumu pangeran," ujar Rhiannon panjang lebar masih dengan antusias.

Adrian yang tadinya sudah jengah menghadapi remaja di depannya itu seketika merasa tertarik.

"Bagaimana caranya?"

Rhiannon menerbitkan senyum misterius. Ia lantas melambaikan tangan meminta Adrian untuk mendekat.

***

"Kurasa cukup sampai di sini saja, Putri, aku akan melanjutkannya seorang diri," celetuk Adrian menghentikan langkahnya tiba-tiba. Bahkan Rhiannon hampir saja menabrak punggung pemuda di depannya karena berhenti tiba-tiba.

"Eh tapi—"

Rhiannon hendak memprotes namun segera dicegah sang pangeran.

"Aku tak ingin melibatkanmu lebih jauh, Putri. Aku sudah sangat berterima kasih sudah dibantu sejauh ini," lanjut Adrian mengakhiri dengan senyum ketulusan.

Rhiannon sejenak nampak terkesiap. Ia kemudian membalas dengan senyuman malu-malu. "Sama-sama, Pangeran, senang bisa membantumu. Kuharap kau bisa kembali tanpa masalah."

Adrian lantas mengangguk kemudian memberikan salam perpisahan dan berjalan mendahului sang putri untuk kembali menjelajah istana utama.

"Setelah sekian lama tidak melihat senyumanmu, begitu melihatnya lagi entah mengapa membuat jantungku berdegup kencang, Louis."

***

"Luar biasa, ini semua dinding berlapiskan emas! Menjadi penambang dinding istana sepertinya bukan ide yang buruk," gumam Adrian terkagum-kagum melihat eksterior istana yang sangatlah mewah.

List pada dinding begitu mengkilap sangat jelas jika itu terbuat dari emas murni.

"HEY KAU YANG DI SANA!"

Langkah kaki pemuda itu seketika terhenti.

"Mampus." Matanya terpejam dengan menggumam sumpah serapah.

"Apa yang kau lakukan di sana? Ayo berkumpul di aula, Panglima Terrson hendak memberikan arahan penting!" seru seorang prajurit yang tiba-tiba berada di belakang Adrian.

Iya, ide yang dimaksud oleh Rhiannon adalah dengan membuat pangeran itu menyamar menjadi prajurit. Memang bukan ide yang buruk, namun nyatanya ide itu riskan untuk mempersulit ruang gerak Adrian.

"Ya, aku akan menyusul, kau duluan saja," jawab Adrian dengan suara berat yang dibuat-buat.

Tanpa menaruh rasa curiga, prajurit yang mengajak mengiyakan dan pergi mendahului Adrian.

"Huh lega. Sepertinya aku harus lebih berhati-hati," gumamnya mengelus dada lega.

Ia kembali berjalan mengendap-endap sembari sesekali celingukan memantau situasi. Beberapa kali ia harus bersembunyi ketika terdapat pelayan atau prajurit yang berseliweran.

"Sekarang aku harus kemana?"

Kala Adrian kehabisan akal, ia tanpa sengaja mendengar sayup-sayup langkah kaki. Kembali ia sempat panik karena menyadari tak ada tempat yang bisa ia jadikan tempat persembunyian.

"Hey kau, Pengawal, kemari!"

Benar saja sosok yang baru saja muncul dari ujung lorong itu menyadari sosok Adrian. Adrian sudah tertangkap basah.

"APA KAU TULI? CEPAT KEMARI!!!" teriak wanita itu dengan amarah menggebu.

"Sial menapa harus dia yang memergokiku," gerutu Adrian gelisah.

Ia tak punya pilihan akhirnya ia bergegas mendekat dengan wajah tertunduk.

"Salam, Nyonya Selir Agung, ada yang bisa hamba bantu?"

Pangeran itu terlihat kikuk berakting sebagai prajurit. Meski begitu Jirea tak sama sekali menaruh curiga dengan gelagatnya.

"Bagaimana keadaan permaisuri? Apa dia sudah sadar?" tanyanya yang rupanya sedang mencari tahu keadaan sosok yang ia celakai beberapa waktu lalu.

Masih dalam posisi menghormat, prajurit yang merupakan sosok Adrian itu menjawab, "menurut perbincangan para pelayan hingga kini belum ada tanda-tanda Yang Mulia Permaisuri sadarkan diri, Nyonya."

Apa yang Adrian ucapkan hanyalah bagian dari akting. Ia tak tahu menahu sama sekali mengenai kondisi ibunda keduanya itu. Sebenarnya ia berusaha untuk mencari tahu kondisi sang permaisuri, namun karena ia dalam mode menyamar, ia tak bisa banyak bertingkah apalagi berbicara dengan orang di istana.

"Hemm, kalau begitu bisakah kau melakukan sesuatu untukku?" pinta Jirea membuat Adrian merasa was-was.

"Apapun printah nyonya akan hamba laksanakan," jawab Adrian berusaha memainkan prajurit yang selalu patuh.

Tangan wanita itu terulur memberikan sebuah botol kecil yang berisi cairan bening. Entah apa isinya yang pasti hal itu membuat Adrian semakin curiga.

"Teteskan cairan ini pada minuman permaisuri. Ini ramuan obat yang sengaja aku buat untuk kesembuhan permaisuri. Jangan banyak bertanya dan lakukan dengan senyap," lanjut Jirea dengan berbisik.

'Sepertinya ada yang tidak beres. Apa ibunda berniat meracuni Yang Mulia Permaisuri? Apakah dia benar-benar sudah gila???'

Saat Adrian hendak menerima botol kecil itu, tiba-tiba seseorang mengintrupsi. Seorang pria berpakaian khas bangsawan tiba-tiba berseru memanggil Jirea.

"Nyonya, gawatt!!!" seru pria yang berusia 40 tahunan. Mendengar hal itu Jirea kembali menarik tangannya dan menyembunyikan botol kecil tadi di belakang tubuhnya.

"Ada apa, Roger? Mengapa kau menggangguku lagi?" balas Jirea dengan kesal.

Pria itu nampak terengah-engah dengan wajah panik ia menjawab, "maaf, Nyonya, tapi ini situasi genting. Pangeran Adrian tidak berada di peraduannya."

Jirea terbelalak begitu juga dengan Adrian yang tengah menyamar menjadi prajurit.

"APA KAU BILANG?! CEPAT CARI ANAK ITU SAMPAI DAPAT!"

'Tamatlah riwayatku! Apa yang bisa kulakukan sekarang?'

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status