Share

Cerita Tengah Malam

“Daisy… Daisy! Sini, cepat!” tukas Rahmi mengajak Daisy untuk bergabung dengannya. Daisy yang saat itu tengah sibuk menuliskan laporan hasil analisa program sosial buru-buru menutup laptopnya dan memenuhi panggilan Rahmi yang sedang melongok di tepi jendela, sedang mengamati sesuatu yang sepertinya menarik. Mendengar kedua dara itu seru sendiri, Maria juga ikut penasaran dan menyusul Daisy dan Rahmi yang kini sudah mengintip ke arah luar jadi jendela kaca panjang di kantor yayasan.

“Eh, ada apa sih?” Maria ingin tahu.

“Tuh… lihat, Tama tadi berseru ke arah Jelita dan Baruno yang berpegangan tangan. Sepertinya mereka baru jadian, deh!” tukas Rahmi.

“Ah, yang benar? Mana?” Maria menyapu pandangannya ke halaman belakang. Daisy menunjuk ke satu titik yang dimaksud Rahmi. Kini mereka bertiga sedang menyaksikan Jelita, Baruno, dan Tama bersenda gurau di halaman belakang kantor yayasan dengan Baruno yang masih setia menggenggam tangan Jelita. Tama mulai memainkan gitarnya menyanyikan lagu romansa seolah ditujukan bagi Jelita dan Baruno.

“Wih, menang banyak tuh si Jelita!” Daisy nampak sedikit iri.

“Menang banyak bagaimana, bukannya mereka serasi? Kalau itu sih, sama-sama menang namanya!” seru Maria.

“Ih Maria, kamu ini bagaimana sih? Kamu tahu kan desas desus antara Jelita dan Pak Miko itu?” Daisy mulai memperkecil volume suaranya, lalu ia celingukan memastikan tidak ada yang memantau percakapan ini.

“Tahu, sih. Tapi aku tidak terlalu percaya. Coba deh pakai logika, kalau benar Jelita itu ada hubungan gelap dengan Pak Miko, mana berani dia pegang-pegangan tangan sama Baruno di kantor yayasan! Belum lagi, ini masih jam kerja, lho!” Maria memberi alasan atas pendapatnya semula.

“Ya ampun, polos banget sih kamu, Mar! Ya bisa saja, kan, itu kedok si Jelita biar tidak terlalu nampak punya hubungan gelap dengan petinggi yayasan. Justru kalau dia single terus, desas-desus itu semakin kencang. Ah, kamu ini. Tidak asik diajak bergosip!” Daisy sedikit kecewa karena ajakan bergunjingnya seperti ditolak mentah-mentah oleh Maria.

“Eh, tapi sepertinya Maria ada betulnya, deh. Mungkin saja Helena itu sebenarnya cemburu sama Jelita? Lalu dia mulai mengarang cerita ini. Maksudku, selama belum ada buktinya, kita tidak boleh berburuk sangka dulu!” dahi Rahmi mengernyit berpikir. Dalam benaknya, ia sibuk mencari benang merah akan desas-desus yang terlanjur beredar itu.

“Sepertinya Helena itu wanita tangguh yang tidak butuh lelaki, deh. Lagian Helena bisa mendapatkan Baruno kapanpun. Keluarga mereka saja saling mengenal dan sudah bersahabat sejak kecil. Kalau Helena mau, detik ini jugapun mereka sudah bisa berpacaran, kan?” Daisy menambahkan. Tanpa aba-aba, ketiganya terhanyut dalam pikirannya masing-masing, sepertinya ada titik-titik yang dapat mereka hubungkan untuk menyingkap cerita dan fakta di balik kabar kedekatan Jelita dengan Pak Miko ini.

“Eh, aku punya ide!” seketika Daisy tercetus ide gila untuk membuktikan kabar tersebut.

“Ide apa?” Maria dan Rahmi menjawab berbarengan.

“Rahmi, selama kamu mengikuti program sukarelawan di Desa Balarambe, kamu menyewa kamar kost, bukan? Aku dengar kamu kost di dekat rumah Pak Miko?” tanya Daisy yang dijawab oleh anggukan mantap Rahmi.

“Bagaimana kalau mulai malam ini kita pantau saja aktifitas Jelita di kamarnya!” Daisy menyatakan idenya dengan semangat.

“Hah, bagaimana caranya? Maksudmu kita menyusup ke dalam rumah Pak Miko? Ah, yang benar saja kamu!” Maria mengambil kesimpulan dengan tergesa-gesa.

“Duh, bukan begitu! Begini, aku tahu di mana letak kamar Jelita di rumah Pak Miko karena saat awal mengikuti program sukarelawan sejak dua bulan lalu, aku sudah sekitar tiga kali berkunjung ke rumah beliau. Kamar Jelita ada di bagian depan rumah Pak Miko, jendelanya menghadap ke jalanan. Malam ini kita menginap di kamar kost Rahmi, nanti malam kita mengendap-endap kita bersama-sama menguping di jendela kamar Jelita! Kalau ada apa-apa di dalam sana, pasti terdengar hingga jendela bagian luar!” Daisy dengan semangat menjelaskan ide gilanya itu.

“Ribet banget sih, sudah, deh! Anggap saja sebatas gosip belaka. Lagian membuang waktu saja! Urusan kita apa sih? Kita itu tidak lebih dari penikmat gosip. Masalah gosipnya benar atau tidak, sudah bukan urusan kita!” Maria menolak serta merta ajakan itu. Sesaat Maria memberi pernyataan itu, Rahmi perlahan-lahan dan dramatis menengok ke arah Daisy sambil membelalakan matanya.

“Hhhmmm…. Brilian!” seru Rahmi perlahan yang diikuti tawa jahil Daisy.

“Ya sudah, Mar, kalau kamu tidak mau ikut. Biar aku dan Rahmi saja. Hahaha! Siap-siap penasaran, ya! Hahaha.” Daisy merasa menang atas ide gila yang disebut Rahmi sebagai brilian itu.

“Aduh, kalian! Ya sudah aku ikut, deh. Jam berapa kita ke kost Rahmi?” Maria mengalah dengan ekspresi sedikit malas. Alih-alih menjawab Maria, Rahmi dan Daisy membalasnya dengan tawa dengan nada yang lebih jahil lagi.

**

Jam sembilan malam di hari yang sama, Maria dan Daisy sudah berada di kamar kost Rahmi. Selama mengikuti program sukarela, Rahmi menyewa sebuah kamar kost yang cukup luas yang terletak hanya terpaut tiga rumah dari rumah Pak Miko. Jadi bisa dibilang, Rahmi adalah tetangga Pak Miko untuk dua bulan ke depan.

Bangunan kost itu terdiri dari dua lantai. Untuk memudahkan akses keluar masuk, Rahmi memilih kamar kost di lantai dasar yang dekat dengan gerbang kost.

“Wah adem sekali ya kamar kost kamu, Mi!” Daisy terpukau melihat tatanan apik kamar kost Rahmi. Ia memberikan komentar seraya menaruh barang-barang bawaannya untuk semalam menginap di situ.

“Iya nih tdak seperti kamar kost aku, hanya sebilik kecil. Mana ibu kostnya jutek banget pula!” timpal Maria.

“Tahan dulu saja, Mar. Kita semua di Desa Balarambe ini kan hanya dua bulan saja selama mengikuti program sukarelawan. Hahaha.” hibur Rahmi.

“Kecuali kalau kamu akhirnya kecantol orang Balarambe ya mungkin kamu akan selamanya di sini. Hahaha.” gurau Daisy. Maria yang semula tertawa tiba-tiba berubah menjadi melengos mendengar candaan Daisy itu.

“Eh orang Balarambe ramah dan baik-baik, lho! Kebanyakan laki-laki di sini pekerja keras dan fisiknya kuat,” kata Daisy yang mendadak menjadi lebih serius.

“Ya tetap saja aku ingin pulang kembali ke Bandung, tidak mau menetap di Balarambe!” seloroh Maria yang memang berasal dari Bandung.

“Hahaha ya itu tadi maksudnya kalau misalnya kamu berjodoh dengan orang sini,” tawa Rahmi.

“Iya, seperti Jelita. Oops….” Daisy memasang mimik jahil dengan tujuan menarik minat mereka semua untuk bergunjing.

“Ih, kamu kan belum tahu jodohnya Jelita itu Baruno atau Pak Miko! Hahaha” Rahmi menimpali dengan gurauan yang lebih ngawur.

“Eh, tunggu! Aku punya pertanyaan. Kalian merasa janggal tidak dengan kepulangan Helena yang mendadak itu? Menurut kalian ada hubungannya tidak dengan Jelita dan Baruno?” Maria mulai penasaran.

“Lho, memang dari awal aku sudah mencurigai bahwa Helena itu cemburu. Buktinya saat mendaki, dia begitu marah kepada Baruno. Diantara kita semua, hanya dia yang terganggu dengan hubungan Baruno dan Jelita. Tapi sepertinya hal itu terlalu sepele untuk membuat Helena membatalkan keikutsertaannya dalam program sukarelawan ini.” perkataan Rahmi membuat mereka berpikir.

Dalam keheningan saat mereka bertiga masing-masing larut dalam pikirannya, Rahmi mengajak mereka untuk menonton bersama.

“Maria, Daisy, nonton, yuk! Nih aku ada film drama bagus,” ajak Rahmi sembari menyalakan laptopnya. Buru-buru Maria dan Daisy mencuci kaki mereka dan memasang posisi rebahan di atas Kasur Rahmi yang begitu empuk dan nyaman. Rahmi bergabung di tengah-tengah mereka berdua yang sudah duduk dengan agak berbaring di atas kasur seraya menarik selimut. Sebelum film dimulai, tak lupa Rahmi mengurangi intensitas cahaya lampu sehingga pencahayaannya menjadi temaram, seolah mereka hendak menyaksikan film di bioskop.

“Wah, jadi gelap, seperti di bioskop. Jadi kangen Jakarta, deh, nonton banyak film baru di bioskop. Hahaha.” Daisy berkomentar saat Rahmi membuat suasana kamarnya menjadi mirip dengan atmosfer bioskop. Tidak lama kemudian, mereka semua terdiam dan dengan seksama terhanyut dalam cerita di film itu.

Kisah dalam film itu terasa begitu menghipnotis mereka. Alurnya yang bagus itu sangat mempermainkan perasaan mereka bertiga yang asik menatap layar laptop. Mereka seolah dibawa masuk dan dilibatkan dalam cerita. Hingga tak terasa mereka telah menghabiskan lebih dari dua jam menyaksikan film itu hingga selesai.

“Hah sudah jam setengah dua belas malam? Ah yang benar saja?” Rahmi terkejut, menyadarai ternyata ajakan menonton film itu membuat mereka lupa waktu, padahal mereka belum menyusun strategi untuk melancarkan rencana mereka malam itu.

“Waduh, jadi gimana, dong? Atau kita tunda saja?” Maria merasa pesimis mereka dapat mengeksekusi rencana gila itu sekarang.

“Duh, girls, ayo kita tetap harus semangat demi mendapatkan berita yang akurat! Ingat, minggu depan aku dan tim angkatanku sudah pulang ke kota kami masing-masing. Jangan biarkan aku mati penasaran. Hahaha.” Tutur Daisy.

Akhirnya, tepat pukul dua belas malam, mereka bertiga mengendap keluar dari area bangunan kost Rahmi. Mereka sudah menyiapkan strategi singkat namun cukup rinci untuk segera menangkap bukti tanda-tanda perselingkuhan Pak Miko dengan Jelita. Rahmi yang paling mengerti keadaan area setempat akan berjaga di sekitar rumah Pak Miko, ia bertugas memberi aba-aba apabila ada orang yang sekiranya mencurigai gerak-gerik mereka. Daisy yang paling terbakar semangatnya ketika membahas desas-desus perselingkuhan itu akan memasang telinga di jendela kamar Jelita untuk memperhatikan percapakan atau aktifitas yang Jelita lakukan dari dalam kamar. Jika benar adanya perselingkuhan itu terjadi, siapa tahu di tengah malam seperti ini Pak Miko akan menyelinap masuk ke kamar Jelita dan melakukan hal-hal terlarang seperti yang sudah Daisy antisipasi sebelumnya. Sedangkan Maria berjanji akan merekam suara-suara mencurigakan yang mungkin akan terdengar dari luar jendela kamar Jelita.

Ketiganya berjalan dengan hati-hati. Pukul dua belas malam terasa amat sangat sunyi di Desa Balarambe. Tidak seperti di Jakarta atau kota besar lainnya, di tengah malam seperti itu, suasana desa begitu mencekam. Suara daun-daun bambu yang bergesekan akibat tiupan angin malam terkesan membawa hawa yang membuat bulu kuduk bergidik was-was. Namun rasa penasaran ketiga dara itu mengalahkan rasa takut mereka. Bunyi jangkrik yang saling bersahutan yang sesekali dibalas oleh lolongan anjing liar dari kejauhan mengiringi langkah kaki mereka yang sangat perlahan itu. Mereka berjalan menyusuri jalan dari bangunan kost Rahmi menuju rumah Pak Miko dengan celingukan dan jantung yang berdegup lebih kencang dari biasanya. Sesampainya mereka di depan rumah Pak Miko yang hanya berjarak tiga rumah dari rumah kost Rahmi, Daisy dan Maria tanpa ragu langsung melompati pagar tembok kecil yang berguna sebagai pembatas rumah Pak Miko dengan jalanan di depannya. Desa Balarambe terkenal cukup aman, masyarakatnya akur dan saling membantu serta tingkat kriminal dan kejahatan di sana tergolong rendah, maka mereka tidak memerlukan pagar tinggi yang memberi kesan angkuh dan penuh privasi untuk rumah mereka yang berdempet-dempetan itu. Hal ini sangat kontras dengan keadaan di kota. Daisy dan Maria tidak membutuhkan upaya dan tenaga ekstra untuk melompati pagar rumah Pak Miko itu. Mereka langsung menuju jendela terdekat dan memasang telinga mereka menempel pada jendela itu seraya memperhatikan suara yang ada di balik ruangan yang menurut Daisy adalah kamar Jelita.

Sebenarnya Daisy tidak mengetahui bahwa kamar Jelita sudah tidak lagi berada di bagian depan rumah Pak Miko. Akibat kondisi kesehatannya yang cenderung memburuk, Bu Miko, istri Pak Miko kini menempati kamar yang semula ditempati Jelita itu. Bukan tanpa alasan, kamar itu dinilai lebih luas dan senggang, serta udara pagi hari yang sejuk dan segar dapat dengan menyelinap masuk dari jendelanya yang berukuran lebih lebar dari pada jendela-jendela di kamar lainnya di rumah itu. Dengan menempati kamar itu, Pak Miko sekeluarga berharap Bu Miko dapat dengan lebih lega berada di kamar dan berefek baik bagi kesehatannya. Jelita sendiri sebenarnya sudah pindah ke kamar belakang. Tentu saja Daisy tidak mengetahui hal ini. Maka malam itu suara yang didengar oleh Daisy dan Maria yang sudah berhasil menempelkan telinga mereka di jendela yang lebar itu jelas bukan suara Jelita seperti yang mereka harapkan.

“Pa… kata dokter umurku sudah tidak la… lama… la… lagi. Uhuk uhuk…. ahh.. hhhmmm….” suara Bu Miko nampak terdengar lemah dan serak. Terdengar dengan jelas ada suara tangisan yang tertahan seolah-olah tak ingin pecah. Daisy dan Maria terkejut mendengar percakapan yang seharusnya tidak mereka dengar. Mereka saling bertatapan dengan mulut yang terbuka, takjub. Tanpa harus meminta persetujuan satu sama lain, Daisy dan Maria kembali memasang telinga tajam-tajam dari balik jendela.

“Ma… Ma… kita harus semangat, kita harus berdoa. Mama pasti sembuh, Ma. Tahan dulu sesak nafasnya, Ma!” kali ini jelas suara Pak Miko menyahut kalimat yang semula terlontar dari mulut istrinya yang nampak sedang sesak nafas. Tangis Pak Miko pecah sejadi-jadinya. Nampak suara seperti seorang wanita dewasa yang tercekat tenggorokannya mencoba merangkai kata-kata walau tak kuasa. Tangis Pak Miko semakin menjadi. Lalu seketika terdengar suara pintu kamar dibuka dengan terburu-buru. Daisy dan Maria sangat jelas mendengar semua itu.

“Bu Miko, Bu… bertahan, Bu! Sebentar lagi dokter Lisa datang kemari. Tunggu, Bu. Tahan dulu, ya. Tenang. Ayo tarik nafas, tarik…” Jelita berseru tanpa mengetahui ada yang menguping kejadian mencekam itu. Keberadaan Rani di dalam kamar itu diketahui Daisy dan Maria melalui suara isaknya yang sama kerasnya dengan suara tangis Pak Miko. Daisy dan Maria yang sedari tadi menguping itu nampak lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba ada cahaya lampu mobil yang mendekat ke arah mereka. Mobil itu terasa terus semakin mendekat seolah-olah hendak menabrak mereka. Menyadari ada mobil yang menuju ke rumah Pak Miko, Rahmi yang sedang berjaga-jaga di area sekitar situ mendadak berlari menuju tempat Daisy dan Maria bersembunyi.

“Daisy, Maria, pergi dari situ. Cepat!” Rahmi berseru. Ia lupa memperkecil volume suaranya yang justru menciptakan keributan yang tertangkap oleh telinga Jelita yang masih berada di dalam kamar untuk menenangkan Bu Miko. Jelita terperanjat, ia langsung berlari hendak keluar rumah akibat mendengar suara yang cukup ramah di telinganya itu. Jelita menggapai gagang pintu utama dan membukanya serta merta, dengan sedikit tergopoh-gopoh akibat terlalu terburu-buru, ia lari keluar rumah dan langsung mendapati Daisy dan Maria yang sedang bersiap untuk kabur, namun tertahan oleh tatapan marah Jelita. Mata Jelita terbelalak tak percaya dengan kehadiran Daisy dan Maria yang diam-diam sudah berada di halaman rumah Pak Miko. Daisy dan Maria yang tidak kalah kagetnya dengan hal itu langsung berdiri mematung. Lutut mereka terasa lemas seketika, dengan tenggorokan yang mengeluarkan sensasi panas dingin, serta mulut mereka yang belum terkatup sempurna. Di belakang mereka tampak sosok Rahmi yang memandang Jelita dengan mimik muka kikuk dan takut.

“Ada apa kalian di sini? Mau apa kalian? Ini sudah tengah malam, kalian ada perlu dengan Pak Miko? Kebutuhan yayasan? Keperluan program sukarelawan? Apa?” Jelita yang belum sepenuhnya paham dengan apa yang terjadi langsung memberondong mereka bertiga dengan pertanyaan. Sebelum mereka bertiga membuka suara, mobil yang sedari tadi bergerak mendekati rumah Pak Miko akhirnya berhenti sempurna di depan rumah sederhana itu. Seorang wanita dan seorang pria yang dari gerak-geriknya nampak tidak seperti pasangan suami istri turun dari mobil dengan tergesa-gesa dan tanpa permisi langsung masuk ke rumah Pak Miko.

“Hei, kalian bertiga di sini dulu. Aku mau masuk sebentar. Tunggu di sini, kalian berhutang penjelasan padaku. Kalau nanti aku keluar dan kalian sudah tidak ada di sini, besok aku akan menyidang kalian di kantor yayasan!” ancam Jelita kepada Daisy, Maria, dan Rahmi.

Kedua orang yang turun dari mobil itu tadi tidak lain adalah Dokter Lisa dan Dokter Budi. Keduanya merupakan teman kecil Pak Miko yang kini sukses menjadi dokter onkologi atau spesialis kanker di pusat kota yang berjarak satu jam perjalanan dari Desa Balarambe. Dokter Lisa inilah yang sempat Baruno ceritakan pada Jelita, yakni seorang dokter yang dalam kondisi Bu Miko di tengah vonis penyakitnya, malah berselingkuh dengan Pak Miko. Sayangnya, keluarga Pak Miko agak terlambat mengetahui hal itu, terutama Rani yang saat perjalanan outing ke Pulau Renjana menemukan pesan singkat di ponsel Pak Miko. Pesan singkat yang berisi kata-kata mesra itu terbaca oleh Rani saat ponsel ayahnya tergeletak manis begitu saja di atas Kasur. Rani yang saat itu sedang bersantai sambil merebahkan diripun tergugah untuk meraih ponsel Pak Miko yang terus bergetar. Sekonyong-konyong Rani terkejut bagaikan disambar petir di siang bolong. Dokter Lisa yang ia kenal lantaran kerap mengantar ibunya memeriksakan diri ternyata memiliki hubungan gelap dengan ayahnya. Kala itu tangan Rani bergetar dengan keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuhnya. Sebetulnya ia dan ibunya sudah mencurigai tingkah Pak Miko yang sedikit berbeda akhir-akhir ini, tetapi ia tak menyangka bahwa perlakuan ayahnya yang berbeda itu lantaran sang ayah memiliki kekasih gelap yakni seorang dokter yang memvonis penyakit kelenjar getah bening terhadap ibunya. Kejadian itulah yang membuat Rani menangis di atas kapal dan dipergoki Jelita.

“Sepertinya pembengkakan kelenjar getah bening di area sekitar dada semakin menjadi, sehingga menekan pernafasannya. Miko, apa tidak keberatan untuk kami bawa istrimu untuk pemeriksaan lebih lanjut?” tanya Dokter Lisa setelah memeriksa keadaan Bu Miko secara singkat namun teliti.

“Boleh Dokter Budi saja yang menangani Mama saya?” Rani secepat kilat merebut fokus pembicaraan dan ditatapnya Dokter Lisa dalam-dalam. Dokter Lisa gugup dibuatnya, dengan hati kecil yang menebak apakah Rani sudah mulai mengetahui hubungan gelapnya dengan ayahnya.

“Nanti kami bersama-sama akan mendampingi Mama kamu, ya, Rani,” kata Dokter Budi lembut sambil mengelus rambut Rani.

“Saya bilang saya hanya mau Anda, Dokter Budi! Saya tidak mau Dokter Lisa menyentuh Mama saya sejengkalpun!” Rani berteriak. Pak Miko menghela nafas panjang sambil menunduk. Dilihatnya istrinya yang terkapar lemah tak berdaya, peluh terus menetes di dahinya, nafasnya masih terengah-engah. Di sebelahnya berdiri sosok seorang dokter yang ramping dan cantik dengan kulit dan pakaian yang terawatt sedang menatap istrinya. Saat itu Pak Miko tidak dapat mengartikan maksud tatapan Dokter Lisa pada istrinya.

“Baik, kalau begitu, mohon Dokter Budi saja yang menangani istri saya,” tutur Pak Miko lemah tanpa memandang Dokter Lisa. Dokter Lisa terkejut mendengar hal itu. Jelita merasa kikuk harus berada di situasi yang membuat perasaannya campur aduk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status