Jantung Sally berdebar tidak karuan. Hidupnya sudah penuh dengan ketidak adilan tapi kenapa memilih suami pun ia tidak berhak.
Sally berusaha berdiri meskipun lututnya terasa lemas. Pemuda itu menghampirinya dan mengulurkan tangan.
“Namaku Ben.” Ucap pemuda itu menatap Sally.
“Sa-Sally.”
Dalam keluarga Sally hanya Briana dan Dania yang tersenyum bahagia melihat pemandangan yang tengah terjadi diantara mereka saat ini. Sedangkan Carol dan Raka sendiri nampak menyembunyikan kesedihan mereka.
Jangan ditanya bagaimana perasaan Sally saat ini melihat wajah pemuda yang akan dijodohkan dengannya. Pantas saja Dania tidak bersedia dijodohkan dengan anak dari konglomerat ini, ternyata pemuda ini memiliki kekurangan dari fisiknya.
Di wajahnya terdapat dua guratan bekas luka bakar bahkan hampir menutupi pipi juga bibirnya. Mungkin bagi Dania sosok pria dihadapan Sally saat ini layaknya seorang manusia berwujud monster menyeramkan. Namun saat mata Sally menatap mata Ben, entah mengapa jantungnya mulai menggila bahkan wajah menyeramkan Ben seperti tertutup dimatanya. Seakan mata itu mengingatkannya akan seseorang yang selama ini mengisi hatinya dan belum sedikitpun dihempasnya keluar meskipun tidak ada kejelasan dengan perasaannya itu.
“Jadi kamu mau kan menikah sama Ben, Sal? Meskipun kekurangannya secara fisik tapi Ben ini pewaris beberapa perusahaan Pak Samuel.” Ucap Briana tanpa memberi kesempatan Sally untuk mundur sekaligus menyadarkan Sally dari lamunannya itu.
“Iyah, aku mau nikah sama Ben.” Masih menatap mata Ben.
Pemuda itu juga menatap mata Sally dengan perasaan yang sulit diungkapkan.Ben tercengang mendengar jawaban Sally yang langsung setuju.
Katakanlah otak Sally sudah tidak waras, tapi mata itu seolah menghipnotis kesadarannya. Mendorong jiwa yang merindu seakan bertemu dengan pandangan yang selalu ia nantikan.
“Terima kasih kamu mau menerima putra kami jadi calon suami kamu, Sal. Betul apa yang dikatakan orang-orang kalau putri bungsu Pak Raka ini memang hatinya seperti malaikat.” Ucap Pak Samuel tersenyum lega.
Sedangkan Dania nampak merengut seolah tersindir dengan penuturan calon mertua Sally itu.
“Kalau begitu, kita bisa bicarakan masalah mahar kan, Pak.” Seru Briana tidak sabaran.
“Soal itu biar jadi urusan Ben dan Sally saja. Sebagai orang tua, kami mengerti kalau Ben dan Sally harus mengenal satu sama lain lebih dulu. Mungkin tahun depan baru kita langsungkan pernikahan mereka. Minggu depan kita datang kesini lagi untuk mengikat Sally sebagai tunangannya Ben.” Ucap Reina, ibu dari Ben.
Briana mendengus sedikit tidak suka dengan ide dari orang tua Ben itu, sepertinya ia harus lebih bersabar untuk mengeruk harta keluarga Ben. Kalau bisa ia juga rela dijadikan istri kedua Pak Samuel. Lihat saja kelakuan Briana setiap kali bertatapan mata dengan papa Ben, terlihat jelas sedang memancing perhatian pria paruh baya itu.
“Kalau begitu kita pamit dulu.” Ucap Reina yang menangkap gelagat Briana dan membuatnya kesal.
Ben menatap Sally kembali. “Boleh minta nomor kontak kamu? Biar kita bisa chat saling kenal?”
Sally mengangguk kemudian menyebutkan nomor kontak dirinya.
Setelah Ben dan para tamu pulang, Carol langsung menghampiri putrinya. Wajahnya jelas sekali tidak terima putrinya harus menikahi pria dengan wajah penuh luka bakar itu.
“Kamu yakin mau nikah sama, Ben?”
Briana yang mendengar pertanyaan Carol langsung naik emosinya. “Hei! Jangan coba-coba menghasut putrimu untuk tidak jadi menikah! Bagus ada konglomerat yang masih mau nerima anak haram kayak anakmu itu!”
Lalu mengusap lengan Sally dengan lembut, berbeda sekali dengan sikapnya Briana sebelum ini. Jelas saja karena mulai sekarang Sally adalah pohon uangnya.
“Sally sayang, Mama suka kamu menurut. Kamu tidak akan menyesal menikah dengan Ben. Muka rusak bisa dioperasi lagi kan, jadi kamu ngak usah khawatir.”
Kesal mendengar ucapan Briana, Carol akhirnya meluapkan kekesalannya. “Kalau pikiran Kak Bri seperti itu, kenapa ngak Dania saja yang dijodohkan dan Viko bisa kembali sama Sally. Ben punya banyak uang, ajak saja operasi plastis, beres kan.”
“Ma..” Sally mengusap punggung Carol yang benar-benar tidak terima dengan nasib putrinya.
“Heh, Tante tahu diri dong. Aku sama Ben itu jelas ngak selevel. Udah jelek, pakai bajunya norak. Mana mungkin aku gandeng cowok cupu begitu!” Seru Dania ketus sama sekali tidak memperlihatkan rasa hormatnya pada Carol.
Sedangkan Raka tidak bisa berbuat apapun, ia hanya bisa menatap sedih nasib putri sambung yang sudah dianggap sebagai putrinya itu.
“Udah ngakpapa, Mah. Aku capek mau mandi dulu yah.”
Sebelum Sally masuk ke dalam kamarnya, ia mengusap bahu Raka. Meskipun ia tahu Raka bukan ayah kandungnya namun Sally sudah menganggapnya seperti papa kandungnya sendiri dan rela berkorban untuk Raka. Tanpa pria ini, mungkin dirinya dan sang mama akan menjadi gembel jalanan.
Sally, Raka dan Carol selalu makan malam di dapur di tempat berbeda dengan Briana dan Dania. Mereka dilarang menyentuh meja makan mewah bertatahkan marmer murni itu sejak Raka sakit. Hanya kalau ada tamu yang datang atau orang kantor yang menjenguk Raka, mau tidak mau Bri mengijinkan suaminya di sana.
Carol dan Raka tidak hentinya menatap wajah putrinya yang terlihat tidak terganggu sama sekali dengan perjodohannya.
“Sal, kita masih bisa pergi dari sini. Uang tabungan Mama masih cukup buat kita ngontrak rumah. Papa juga keberatan kamu dijodohkan sama Ben. Kamu masih bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik lagi dari Ben.”
Sally tersenyum menanggapi kekhawatiran sang mama. “Aku ngakpapa kok, Mah. Lebih baik menikah dengan pemuda seperti Ben yang punya kekurangan daripada menikah dengan pria yang hanya melihat perempuan dari fisiknya saja.”
“Kamu yakin Ben itu orangnya baik? Kalian juga baru ketemu tadi kan. Jangan bilang karena mata dan suaranya mirip dengan Sean.”
Tebakan Carol benar sekali langsung mengena pada sasaran. Hal yang sama dirasakan Sally saat menatap mata Ben dan mendengar suaranya meskipun suara Ben lebih berat dari suara Sean.
Melihat sikap putrinya, Carol tahu kalau ucapannya benar. “Jangan jadikan Ben sebagai pelampiasan cinta kamu dari Sean, Sal. Kalau memang kamu memilih Ben, Mama harap kamu juga menerimanya sebagai seorang Ben dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bukan karena Sean.”
Sally tersenyum menanggapi penuturan dan dapat merasakan kekhawatirannya.
“Mama sama Papa jangan khawatir. Aku ngak kenapa-napa kok. Waktu lihat Ben, berasa nyaman aja terlepas dari mukanya yang terkena luka bakar. Kan Tante Bri juga bilang bisa bawa Ben nanti operasi plastik buat nyembuhin luka nya dia. Lagian juga baru tunangan, nikahnya masih setahun lagi. Masih ada kesempatan buat saling kenal dulu.”
Carol nampak menghela nafas masih belum ikhlas menerima keputusan putrinya. Namun Sally sudah dewasa dan ia hanya bisa menasehati putrinya, segala keputusan ada ditangan Sally. Carol percaya kalau Sally bukanlah gadis yang bisa membuat keputusan seenaknya tanpa berpikir jernih.
Di dalam kamar tidurnya, Sally melihat sinar di layar ponselnya berkedip tanda pesan masuk.
Sambil bersandar ia melihat pesan yang masuk.
“Hai, Sal. Ini nomorku Ben. Kamu catat yah.”
“Iya.”
Setelah itu Ben tidak lagi mengirim pesan balasan.
Sally memandang ke atas lanit-langit kamarnya, pikirannya berkelana memikirkan kisah masa lalunya dengan Sean. Tidak banyak namun setiap hal yang sempat dilaluinya bersama Sean selama setahun begitu berarti dan masih jelas teringat.
Ia mengangkat tangan kirinya, mengusap gelang yang sudah lama melingkat di sana. Tanda mata terakhir dari Sean saat mereka resmi berpacaran dulu. Gelang itu masih terlihat seperti baru karena Sally selalu merawatnya dengan hati-hati,
Sally mengambil ponsel miliknya kemudian dengan kesadarannya ia memotret tangan kirinya dengan langit-langit kamar sebagai alasnya. Kemudian ia memasukkan foto tersebut dalam sosial media miliknya dengan tulisan ‘Andai waktu boleh diulang kembali, mungkin aku akan meminta kejadian yang berbeda.’ Kemudian ia memasukkan lagu Dan Lagi yang dinyanyikan oleh Indra Sinaga dari grup Lyla.
Air mata Sally jatuh kembali terbuai oleh kata-kata dalam lirik lagu tersebut. Seakan menyiratkan kata yang terpendam darinya untuk Sean. Haruskan dirinya berhenti menanti sampai disini, meskipun hatinya masih tidak mampu untuk menghempas nama Sean dari situ.
Tangisan dalam diam Sally terusik dengan suara dering ponselnya. Tanpa berniat melihat siapa yang menghubungi, Sally langsung menggeser tombol hijau mengangkatnya.
“Halo.”
Mendengar suara serak Sally, sang penelpon pun kebingungan khawatir telah terjadi sesuatu pada gadis itu.
“Sally, kamu kenapa?”
Mata Sally membola mengangkat tubuhnya karena terkejut dengan suara di balik ponsel. Apakah ia tengah berhalusinasi karena sedang menangisi pria yang dirindukannya.
‘Suara itu!’
Ia mematung dengan detak jantung menggila seakan sosok Sean ada di balik suara itu.
Sally terkejut seolah Sean yang sedang bicara dengannya melalui telefon. Ia menatap layar ponselnya memastikan nama penelpon yang ternyata adalah Ben. Pasti Ben bertanya demikian karena mendengar suara parau Sally. “Oh, Ben. Maaf, aku pikir temanku yang lain.” “Kamu kenapa? Apa habis menangis? Apa kamu menyesal jadi tunanganku?” Tanya Ben. “Hah! Oh, bukan gitu. Hanya teringat masa lalu yang kurang menyenangkan saja makanya.” “Masih ada waktu kalau kamu berubah pikiran, Sally. Aku bakalan ngerti kok, cukup sadar diri sama wajah buruk rupa ku ini memang tidak mudah diterima semua orang.” “Bukan. Bukan begitu, Ben. Maaf kalau aku buat kamu tersinggung.” “Kenapa harus minta maaf? Kamu ngak salah kok. Malah aku senang ternyata ada cewek tulus yang masih mau nerima aku meskipun dijodohkan. Ehm, sebenarnya aku nelfon hanya ingin mulai kenal kamu saja. Bolehkan mulai sekarang kita telfonan begini, ngobrolin apa saja biar saling kenal.” “Iy-iyah, boleh kok. Ngak masalah.” Setelah bicara
Sally Minela seorang gadis sederhana, ia masuk di SMA yang sama dengan Sean, bedanya ia adalah siswi baru di sekolah itu.Sally tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Sejak lahir ia sudah tinggal dengan papa tirinya yang bernama Raka. Ternyata Papa Raka sudah beristri ketika menikah dengan mama nya yang bernama Carol. Waktu pindah ke rumah besar Raka, Sally baru berusia 3 tahun saja. Kehidupan Carol dan Sally bagai di neraka karena Briana bersikap semena-mena pada mereka.Tidak tahan dengan sikap dan perlakuan dari istri pertama Raka yang bernama Briana juga kakak tiri Sally yang bernama Dania. Carol memutuskan keluar dari rumah itu membawa Sally meskipun Raka tidak mau menceraikan Carol. Saat itu Sally baru naik SMP.Raka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Carol dan hal ini membuat Briana marah besar dan mengancam akan menyakiti Carol jika Raka masih berkeras memilih istri mudanya itu. Akhirnya Raka mengalah dan menjauhi Carol juga Sally.Sally sendiri yang sudah mengerti kal
Selalu bertemu dengan Sally setiap hari disekolah membuat dinding pertahanan Sean perlahan melemah meskipun Sally tidak berusaha untuk menarik perhatiannya. Sejak tabrakan kemarin wajah Sally selalu melekat dalam pikirannya mulai merusak dinding yang dibangunnya selama ini dari para kaum hawa. Sally termasuk anak yang cerdas, ia cepat sekali menerima pelajaran dari sekolah barunya. Otomatis Ceri sangat suka dengan menjadi sahabatnya yang punya otak encer dibanding dirinya yang lebih lemot dalam menangkap pelajaran. Ceri tidak bodoh bahkan ia termasuk dalam sepuluh besar peringkat kelas, hanya saja ia perlu waktu lebih banyak dari orang lain untuk menangkap pelajaran yang diajarkan oleh guru.. Sally dan Ceri sering pulang berdua, kebetulan rumah mereka satu komplek. Tidak heran mereka cepat menjadi sahabat, mereka selalu bertemu dan bermain baik di rumah ataupun saat di sekolah. Suatu hari Ceri sakit dan ijin dari sekolah, terpaksa Sally pulang sendiri sambil memasang wajah cemberut
Sally merutuk dalam diamnya karena kebodohan perkataan yang terdengar seperti sedang merayu Sean. Terlebih lagi rona kemerahan yang tidak bisa disembunyikan dari wajah Sally membuat Sean merasa gemas dengan sikap gadis yang dirasa berbeda dari teman-teman lainny. Belum selesai berkutat dengan rasa malu, jawaban Sean malah semakin membuatnya salah tingkah tapi ia pun merasa penasaran apa maksud dari ucapan Sean barusan. "Kenapa harus di depan aku dan Mark saja? Memangnya ada daftar nama orang yang boleh melihat tawa? Kita kan tertawa karena merasa senang dan itu ngak bisa dipaksain." Seru Sally mengeluarkan pendapatnya. "Tidak apa-apa. Oh iya, kalo kamu punya kesulitan pelajaran, kamu bisa tanya ke aku. gini-gini otakku encer juga hahaha." Sadar dirinya juga keceplosan, Sean mengalihkan ucapannya daripada menjawab cecaran pertanyaan Sally yang membuatnya salah tingkah sendiri sambil menggaruk kepalanya. "Dih, pede sama sombong kadang beda tipis loh. Tapi boleh juga nanti kalo aku bin
Sally teringat dengan peristiwa dimana Sean memang pernah meminjam ponselnya dan memasukan nomor kontak Sean ke sana, tapi yang tidak Sally ketahui adalah ternyata Sean memasukkan nomornya ke dalam daftar kontak ponsel Sally. Bodohnya lagi Sally tidak mengecek ponselnya setelah Sean meminjamnya saat itu. "Yah kamu juga ngeselin, ngapain pake nama my boy friend segala simpen nomor kamu di hp aku. Ngagetin aku aja tahu ngak." Ketus Sally merasa malu sendiri memikirkan apa maksud Sean memakai nama itu. "Kan memang aku boy friend kamu, coba diaartiin ke bahasa Indonesia nya deh." Jawab Sean dengan entengnya tanpa merasa bersalah, lebih tepatnya pura-pura polos. Merasa terjebak dengan respon Sean, rasa malu gadis itu semakin menjadi. Emosinya juga naik karena Sally sedang kesal dengan kelakuan kakak tirinya tadi. “Loh, kok malah diam. Coba diartiin, perlu aku kirim kamus?” Goda Sean bahkan terdengar suara kekehan pria itu dan membuat mood Sally semakin kesal saja. "Teman laki-laki. Ud
Tanpa terasa semester pertama tahun ini berakhir, setelah pengambilan rapot semua murid libur dan masuk kembali 2 minggu kemudian. Sean dan Sally juga semakin dekat dan mulai saling nyaman bahkan sesekali Sean berani meminta panggilan video dengan alasan rindu pada Sally sambil bercanda. Sedangkan Sally hanya bisa menerima perlakuan Sean sambil berusaha menahan diri untuk tidak terjebak dalam perasaan lebih dalam lagi pada Sean.Mama Sean berencana membawa Sean ke Amerika untuk liburan dan menikmati salju disana sekaligus melihat universitas di salah satu kota tempat kampus kenamaan yang memang menjadi cita-cita Sean. Samuel, papa kandung Sean mendukung keinginan putra satu-satunya itu meneruskan kuliahnya di universitas pilihan Sean.Sebagai anak dengan berbagai kemudahan fasilitas, Sean selalu menuruti nasihat kedua orang tuanya. Namun tetap saja masih ada kekosongan di hati Sean meskipun dirinya hidup dalam gelimang harta sang ayah.Sean sendiri sudah mengiku
Sally benar-benar bingung harus menanggapi sikap Sean seperti apa. Bersahabat tapi perlakuan Sean semanis gula. Tapi pacaran juga bukan karena Sean tidak pernah mengungkapkan rasa sukanya meskipun sudah beberapa bulan mereka selalu berkomunikasi dengan cara yang sedikit kurang lazim.“Halo… Sally… Kamu masih disana kan?”"Eh iya! Aku bingung sama kamu Sean.”“Bingung kenapa?”“Maaf kalau pertanyaan aku ini agak berani ke kamu. Sebenarnya aku ini siapa buat kamu sampai kamu bilang begini sama aku? Menurut aku kamu juga ngak berhak untuk ngatur aku berteman sama siapa juga kan. Aku juga sama ngak berhak ngatur kamu soal berteman."Sally memberanikan diri memancing Sean untuk memperjelas hubungan mereka. Rasanya aneh saja dia tidak boleh bergaul dengan cowok lain padahal dirinya dan Sean bukan sepasang suami istri. Meskipun mereka pacaran pun Sally merasa masih berhak untuk menentukan dengan siapa dia
Sean menatap tajam wajah Sally. Terlihat dari caranya menatap Sally memberitahu kalau ia tidak suka Sally terus membahas tentang Mira yang memang tidak ada hubungan dengannya sama sekali. "Mau aku buktikan kalo gosip itu salah?" Tantang Sean tersenyum membuat Sally bergidik dengan jantung berdebar antara merasa bersalah juga darahnya berdesir bertatapan sedekat ini. "Ish, apaan sih kamu. Minggir…" Sally mendorong Sean mundur, kulit putih wajahnya berganti kemerahan membuat Sean tersenyum gemas melihat reaksi gadis ini. Untung saja pelayan restoran masuk membubarkan obrolan mereka yang berakhir dengan rasa canggung Sally. Sambil menikmati makanan Sally diam sambil mendengar Sean banyak bercerita tentang dirinya. Inilah yang dimaksud hubungan tidak lazim Sean dengan Sally. Percakapan setiap malam via telepon itu selalu didominasi dengan Sean yang lebih banyak bercertita. Padahal di sekolah sikap keduanya seperti orang yang tidak terlalu dekat meskipun belakangan ini mereka sering mak