Share

Kecemburuan semerah darah

Happy Reading.

Seminggu berlalu sejak hilangnya Damara. Lycus selalu membantu menyiapkan semua keperluan Damara, dan itu yang membuat Arron tak tenang.

"Bagaimana bisa, seorang gadis dari desa kecil. Tak bisa kalian tangkap!" Pimpinan utama, ayah Arron. Tuan besar Charon Ferry Mycena. Tegah emosi.

Hadir juga ayah dan ibu dari Damara.

"Aku akan mencarinya sendiri!" putus Arron tak tahan lagi.

***

Pasar Helike. Yang penuhi prajurit yang mencari Damara, justru melewati gadis yang mereka cari beberapa kali.

Lycus hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat betapa bodohnya prajurit yang utus Arron.

"Lapar, nih. Biar tidak pusing selama mencari!" beri Damara pada para prajurit. Menyodorkan buah-buahan segar, yang ia beli dengan uang Lycus.

"Terima kasih."

"Sama-sama. Semoga kalian berhasil menemukan gadis sialan itu."

"Ya, semoga ia dihukum penggal karena telah menyusahkan kami."

Damara mengangguk-anggukan kepalanya setuju. "Hm, lebih bagus digantung dan dikuliti. Kan, kasihan kalian sampai kelelahan." saran Damara.

"Ya. Benar, kami akan memberikan surat rekomendasi hukuman mati."

Semua pengunjung, prajurit dan pedagang akhirnya membuat petisi. Dan ribuan surat, yang akan mereka kirim ke gedung utama nantinya.

Lucunya. Damara juga berpartisipasi, membagikan lembaran permohonan hukuman.

"Kau juga, Lycus. Di isi dengan benar!"

"Senang bermain-mainnya?" Goda Lycus sembari mengulas senyum, mengambil tapi merobeknya.

"Senang!"

"Kau bisa dihukum mati sungguhan!"

"Itu tidak tertulis dalam masa depanku."

"Pede sekali, temanku ini!" Lycus menggandeng leher Damara. Sebelum berjalan layaknya sahabat dekat.

Sedang para prajurit hanya terharu. Menganggap kalau Damara, adalah adik Lycus—meski pernah beredar rumor, kalau dua saudara itu tidak akrab satu sama lainnya.

Dari antara orang-orang. Seorang pria membungkam keributan, dengan langkah pelan. Ia mendekat ke arah Lycus dan Damara yang juga ikut berhenti karena merasa sekitar mereka terlalu senyap.

"Damara!"

PLAKKK!

BUKH!

Satu tamparan lepas dari tangan Arron pada Damara. Bersamaan dengan Lycus yang terlempar, menabrak tembok dengan sangat kuatnya.

"Kau menamparku?"

"Lantas, kau akan menangis?"

Hikssss!

Damara menangis, tapi bukan karena tamparan Arron. Tapi karena ia berada di tempat umum. Semata-mata ingin membuat opini publik yang buruk akan sikap Arron!

"Kau membuatku marah!" ucap Arron pelan, sambil menghapus air mata Damara yang tak ingin ia lihat. Meski hanya sandiwara. "Berhentilah menangis!"

Memeluk Damara, Arron menggandeng pinggang ramping gadisnya itu. Sebelum melesat kembali ke kediamannya, gedung utama bagian barat.

Para prajurit yang melihatnya, akhirnya menghembuskan nafas mereka legah.

"Tunggu, bukankah wajah gadis dalam pelukan Tuan Arron itu sangat tidak asing?!"

"Mungkin karena kita kelelahan saja."

"Benar."

Di kamar yang disiapkan khusus untuk Damara, Arron menurunkan gadis nakalnya itu dengan perlahan. Tapi Damara tak berhenti menangis.

Arron marah, tapi tangannya tak bisa terangkat lebih tinggi lagi. Meski ia tahu kalau Damara tak mungkin punya hubungan apapun dengan Lycus.

"Berhentilah menangis!"

HUAAAA!!!

Tapi Damara malah semakin menjadi-jadi, meski bohong. Ia suka saat melihat Arron bersikap layaknya kekasih yang baik, tapi ia juga tak akan lupa siapa Arron dan apa yang telah Arron perbuat pada istri-istrinya yang menghilang secara misterius.

Dan. 'Aku tidak ingin menjadi salah satunya!'

Cup!

DEG! mata Damara melebar, saat Arron mencium bibirnya.

Mendorong. Damara mundur. "Apa yang kau lakukan?"

"Menenangkanmu!"

"Menenangkanku?" ulang Damara kesal sendiri. "Jawaban bodoh macam itu?"

"Aku belajar darimu."

Terdiam. Damara muncul saat Arron hendak menciumnya kembali. "Sudah tidak menangis, kau tidak perlu melakukan itu lagi."

Damara mengerutkan keningnya menatap Arron. "Kamu Arron kan?"

"Maaf!"

"Tunggu, sepertinya aku sedang bermimpi!"

Arron muncul tepat di depan Damara. "Mau membuktikannya?" dengan senyuman smirk, Arron menarik dagu Damara. Mendekat padanya.

Tapi Damara malah membuang wajahnya, dan malah memeluk Arron dengan eratnya. Menempel seperti siput.

"Damara lepas!"

"Kita belum menikah, jangan bunuh aku, jangan sentuh aku."

Arron tersenyum senang. "Iya. Kalau kamu tidak menghilang lagi!"

"Aku tidak mau menikah juga!"

"Boleh."

"Janji ya. Tidak boleh diingkari!" lepas Damara, tersenyum sumringah pada Arron yang hanya diam menatap netra matanya intens.

Kemudian. Arron menggenggam tangan Damara, lalu mengecup singkat. "Iya."

Sedang di balik pintu, seorang pelayan berusia cukup tua. Justru terlihat sangat marah, sampai-sampai. Kuali yang berisikan air mawar itu berubah menjadi semerah darah.

Bersambung….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status