Share

Tidak Pantas Hidup

"Di mana kamu, Abia?!"

Teriakan bernada amarah itu membuat Abia menahan napas. Saat ini, dia sedang bersembunyi di balik pohon besar belakang rumahnya.

Setelah mendengar bahwa Bisma akan menjualnya pada seorang pria tua, perempuan itu mencoba kabur. Sayangnya, tepat setelah berhasil keluar melalui jendela kamar, Bisma juga masuk.

Abia sempat mengambil ponsel dan menelepon Arya---satu-satunya orang yang terlintas di kepala. Sayangnya, benda itu jatuh entah di mana saat Abia tersandung.

"Saya tahu kamu ada di sini. Ponsel kamu ada di saya," ucap pria itu lagi dengan suara yang semakin dekat dari tempat Abia bersembunyi.

Abia membekap mulut. Mencoba meredam suara deru napasnya yang tidak beraturan. Kakinya gemetar ketakutan. Lebih takut ketimbang saat ia menghancurkan mobil Arya.

Abia pikir, waktu itu adalah saat paling mengerikan di hidupnya. Rupanya, menyadari Bisma---Ayahnya sendiri malah berniat menjual tubuhnya jauh lebih menakutkan.

Krek!

Terlalu sibuk mengontrol tangisnya yang hampir meledak karena takut, Abia tidak sadar kakinya malah menginjak ranting. Bunyi itu tentu saja membuat Bisma segera berlari mendekat.

"Di sana ternyata kamu!" teriak Bisma seolah predator yang siap menangkap mangsanya.

Abia kontan berlari sekuat tenaga. Tidak peduli lututnya belum sembuh betul sehabis kecelakaan. Darah yang merembes dari siku juga lututnya sehabis tersandung juga tidak Abia pedulikan.

DUG!

"Apa kau merasa punya hak untuk kabur, huh?! Apa kau pantas melakukan ini?" Tendangan keras dilayangkan Bisma pada punggung Abia.

Perempuan itu tentu saja tersungkur. Belum sempat bangkit duduk, tangannya malah diinjak dengan keras.

"Argh!" jerit Abia kesakitan.

Sungguh, jika tahu dia akan berakhir seperti ini, Abia tidak akan pernah datang ke rumah Ayahnya lagi. Abia tidak tahu Bisma akan berbuat sejauh ini padanya.

"Apa kau kesakitan? Ini bukan seberapa. Kau menyakitiku lebih banyak. Kau merenggut semua yang kupunya. Kau seharusnya mati, Sialan!" geram Bisma sambil terus menendang setiap bagian tubuh Abia yang mampu ia gapai.

Abia terbatuk-batuk. Mulutnya bahkan mengeluarkan darah. Pandangannya sudah memburam tapi Bisma terus memberinya tendangan-tendangan yang lain.

Bisma sudah gila. Ayahnya pasti sudah gila.

"Am-pun, Ayah. Ampuni Biya ...." Abia berucap di sela rintih kesakitannya.

Dengan pandangannya yang sudah hampir menggelap, perempuan itu dapat melihat kaki Bisma berniat menginjak kepalanya. Abia sudah berpikir dia akan mati.

BUGH!

"Beraninya kau melakukan itu, Brengsek!"

Tapi, seseorang menerjang Bisma. Ayahnya jatuh ke tanah dan dipukuli dengan brutal. Menyadari seseorang yang menolongnya, tanpa sadar Abia tersenyum lega.

Arya datang. Pria itu menyelamatkannya.

***

Begitu membuka mata, langit-langit kamar berwarna putih susu menyapa netranya. Abia mengerjap karena silau.

"Kau sudah bangun?" Suara seseorang di sampingnya membuat Abia menoleh.

Arya duduk di sana. Dengan mata mendelik antusias. Ekspresi yang tidak pernah Abia lihat dari wajah kaku CEO Star Group itu.

"Kenapa kau diam saja? Apa tubuhmu sakit? Perlu kupanggilkan dokter lagi?" tanya pria dengan kaos hitam polos lengan pendek itu panik.

Abia menggeleng pelan. Ingatannya kembali terlempar pada kejadian sebelum dia kehilangan kesadaran.

Jadi, Arya benar-benar menolongnya, ya? Pria itu menyelamatkan hidup Abia.

"Terima kasih." Dari sekian banyak hal yang ingin ia ucapkan, hanya kalimat itu yang mampu Abia suarakan.

Arya naik ke sisi ranjang tempat Abia berbaring. Perempuan itu bahkan belum sadar kalau saat ini dia berada di rumah Arya, tepat di kamar pria itu.

Abia segera bangkit duduk meski tubuhnya masih sakit. Tanpa diduga, Arya malah menariknya ke dalam dekapan.

"Syukurlah kau selamat. Seharusnya aku datang tepat waktu tadi." Abia tidak tahu kenapa sikap Arya mendadak sebaik dan semanis ini.

Tapi, perasaan lega juga syukur di hatinya seolah akan meledak. Membuat Abia mulai menangis keras di dada bidang pria itu.

"Saya tahu saya anak pembawa sial. Karena saya lahir, Ibu dan Kakak saya meninggal. Tapi, saya tidak pernah berpikir Ayah saya akan melakukan itu pada saya," adu Abia sambil mencengkeram baju Arya erat.

"Saya juga tidak pernah meminta dilahirkan, Pak. Tapi, apa saya memang tidak sepantas itu untuk hidup?" tanya Abia di sela sesenggukannya.

"Jangan mengatakan itu! Kau jauh lebih pantas dibandingkan pria itu. Seharusnya dia yang mati, seharusnya aku membunuhnya tadi." Mendengar cara pria itu mengatakan hal tersebut saja, Abia sadar ada nada amarah di sana.

"Sekarang istirahatlah!" Arya mengurai pelukan. "Jangan pikirkan apa-apa lagi. Tidurlah yang nyenyak, jika kau butuh sesuatu, segera panggil aku!" sambung pria itu.

"Tapi ... kita ada di mana, Pak?" tanya Abia begitu Arya hendak berjalan keluar kamar.

"Kau di rumahku, dan ini kamarku. Jadi jangan takut, buat dirimu nyaman. Ada banyak penjaga dan pembantu di sini. Jika kau butuh sesuatu, kau bisa panggil mereka atau aku."

***

Jam menunjukkan pukul 12 malam. Tapi, Arya tidak bisa tidur. Bayangan wajah Abia memenuhi pikirannya. Membuat pria itu akhirnya bangkit dari berbaringnya karena gusar.

"Dad, kenapa kau terus bangun?" tanya Neo---putranya sambil mengucek mata.

"Apa Daddy membangunkanmu? Maaf, tidurlah lagi!" sahut Arya sambil mengusap puncak kepala bocah sipit itu.

"Apa Daddy mengkhawatirkan perempuan yang ada di kamar Daddy?" tanya bocah dengan rambut agak pirang itu tepat sasaran.

Arya mengangguk jujur. "Iya. Daddy ingin melihat keadaannya," jawab pria itu jujur.

"Kalau begitu lihat saja! Aku bisa tidur sendiri. Biasanya juga aku tidur sendiri." Neo menyahut santai.

Arya tersenyum---sesuatu yang pasti mengejutkan Abia jika perempuan itu melihatnya.

"Yasudah, Daddy ke sana dulu. Kau tidurlah!" titah Arya sambil membetulkan letak selimut putranya sekaligus memberikam kecupan singkat di kening.

Beberapa saat kemudian, pria itu sudah melesat menuju kamarnya. Tempat di mana Abia tertidur.

Begitu membuka pintu dengan sangat pelan dan hati-hati, wajah terlelap perempuan itu menyambutnya. Arya duduk di sisi ranjang sambil memperhatikan wajah lelah itu dalam diam.

"Pasti hidupmu begitu berat. Apa aku bisa meringankan bebanmu?" gumam Arya sambil mengusap pipi Abia lembut.

Dulu, Arya pernah berada di titik terendah hidupnya. Tepat setelah putra pertama mereka lahir, istrinya menceraikannya dengan alasan tidak sanggup memiliki anak.

Entah itu alasan untuk pergi, atau memang mantan istrinya yang tidak bisa menerima seberapa miskin Arya di masa lalu. Yang jelas, hari itu pikiran Arya buntu.

Dengan mengenakan hoodie hitam, masker juga topi berwarna senada, Arya nekad berniat membuang Neo kecil. Tapi, seorang perempuan dengan baju putih abu penuh coretan menghentikannya.

Perempuan berambut pirang yang sepertinya baru lulus SMA itu, menendang punggung Arya yang hampir membuang bayinya ke sungai.

"Apa dia bersalah? Apa dia meminta dilahirkan? Apa dia tidak pantas hidup? Kenapa kau tidak bisa menerimanya? Kenapa kau tidak membiarkannya hidup? Dia juga pantas hidup. Dia pasti juga ingin hidup," racau perempuan itu sambil menangis.

Siapa yang tahu, racauannya menyadarkan Arya. Membuat pria itu bangkit dan hidup dengan lebih baik hingga detik ini.

Perempuan itu mungkin tidak mengenalinya. Tapi, Arya ingat betul bagaimana ia menangis keras sambil berjongkok. Dan tanpa ia tahu, Arya sudah menyukainya sejak saat itu.

Perempuan itu adalah Abia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status