Setelah mengetahui tentang Nara, Bintang segera bergegas menuju rumah sakit. Sampai di sana, pria itu malah melihat pertengkaran serius putri sulungnya dengan sang calon suami.Bintang yang bingung tentu saja segera mendekat. Dia juga berniat melerai pertengkaran mereka apapun alasannya begitu melihat Naya mendorong Neo hingga terjengkang.Pasti Naya menyalahkan Neo atas dropnya sang adik. Hal ini lah yang Bintang ketahui menjadi kekhawatiran utama Naya sejak beberapa hari lalu.Sejak tanggal pernikahannya dengan Neo sudah diputuskan. Dengan kesepakatan tidak ada yang boleh membocorkan tentang berita itu pada Nara kecuali Naya sendiri nantinya.Tapi, sepertinya Neo tidak tahan dan menceritakannya pada Nara. Oleh karena itulah putri bungsunya berada di sini saat ini.Tapi, begitu mendekat dan menangkap beberapa obrolan aneh yang diperdebatkan Neo dan Naya, pria itu mendadak kebingungan. Neo dan Naya terus menyebut kehamilan, menggugurkan, dan pernikahan mereka yang harus dibatalkan.Ap
Setelah menyelesaikan administrasi, Nara dan Bintang pulang ke rumah. Karena merasa muak di rumah sakit dan bilang sudah merasa lebih baik, Bintang setuju untuk membawa perempuan itu pulang."Kak Naya ke mana, Yah? Kenapa dia tidak pernah menjengukku?" tanya Nara begitu teringat sang Kakak tidak pernah menemuinya sejak dua hari yang lalu."Ayah juga tidak tahu," jawab Bintang jujur tanpa berani menatap wajah sang putri.Sejujurnya, perasaan bersalah menyusup di dasar hatinya begitu menyadari apa yang sudah ia lakukan pada putrinya. Tanpa memikirkan hal lain dan terbawa emosi, Bintang menampar Naya. Tanpa mau mendengarkan alasan putrinya, Bintang memukul perempuan itu. Sekarang, bagaimana Bintang harus memasang wajahnya di depan Naya? Dia benar-benar merasa bersalah dan malu."Apa Kak Naya tidak berani menemuiku karena merasa bersalah atas pernikahannya dengan Neo?" tanya Nara murung."Mungkin saja, selama ini dia juga menentang keras orang-orang memberitahumu tentang ini. Dia takut k
Pernikahan Naya dan Neo benar-benar diadakan hari ini. Kabar tersebut tentu saja menggemparkan banyak orang. Tak terkecuali para pecinta bulutangkis sekaligus penggemar berat Naya.Sudah bukan rahasia lagi kalau perempuan dengan nama 'L. Kanaya' di jersey kebanggaannya itu adalah atlet yang berbakat. Dia terkenal brilian dan punya masa depan cemerlang.Siapa sangka di usianya yang terbilang masih sangat muda itu, Naya memutuskan untuk menikah. Tentu saja itu baru kejutan awalnya, hal paling parahnya, perempuan itu mengundurkan diri dari pelatnas."Wartawan terus memaksa masuk dan meneleponku dari kemarin. Sejak berita tentang pernikahan kita tersebar, entah mereka mendapat nomor teleponku dari mana." Neo bercerita setengah mengeluh.Pengantin baru yang kini terjebak di dalam kamar hotel bernuansa romantis itu, duduk bersisian. Tidak tampak canggung atau berniat melakukan sesuatu. Mereka hanya duduk dan berbincang selayaknya sahabat."Maaf, seharusnya pernikahan ini memang tidak dipubl
Begitu masuk ke dalam rumah megah Neo, Arya dan Abia, mertuanya menyambut dengan senyum hangat. Tentu saja Naya segera membalas dengan senyuman yang sama lebarnya, meski pasti terlihat canggung dan kaku."Ayo Mama antar ke kamarmu!" ajak Abia tanpa basa-basi sambil menggiring Naya menuju kamar sang putra yang kini menjadi milik mereka berdua."Aku masuk dulu, Om," pamit Naya pada Arya---Ayah mertuanya yang diangguki pria galak itu singkat.Begitu Naya dan Abia perlahan menghilang ke lantai atas, Arya dan Neo saling berpandangan sejenak. Arya yang melihat ekspresi pasrah dan putus asa putranya, kontan mendengkus sebal."Jangan pasang wajah sejelek itu! Ini semua keputusanmu, Daddy tidak pernah memaksamu untuk menikah, kan? Jadi ... sekarang kau hanya harus menerima Naya," tegur Arya apa adanya yang justru semakin membuat wajah Neo bertambah lesu."Aku tahu, Daddy tidak perlu menjelaskannya. Tapi ... setelah anak Naya lahir, kami sudah merencanakan untuk segera bercerai. Jadi aku sediki
Begitu masuk ke kamar, Naya mendapati wajah Neo yang mendadak terlihat murung. Perempuan dengan tangan memegang senampan berisi makan siang itu, tentu saja merasa sedikit kebingungan.Kenapa suaminya terlihat murung secepat itu? Bukankah tadi masih terlihat baik-baik saja? Atau Naya tidak terlalu memperhatikannya?"Kau kenapa? Kelihatannya murung sekali," tanya Naya penasaran sambil meletakkan makan siang milik dia dan Neo di atas nakas."Hah? Tidak apa-apa." Neo menjawab cepat.Pria itu melirik pada nampan berisi makanan di atas nakas. "Itu makan siang, Bunda menyuruhku untuk makan siang bersamamu di kamar saja." Naya berucap cepat, mencoba menjawab pertanyaan di benak Neo yang belum tersampaikan.Neo menjawab dengan oh singkat. Naya menyodorkannya sepiring nasi beserta lauk yang diterima pria itu dengan cepat. Dia memang lumayan lapar sekarang."Mana ponselku? Apa kau pernah melihatnya?" tanya Naya begitu duduk di sisi ranjang yang lain sambil bersiap untuk makan."Itu, di dekat ban
Jam menunjukkan pukul 2 siang saat sang Ayah berkunjung ke rumah Neo. Tepatnya rumah baru Naya juga. Pria itu beralasan ingin bermain catur dengan Arya---sang ayah mertua, dan Naya mempercayai saja.Padahal, nyatanya Bintang datang hanya untuk melihat keadaan sang putri. Apa perempuan itu betah di rumah suaminya juga apakah perempuan itu baik-baik saja. Bintang hanya ingin mengetahui hal tersebut."Kenapa kau tidak mengajakku main catur daritadi?" tanya Bintang heran begitu pria itu hanya menyuguhkan kopi dan makanan ringan di atas meja ruang tengah."Kau tidak perlu terlalu banyak bersandiwara. Jika memang ingin melihat keadaan putrimu, kau bisa datang kapan saja. Jangan gunakan alasan murahan seperti ini lagi!" tegur Arya to the point.Bintang terkekeh kikuk. Memang lumayan susah untuk berbohong pada pria yang juga rekan bisinis sekaligus sahabatnya ini. Pria galak ini terlalu jujur dalam menghujatnya."Aku masih agak malu pada Naya. Setelah menamparnya waktu itu, aku masih merasa b
"Kamu sudah siapkan materi 'meeting' besok pagi?" Pria dengan netra cokelat terang yang tertutup kacamata itu bersuara.Abia mengangguk. "Sudah, Pak. Hanya tinggal dicetak saja." "Berarti belum. Segera selesaikan hari ini!" titah pria dengan tulisan 'Chief Executive Officer' di meja tersebut tegas.Abia menghela napas berat. Oh ayolah! Ini sudah sangat sore. Mungkin, hanya tinggal mereka berdua di kantor berlantai sepuluh ini. Dia tahu gajinya cukup besar, tapi dia tidak pernah berpikir akan lembur setiap hari."Ini sudah hampir malam, Pak. File-nya bisa saya kirim ke Bapak dulu jika ingin diperiksa. Meeting-nya juga besok sore, jadi masih banyak waktu," jelas Abia hati-hati."Lalu? Apa karena masih banyak waktu, kamu boleh lalai? Apa perusahaan ini menggajimu hanya untuk itu?" tanya pria yang kini melepas kacamatanya dengan nada sarkas.Abia menggeleng cepat. Beberapa saat kemudian membungkuk hormat. "Maaf, saya akan cetak materinya sekarang."Tanpa berani menoleh pada makhluk meny
"Bagaimana keadaannya?" Arya bertanya begitu Dokter sekaligus sepupunya keluar dari ruang rawat."Bagaimana menjelaskannya, ya? Luka bekas kecelakaannya tidak terlalu parah. Tapi, tensinya 80. Sepertinya dia juga kelelahan dan sangat kurang tidur. Jika stress sedikit lagi, mungkin dia akan pingsan." Penjelasan perempuan berkaca mata dengan rambut sebahu itu hanya dibalas Arya dengan anggukan."Hei, dia pegawaimu, kan? Aku yakin dia sampai seperti ini karena bekerja padamu," tebak Dokter dengan name tag 'Cintya A.' itu dengan senyum jahil.Arya mendelik tajam. "Pergilah! Tugasmu sudah selesai, kan?" usir Arya pedas sebelum kemudian berjalan masuk ke ruang rawat Abia.Begitu sampai di dalam, pria jangkung itu menemukan Abia tengah menatap langit-langit ruangan gusar. Sepertinya perempuan itu masih memikirkan bagaimana cara mengganti rugi pada Arya."Sudah merasa lebih baik?" tanya Arya sambil duduk di kursi samping ranjang.Abia mengangguk kikuk. Perempuan itu ingin bangkit duduk karena