"Tuan Radit kembali menemui Nona Silvi, Nyonya!" ujar pengawal Andini. "Dia menemuinya lagi?""Iya!""Apa yang sedang mereka lakukan, ya? Semenjak kejadian itu mereka menjadi sering bertemu. Apa Tuan Radit sedang mengancamnya?" pikir Andini. "Baiklah! Terimakasih. Kau boleh pergi."Setelah pengawal itu pergi, Bu Dewi berkata, "Apa besok karena Nyonya ingin berbicara secara pribadi dengan Nona Rania?""Wanita itu memanggil Tuan Radit pasti ingin menyuruh Nona Rania diam. Dasar wanita licik!" sambung Lia geram. "Yang aku inginkan bukan itu." Andini tersenyum. "Pancingan ku berhasil. Kalau sampai wanita itu takut seperti ini, pasti ada yang dia sembunyikan. Tapi... Apa ya?" pikir Andini. "Kalau bukan untuk mengorek informasi dari Nona Rania. Apa yang membuat Nyonya mewawancarai Nona Rania secara khusus?" Lia heran karena tidak biasanya Nyonya Mudanya ini berbuat begitu. "Seperti ini saja sudah cukup bagiku. Menekannya seperti ini." Bu Dewi dan Lia saling pandang mereka tidak menger
Silvi yang terbawa emosi, menampar wajah Rania dengan keras. Hingga meninggalkan bekas merah di pipinya. "Kauuu!" desis Rania. Dia mengangkat tangan ingin membalas tamparan Silvi, namun dengan cepat Rania berhasil mengendalikan emosinya. "Sifat burukmu itu memang tidak bisa diperbaiki. Baru menjadi 'mainan baru' Tuan Devan saja, sudah berani bersikap kurang ajar! Ternyata bukan hanya sifatmu saja yang jelek, kau juga wanita murahan.""Dasar Kau memang wanita rendahan!" Rania pun berlalu meninggalkan Silvi. Tangan Silvi gemetaran setelah menampar pipi Rania. Dia begitu ketakutan. "Bagaimana ini? Apa yang akan dilakukan Tuan Radit kepadaku?" Saking takutnya, tanpa sadar dia menggigit kuku jarinya. Keesokan harinya Tuan Radit kembali mendatangi Silvi setelah mendapat laporan dari anaknya kalau wanita itu menamparnya. "Apa yang kau lakukan kepada anakku, Rania?" Wajahnya terlihat sangat marah. "Itu salah anakmu sendiri. Kenapa dia tak bisa menjaga mulutnya." Silvi berkata dengan ra
"Nyonya!" seru kepala pelayan. "Ada sesuatu ingin kami sampaikan!"Andini melihat ke arah Bu Dewi, kepala pelayan yang sudah puluhan tahun menemaninya. Ia menjadi penasaran hal apa yang ingin di sampaikannya. "Ada apa, Bu Dewi?" tanya Andini. "Anu... Nyonya!" ucapnya ragu. "Tuan pulang membawa seorang wanita." Andini terkejut, ada rasa tidak nyaman yang ia rasa di dalam hatinya. "Wanita?!""Iya, Nyonya!""Siapa wanita itu?""Saya tidak tau, Nyonya! Kata Tuan dia tidak sengaja menabrak wanita itu saat di jalan. Karena lukanya tidak terlalu parah, Tuan memutuskan untuk membawanya ke rumah ini!""Apakah Bu Dewi yakin bahwa itu hanya wanita yang tak sengaja ia tabrak?""Kalau dilihat dari interaksi keduanya terlihat seperti sepasang kekasih, Nyonya! Apakah Nyonya ingin saya mencari tahu tentang wanita itu?"Brakk..... Tiba-tiba pintu dibuka dengan sangat keras. Andini sampai terkejut dibuatnya. "Lia! Apa yang kamu lakukan membuka pintu kamar Nyonya seperti itu? Di mana sopan santunmu
Bu Dewi mengetuk pintu sebagai pertanda. Melihat Andini yang terlihat murung dan Lia yang sangat emosi, Bu Dewi langsung paham. "Lia! Kau keluar 'lah!" titahnya. Lia pun menuruti perintah Bu Dewi. "Nyonya! Ini teh kesukaan, Nyonya! Minumlah siapa tau membuat perasaan Nyonya sedikit membaik. Tak baik bekerja dalam keadaan pikiran kalut," ucap Bu Dewi. Ia menuangkan teh di dalam teko kaca ke gelas kaca kecil yang senada. Andini mengangguk dan menerima teh yang disodorkan Bu Dewi. Namun, teh itu tak juga membuat perasaan Andini membaik. Ia tetap terlihat murung. "Apa Nyonya masih memikirkan kejadian semalam?" tanya Bu Dewi dengan hati-hati. Melihat wajah murung Andini, Bu Dewi langsung paham. "Tenanglah Nyonya! Mau secantik dan semenarik apapun wanita itu di mata Tuan, dan mau berapa banyak pun simpanan Tuan. Mereka tetap tidak bisa menjadi menantu sah di keluarga ini." Bu Dewi mencoba menenangkan majikannya itu. "Bukankah kata Nyonya, kalau Tuan memiliki simpanan itu adalah hal
"Kau menyebut seseorang menjijikkan? Apa maksudnya itu?"Mereka semua memandang ke arah suara itu. "Tu-Tuan Muda?!" seru Lia. Saat Devan datang, semua orang menundukkan kepala memberi hormat. Tuk.. tukk ...tukkBunyi ketukan sepatu Devan begitu nyaring saat semua orang diliputi ketegangan. Devan dan Andini saling bertatapan. "Silvi?" seru Devan. Dengan raut wajah yang terlihat sangat khawatir, ia menghampiri Silvi dan melalui Andini. Degg... Ada perasaan nyeri di dada Andini saat secara langsung melihat di depan mata, suaminya begitu memperhatikan wanita itu. "Ya ampun...! Jangan menangis!" pinta Devan. Ia mengusap air mata yang keluar di mata Silvi. Hal itu membuat Andini semakin kesal tapi ia tak menunjukkannya. Dengan ekspresi yang datar ia memandang adegan suaminya bersama wanita itu. "Kau memang itu memang wanita yang harus diperhatikan, ya?" ucap Devan lagi. Dengan air mata yang masih berderai, Silvi melirik ke arah Andini dengan ekor matanya. Ia ingin melihat bagaimana
Andini mendatangi tempat kerja Devan ditemani pelayan yang bekerja untuk Devan. Tokk.. Tokkk.. Tok.. "Permisi, Tuan! Nyonya Muda sedang bersama saya!" seru pelayan itu. "Kau memanggilku? Ada apa?""Ah, Nyonya Muda kita sudah sampai rupanya! Kalian semua keluarlah!""Pelayan yang kuhukum kurungan itu, aku dengar kau sendiri yang menjemputnya di ruang bawah tanah. Bahkan kau memperlakukan dia dengan baik. Apa harus kau melakukan itu?" tanya Devan dengan sinis. Pandangannya seolah tidak suka dengan sikap Andini itu. "Kau yang menghukumnya, lalu kenapa aku yang harus mengurusnya? Pertanyaan itu 'kan yang ingin kau tanyakan?" Dengan wajah yang datar Andini mengatakan itu, seolah ia menantang Devan. "Sudah kuduga, kau memang pintar membaca situasi. Lalu, kenapa kau melakukan itu? Kau ingin semua orang memandang bahwa aku adalah orang yang kejam? Menghukum orang yang tidak bersalah! Itu 'kah yang ingin kau tampilkan?" teriak Devan. Bukannya takut atau terkejut dengan kemarahan Devan, A
"Nyonya Muda! apa Nyonya sudah tau tentang berita itu?" tanya Lia saat sedang asyik merias wajah Andini. "Berita apa?" Andini yang sibuk dengan urusan pekerjaan berapa hari ini tidak terlalu memperhatikan pembicaraan yang beredar. "Berita bahwa Tuan Muda akan mengenalkan gundiknya ke acara pesta makan malam.""Pesta makan malam? Kapan? Kenapa Mas Devan tidak memberitahuku?" batin Andini. "Benarkah? Aku tidak tau! Bahkan aku tidak tau kalau akan diadakan pesta makan malam." sahut Andini apa adanya. "Hah, dasar! Apa sekarang Tuan Muda sudah lupa siapa istrinya setelah kedatangan wanita itu? Bahkan mereka tak malu bermesraan di depan kami," ucap Lia kesal. Andini termenung mendengar ucapan Lia. "Hey, Erick!" Devan melambaikan tangannya memanggil pelayan pribadinya. "Iya, Tuan!""Ikut aku sebentar!" Erick mengikuti Devan ke ruang kerjanya. "Kau, ajarkan Silvi tentang 𝘛𝘢𝘣𝘭𝘦 𝘮𝘢𝘯𝘯𝘦𝘳! Jangan sampai membuatku malu nanti!""Baik, Tuan!" Erick menunduk. Erick melaksanakan per
David berjalan-jalan melihat taman luas yang dipenuhi oleh bunga-bunga yang terawat itu. Saat tengah asyik berjalan sembari menikmati pemandangan taman yang asri. David melihat seorang wanita cantik yang tengah berdiri dengan anggunnya. David memperhatikan dari jauh wanita itu. Dia mencoba mengenali. "Bukankah itu istrinya Devan?" lirihnya."Sedang apa dia di sini?" gumamnya lagi. David berjalan mendekati Andini. "Selamat malam, Nyonya Andini!" sapa David. Andini memalingkan badan ketika mendengar sapaan itu. Setelah mengetahui kalau yang memanggil adalah rekan kerja suaminya. Andini mengangguk dengan penuh rasa hormat. "Selamat malam juga, Tuan David," jawab Andini dengan anggunnya. "Sedang apa, Tuan David di taman ini?" tanya Andini. "Apakah saya boleh bertanya hal yang sama kepada orang yang menanyai saya ini?" Bukannya menjawab, David malah bertanya balik. "Haha...!" Andini tertawa pelan. Membuat David sejenak terpikat akan kecantikannya. "Cantik...!" gumam David tanpa