Share

Bab 3 - Perlakuan Devan

"Kau menyebut seseorang menjijikkan? Apa maksudnya itu?"

Mereka semua memandang ke arah suara itu.

"Tu-Tuan Muda?!" seru Lia. Saat Devan datang, semua orang menundukkan kepala memberi hormat.

Tuk.. tukk ...tukk

Bunyi ketukan sepatu Devan begitu nyaring saat semua orang diliputi ketegangan.

Devan dan Andini saling bertatapan. "Silvi?" seru Devan. Dengan raut wajah yang terlihat sangat khawatir, ia menghampiri Silvi dan melalui Andini.

Degg...

Ada perasaan nyeri di dada Andini saat secara langsung melihat di depan mata, suaminya begitu memperhatikan wanita itu.

"Ya ampun...! Jangan menangis!" pinta Devan. Ia mengusap air mata yang keluar di mata Silvi. Hal itu membuat Andini semakin kesal tapi ia tak menunjukkannya. Dengan ekspresi yang datar ia memandang adegan suaminya bersama wanita itu.

"Kau memang itu memang wanita yang harus diperhatikan, ya?" ucap Devan lagi.

Dengan air mata yang masih berderai, Silvi melirik ke arah Andini dengan ekor matanya. Ia ingin melihat bagaimana ekspresi Andini ketika suaminya lebih perhatian kepada dirinya.

Nyyuutt...

Andini kembali merasakan perasaan nyeri di dadanya. "Apa yang tengah kurasakan saat ini? Apa aku...? Tidak mungkin. Seperti perkataan Bu Dewi perasaan seperti ini adalah hal yang lumrah. Tapi....! Aku tidak seharusnya melihat adegan yang tidak mengenakkan ini di depan mataku 'kan?" batin Andini.

Andini pun berniat meninggalkan tempat itu. "Lia, ayo kita masuk! Tanganku sakit!"

"Tunggu...!" Terlihat Devan sangat kesal. Sampai-sampai ia menekan kata-katanya. "Mau ke mana kau, Andini? Berhenti!"

"Ada apa?" balas Andini dengan tatapan yang begitu dingin.

"Pelayan itu!" Tunjuknya ke arah Lia.

"Lia?" tanyanya dalam hati. Mau apa dia, dengan Lia? Tidak mungkin dia ingin memberikan pelajaran kepada Lia, kan?"

"Kau tinggalkan pelayan itu di sini!" Dengan nada yang sedikit keras, dia membentak Andini.

Lia pun menjadi gemetar. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Tuannya kepada dirinya.

Sementara itu Silvi masih saja menangis di pelukan Devan. Seolah dia begitu sangat tersakiti.

"Katakan dulu apa maumu? Ingin kau apakan Lia?"

"Lia adalah pelayan pribadiku yang dipilihkan khusus oleh kedua orang tuaku. Bukan hanya pelayan tapi dia juga sahabatku sejak kecil. Ditambah lagi status sosialnya hampir setara dengan kami. Dia pun tau sudah menjadi tradisi di dua keluarga ini, tingginya status sosial seorang pelayan pribadi yang melayani Tuan dan Nyonya muda adalah sebuah bentuk kehormatan. Seorang pelayan pribadi wajib dihukum kalau kesalahannya melawan perintah yang status sosialnya setara dengan Tuan dan Nyonya Muda yang dia layani. Kalau dia ingin menghukum Lia hanya karena wanita yang bahkan tidak tau asal usulnya! Bukankah sama saja dia ingin mempermalukan Lia di hadapan semua pelayan di sini? Yang berarti itu sama saja ingin mempermalukanku?" pikir Andini.

"Mulut pelayan pribadimu itu harus diberi pelajaran," ketus Devan.

"Tidak bisa..! Kau tidak bisa membawa Lia karena dia adalah pelayan pribadiku. Hanya aku yang berhak atas dirinya."

"Ny-Nyonya.... ! Lia begitu terharu saat Andini membela dirinya.

"Walaupun dia adalah pelayan pribadimu, tapi aku juga tetap Tuannya. Aku berhak memutuskan segala sesuatu di sini. Karena aku adalah Tuan Mudanya," ucapnya sombong.

"Kau tidak bisa bertindak sesuka hatimu! Memberikan hukuman kepada seseorang yang telah berjasa menjagaku." Perdebatan itu semakin memanas. Para pelayan yang tak sengaja melewati taman belakang menjadi penasaran.

Devan tak mendengarkan ucapan Andini, dia tetap dengan pendiriannya.

Devan menyuruh pelayan pribadinya yang sedari tadi berada di belakangnya untuk mendekat.

"Kurung pelayan itu di ruang bawah tanah selama seminggu dan jangan berikan dia makanan yang layak," titah Devan.

Deg...

Lia semakin gemetar saat mendengar vonis itu. Sementara Silvi menutup mulutnya seolah terkejut padahal sebenarnya dirinya tengah tersenyum saat Devan menjatuhi hukuman kepada Lia.

"Tuan Muda! Bukankah itu terlalu berlebihan? Anda sangat keterlaluan," protes Andini.

Devan menyerngit.

"Apa? Berlebihan? Aku keterlaluan?" Devan tersenyum sinis. "Dia sudah menyebut seseorang yang tengah terluka dengan sebutan menjijikkan, dan kau bilang perlakuanku berlebihan?" Devan menatap Andini tajam. Situasi semakin tegang, semua orang yang berada di situ takut saat merasakan atmosfer yang memanas. Namun, tidak dengan Andini. Dia malah membalas tatapan tajam dari Devan.

Sementara itu wanita yang membuat semua kekacauan ini terjadi, semakin memegang erat tangan Devan. Ia masih saja menampakkan raut sedihnya seolah adalah pihak yang sangat teraniaya. Dan itu membuat Devan semakin terlihat kesal.

"Iya..! Perlakuanmu itu memang berlebihan. Walaupun kau yang menjadi Tuan Mudanya di sini, bukan berarti kau berhak bersikap semena-mena kepada semua orang yang bekerja di rumah ini, hanya karena wanita yang bawa. Bahkan, tidak jelas apa status hubungannya denganmu! Aku akan membela siapapun itu walau bukan Lia orangnya," tegas Andini.

Lia yang tak ingin melihat perdebatan ini menjadi panjang, menyetujui hukuman itu.

"Nyonya... ! Ia seperti meminta Andini untuk berhenti membelanya.

Sebagai seorang pelayan pribadi yang menjunjung tinggi profesionalitas, Lia siap bertanggung jawab.

" Baik, Tuan! Saya akan menerima hukuman itu." Dengan tubuh yang masih gemetar ia menyanggupi.

"Lia...!" lirih Andini. Ia menatap sedih kepada pelayan pribadinya itu.

"Kalian tau apa yang harus kalian lakukan, kan?" ucap Devan kepada pelayannya.

"Baik, Tuan!" Kedua pelayan itu menggiring Lia bagaikan tahanan menuju ruang bawah tanah.

"Karena masalah ini sudah selesai, silahkan kalau kau ingin pergi, Nyonya Muda," ucap Devan.

"Ayo, Silvi..! Kita masuk," ajaknya kepada Silvi. Tangannya begitu erat merangkul Silvi.

Andini hanya bisa memendam kekesalannya sembari memandang kedua orang itu.

Kesan pertama yang ditunjukkan Devan dan Silvi, membuat Andini tak menyukai wanita itu.

Hari-hari berlalu Andini khawatir dengan keadaan Lia. Setiap saat ia terus menanyakan kabar Lia kepada pelayan lain.

*****

Hingga tiba waktunya, seminggu kemudian...

Karena masa hukuman Lia sudah berakhir, Andini yang khawatir dengan keadaan Lia dari kabar para pelayan memutuskan untuk menjemputnya sendiri ruang bawah tanah. Bahkan Andini menyuruh Lia untuk membersihkan diri di rumah utama. Meminta Bu Dewi menyiapkan makanan kesukaannya sebab selama di ruang bawah tanah, Devan benar-benar menyuruh pelayan yang menyiapkan makanan untuk Lia, dengan makanan yang tidak layak. Saking tidak layaknya, Lia hanya memilih meminum air putih saja.

"Benar-benar keterlaluan," umpat Andini melihat tubuh sahabat sekaligus pelayan setianya itu menjadi kurus.

"Padahal semua ini adalah kesalahan wanita itu," batinnya.

Hari itu, Andini benar-benar memperlakukan Lia dengan istimewa. Membuat Lia benar-benar merasa beruntung menjadi pelayan pribadinya. Dia begitu terharu. Sampai-sampai Lia ingin meneteskan air mata.

"Kau kenapa, Lia? Apa dikurung di sana membuatmu menjadi trauma?"

Lia menggelengkan kepalanya, "Tidak, Nyonya!"

"Lalu, kenapa kau seperti ingin menangis?"

"Jujur, sebenarnya saat terkurung di sana membuat saya benar-benar tersiksa, tapi saya tidak menyesal sebab saya sudah melakukan hal yang semestinya menjadi kewajiban saya. Yaitu, melindungi Nyonya," lirih Lia.

"Yang membuat saya ingin menangis seperti ini adalah karena, Nyonya!"

Andini bingung. "Karena saya? Kenapa?"

"Sebab, Nyonya, begitu baik kepada saya yang hanya seorang pelayan ini. Perlakuan Nyonya yang seperti ini, membuat saya tak ingat lagi bagaimana rasanya tersiksa di dalam sana."

Andini memeluk Lia. "Aku bersumpah, Lia! Hal seperti ini tidak akan terjadi lagi!"

Perlakuan spesial Andini terhadap Lia, sampai ke telinga Devan.

"Panggil Nyonya Muda kemari!" Seorang pelayan bergegas mendatangi Andini.

"Tuan Muda memanggil saya?"

"I-iya, Nyonya," ucap pelayan itu. Ia terlihat takut.

"Baiklah...! Aku akan segera ke sana. Kau pergilah!"

"Mau apa dia memanggilku?" gumam Andini.

*******

Bersambung.....

ā¤ā¤ā¤ā¤

Apakah yang diinginkan Devan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status