“Roman-roman mukamu kok kayak orang kurang asupan gizi, Bar,” ledek Naren yang melihat sahabatnya itu tidak bersemangat. Dua hari setelah kejadian di restoran malam itu, hari ini akhirnya Naren berkunjung ke kediaman sahabatnya. Selain berniat silaturrahmi, dia juga ingin memastikan keadaan Nesa, perempuan yang akhir-akhir ini terbayang di benaknya. Apakah dia baik-baik saja karena sikap dingin Barata hanya saat itu saja dan sesampainya di rumah hubungan mereka kembali hangat, atau sedih karena dampak kejadian itu menjadi berlarut-larut. Sungguh, Naren sudah berusaha menghapus wajah Nesa serta kekagumannya terhadap istri sahabatnya itu, tetapi wajah Nesa masih kerapkali muncul. Dan ... dia memiliki kerinduan terhadap sosok gadis itu.“Efek begadang, ngecek-ngecek kolam,” sahut Barata, sambil melarikan perhatiannya pada ikan-ikan di kolam. Sementara tangannya melempar pakan, terlihat gurame-gurame itu berebutan.“Lah, apa gunanya itu Romi? Terus itu orang-orangmu? Mereka makan gaji bu
“Terus pantau dia.” Seorang pria berbicara melalui saluran telepon genggamnya. Sorot matanya terlihat berkilat-kilat licik, sementara satu sudut bibirnya terangkat. Saluran komunikasi dia matikan, pria itu lalu menelepon kontak lain, seseorang yang sudah dengan sangat siap menerima perintah. “Tau apa yang musti kamu lakukan?” tanyanya pada seseorang di seberang. “Tau, Juragan. Saya akan melakukan sesuai perintah Juragan.” Terdengar suara di seberang menjawab, mengundang senyum puas terbit di bibir si lelaki paruh baya yang terlihat masih bugar dan muda, seakan usia hanyalah angka baginya. “Bagus. Jangan kecewakan aku, Ramli,” tekan pria itu setengah mengancam, lalu mematikan sambungannya secara sepihak. Beberapa detik kemudian, pria itu tampak menyimpan kembali telepon pintar miliknya ke dalam saku. Lalu tangannya terangkat ke dagunya yang ditumbuhi bulu dengan lebat, mengusap-usapnya dengan lembut. “Barata, Barata. Beberapa tahun nggak nemu cara balas dendam ke kamu, sekarang akh
“Apa yang bisa kamu lakukan untuk saya, Nes?”Suara berat dengan bahasa formal yang kaku itu menyentak kesadaran Nesa. Sudah pasti lelaki itu persis dengan apa yang digambarkan kepalanya. Dari namanya saja seolah sudah terbaca; Barata—Tua, tambun, jelek dan genit. Jemari Nesa meremas ujung baju kurungnya yang menjuntai hingga atas lutut dengan kuat. Dia dikirim ke rumah besar ini sebagai tebusan utang menggunung bapaknya pada sang tuan tanah.Dia harus kabur dari sini. Dia sudah berbalik dan hendak mengeluarkan jurus seribu langkah, tetapi suara bariton lelaki itu berhasil menghentikannya.“Jika kamu nekat keluar dari rumah ini, maka pintu rumah ini akan selamanya tertutup untuk kamu. Dan kamu tahu apa artinya?”Nesa meneguk salivanya susah payah. Bapaknya akan dipenjara jika tidak segera melunasi utang itu dan bagaimana nasib adik-adiknya selanjutnya?Akhirnya dia menggeleng dan segera berbalik lagi menghadap lelaki yang sedang duduk memunggunginya itu. Dia tak boleh egois. Mungkin
“Mbok Damiii.” Terdengar seruan yang memanggil nama perempuan itu. Mbok Dami dengan tergopoh-gopoh keluar kamar Nesa dan meninggalkan obrolan mereka.“Iya, sebentar Mas Rom!” Nesa menghela napas dalam-dalam. “Dari suara beratnya dia terdengar tua. Mungkin rumor itu nggak sepenuhnya cuma rumor. Nesa, sebaiknya legowo dan bersiaplah menjadi istri lelaki tua.” Dia memejamkan matanya.Bebera jam kemudian. Saat langit sudah tampak gelap.“Mbak Nesa, bangun Mbak.”Dengan setengah kesadarannya, Nesa mendengar suara Mbok Dami membangunkannya dan merasakan tangan perempuan itu mengguncang lengannya.“Bangun, Mbak. Ini saya bawakan baju dan peralatan mandi untuk Mbak Nesa. 20 menit lagi waktunya makan malam.” Sambil menggosok kedua matanya, Nesa menguap. “Makasih lagi Mbok, sudah bangunkan saya,” ucap Nesa setelah kesadarannya berangsur pulih. Beberapa jam di perjalanan membuat tenaganya terkuras dan untunglah beberapa jam lalu tidurnya nyenyak dan mudah-mudahan efektif mengembalikan tenagan
“Masuk ke kamarmu, Nesa!” Bara yang kini mencengkeram kerah kemeja lusuh pemuda yang diakui sebagai pacar Nesa itu menatap Nesa dengan tajam. Nesa menggeleng lalu yang membuat Bara tercengang adalah gadis itu tiba-tiba berlutut dan menyentuh kakinya. “Saya mohon lepaskan Bagus dan saya, Mas. Kami saling mencintai.”Air mata Nesa yang memang sudah membasahi pipi kini mengalir lebih deras. “Saya mohon, Mas Bara.”Mata Bara menyipit dan melepas cengkeraman tangannya. “Kamu tahu konsekuensinya, kan?”Nesa mengangguk. “Saya akan bekerja keras untuk melunasi utang Bapak. Saya berjanji.” Suara Nesa mengandung permohonan yang sangat. Kehadiran Bagus di depannya membuat ketabahannya menerima nasib sebagai istri tebusan otomatis goyah. Sambil berkacak pinggang, Barata tertawa. “Kamu tahu berapa nominal utang bapak kamu?”Nesa menggeleng lemah. “300 juta, Nesa. 300. Dan itu semuanya uang, bukan daun!” Bara menunduk, memandang gadis itu dengan perasaan kecewa dan sakit. Secinta itukah Nesa den
Romi yang ditanya seperti itu langsung menjawab, “Kalau boleh jujur sih, Mas, Nesa lebih cantik. Dan ada perbedaan jelas karakter mereka. Nesa tampak polos dan murni, tidak memiliki muslihat—”Mendengar kata muslihat membuat hati Barata seketika dingin. “Yang kutanyakan bukan tentang karakter, tapi fisik. Ah, lama kelamaan kamu jadi seperti Tuan Kusuma yang terhormat.”Barata berlalu setelah melontarkan kalimat sarkasme yang membuat temannya itu menggigit lidahnya sendiri sebab sudah berani berkata jujur. Seharusnya dia tak lupa kalau majikannya sangat sensitif terkait sifat dan sikap gadis masa lalunya. Bosnya itu seolah selalu menulikan telinga jika kejelekan gadis itu diungkit. “Mas, Mas, padahal jelas-jelas perempuan itu mengkhianati kamu.” Romi menggeleng sambil memandang punggung majikannya semakin menjauh.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Nesa dibangunkan Mbok Dami untuk bergegas ke kamar mandi. Nesa membuka kelopak matanya dan langsung meraih tangan perempuan itu. “Mbok, to
Wajah panik Romi langsung terlihat setelah Bara membuka pintu. “Katakan dengan jelas, Rom,” tuntutnya tak sabar. Pasti ada yang salah.“Lele, gurame dan lobster di semua kolam mati, Mas bos. Sepertinya ada pihak yang menyabotase.”“Kurang ajar!” Bara langsung mengambil langkah lebar. Tujuannya tentu saja ke tempat budidaya ikan-ikan yang menjadi salah satu ladang bisnis pencetak uangnya yang saat ini telah diobrak-abrik orang tak bertanggung jawab, dengki dan tak senang dengan kesuksesannya.Romi menyusul dengan berlari. Tempat itu berada kira-kira 20 meter dari gerbang belakang rumah. Nesa mengernyit melihat keributan itu. Dia sempat melihat Bara yang murka dari jendela kaca. Tiba-tiba berkelebat dalam benaknya, bukankah ini adalah peluang? Mungkin Tuhan merasa iba padanya dan memberinya kesempatan untuk kabur.Tanpa pertimbangan lagi, Nesa cepat-cepat berlari menuruni tangga. Ketika berpapasan dengan Mbok Dami, perempuan itu menyapanya dan dia mengatakan ingin melihat-lihat sekitar
Barata sampai di desa Nesa setelah empat jam perjalanan. Dia langsung disambut sang mertua dengan informasi yang sangat tidak dia harapkan. “Nesa tidak ada di sini, Tuan.” Raharja berbicara dengan takut. Khawatir menantu kayanya itu akan murka padanya. “Panggil saja Bara, saya menantu Bapak sekarang.” Di luar perkiraan, justru menantunya itu bersikap jauh dari kata murka. Barata tampak mampu mengendalikan emosi.Bara lantas memeriksa rumah yang hanya sepetak itu untuk memastikan. Dia mengetatkan rahang, istrinya memang tak ada di sana. Ke mana gadis itu pergi? Selama perjalanan pun netranya menyisiri jalan kalau-kalau melihat istrinya. Tetapi, sekadar bayangannya pun tak dia dapati. Barata menjadi semakin khawatir.“Pemuda itu ... pacar Nesa, di mana rumahnya?” Barata bertanya dengan nada tak sabar. Melihat ikatan emosi Nesa dan Bagus malam itu, instingnya berkata kalau sewaktu-waktu Nesa pergi ke rumah pemuda itu untuk menemuinya atau mungkin saat ini Nesa memang sudah berada di sa