Share

Bab 3. Raga Tanpa Jiwa

“Masuk ke kamarmu, Nesa!” Bara yang kini mencengkeram kerah kemeja lusuh pemuda yang diakui sebagai pacar Nesa itu menatap Nesa dengan tajam.

Nesa menggeleng lalu yang membuat Bara tercengang adalah gadis itu tiba-tiba berlutut dan menyentuh kakinya. “Saya mohon lepaskan Bagus dan saya, Mas. Kami saling mencintai.”

Air mata Nesa yang memang sudah membasahi pipi kini mengalir lebih deras. “Saya mohon, Mas Bara.”

Mata Bara menyipit dan melepas cengkeraman tangannya. “Kamu tahu konsekuensinya, kan?”

Nesa mengangguk. “Saya akan bekerja keras untuk melunasi utang Bapak. Saya berjanji.” Suara Nesa mengandung permohonan yang sangat. Kehadiran Bagus di depannya membuat ketabahannya menerima nasib sebagai istri tebusan otomatis goyah.

Sambil berkacak pinggang, Barata tertawa. “Kamu tahu berapa nominal utang bapak kamu?”

Nesa menggeleng lemah.

“300 juta, Nesa. 300. Dan itu semuanya uang, bukan daun!” Bara menunduk, memandang gadis itu dengan perasaan kecewa dan sakit. Secinta itukah Nesa dengan pemuda bernama Bagus itu?

“Sampai kamu bekerja siang-malam tanpa henti pun mustahil mampu menghasilkan uang sebanyak itu.”

“Pak Bara, saya berjanji akan melunasi utang calon mertua saya. Bapak hanya perlu memberi kami waktu.” Bagus turut bersimpuh dan seolah meminta belas kasih lelaki yang ingin menjadikan kekasihnya istri tersebut.

Bara lagi-lagi tertawa. “Kalian pasangan konyol. Setidaknya gunakan logika sebelum berkata. Memang, pekerjaanmu apa, anak muda?”

“Saya pegawai konter.” Bagus menjawab dengan agak ragu. Tahu kalau lelaki itu pasti akan mengejek profesinya.

Dan benar saja, tawa Bara seketika pecah mendengar jawabannya. “Pergi dari rumahku sebelum kesabaranku benar-benar habis!” hardik Bara kepada Bagus.

Sementara tatapannya melembut saat berkata pada Nesa. “Dan kamu Nes, masuk kamar sekarang.”

Nesa menggeleng. “Nggak, Mas. Saya akan pergi dari sini bersama Bagus.”

Lalu Nesa menggapai tangan Bagus. “Ayo bawa aku pergi, Gus.”

Bagus mengangguk dan berdiri. Merengkuh tubuh kecil Nesa untuk dia bawa pergi.

“Tidak semudah itu, anak muda!” Bara yang geram melihat itu langsung mengurai tangan Bagus dari tubuh Nesa. Lalu dia menendang keras betis pemuda itu sebelum akhirnya membopong Nesa.

“Romi! Di mana kamu! Ceroboh sekali membiarkan penyusup masuk rumahku!” Sambil membawa Nesa dalam gendongannya, Bara berteriak marah pada sosok tangan kanannya. Sementara dadanya menjadi objek pukulan Nesa. Gadis itu meraung minta dilepaskan sambil memanggil nama kekasihnya.

“Mas bos.” Seorang lelaki tergopoh-gopoh datang dengan raut cemas. “Maaf, saya tidak tahu kalau ternyata dia membawa masalah. Dia bilang sepupu Mbak Nesa.”

“Urus dia. Kirim dia ke mana saja dan pastikan tidak akan kembali ke sini mengacaukan pernikahanku!”

Romi mengangguk lalu berlari pada Bagus yang tampaknya sudah siap mengejar Bara. Dia segera menelikung tangan Bagus. “Jangan menyusahkan dirimu sendiri, Nak! Bersikaplah baik jika kamu ingin tetap hidup.”

“Dia pacarku! Siapa orang itu yang berani mengambilnya dariku!” Bagus berusaha membebaskan tangannya, tapi justru kesakitan yang dia rasa.

Sambil menyeret pemuda itu keluar, Romi membalas, “Kamu sangat tidak sadar diri.”

“Nesa! Aku berjanji akan membawamu kembali, Nesa! Tunggu aku!” Bagus berteriak ke arah di mana dia melihat Bara membawa kekasihnya menaiki tangga. “Aku mencintaimu, Nes! Tolong bersabarlah!”

Romi yang mendengar itu menggeleng geli. Romansa anak muda memang konyol.

Romi membawa Bagus hingga teras depan tanpa melepaskan tangan pemuda itu. Lalu dia berteriak memanggil dua orang yang biasanya ditugaskan memeriksa dan menjaga keamanan rumah.

“Ikat kedua tangannya dan buang dia jauh dari sini.” Romi mendorong Bagus ke arah dua lelaki yang berdiri di depannya. “Pakai mobil box, Ndre.” Tangannya menuding kendaraan yang terparkir beberapa meter darinya.

Orang yang bernama Andre itu mengangguk sambil meringkus tangan Bagus. Sementara Bagus tak hentinya meronta dan berteriak kesakitan saat kakinya ditendang waktu dia hendak menendang duluan.

“Ada baiknya kamu diam, anak muda,” peringat Andre pada Bagus yang masih meronta dan ingin masuk ke dalam.

Romi menggeleng dan merasa sedikit prihatin saat matanya memandang pemuda itu diseret ke dalam mobil box. “Cinta memang hanya memberi sakit dan penderitaan. Semoga saja aku dijauhkan dari virus cinta itu.”

Sementara di dalam sana, di ruangan Nesa, kedua tangan gadis itu enggan melepaskan kaki Bara yang hendak melangkah pergi. Air matanya terus berderai seiring bibirnya menguntai permohonan. “Tolong biarkan saya pergi. Mas Bara cuma akan dapat perempuan jelek dan kampungan jika menikahi saya. Mas bisa dapatkan perempuan yang lebih layak untuk Mas.”

Bara menunduk, hatinya diselimuti emosi campur aduk. Ada rasa sedih dan iba melihat Nesa dirundung pilu, tetapi jiwa egoisnya tak mau kalah. Dia sangat menginginkan Nesa di sisinya dan itu segera terwujud besok.

Akhirnya dia berjongkok, menulusuri rambut legam gadis bersimbah air mata itu dengan jarinya. “Nesa, tidak ada perempuan yang saya inginkan selain kamu. Kamu yang paling layak untuk saya.”

Kini Bara membingkai wajah Nesa dengan tangannya. Tatapannya semakin dalam. “Besok, kamu akan menjadi milik saya seutuhnya, untuk sementara kita hanya nikah secara agama karena saya tidak sanggup menunggu waktu itu lebih lama. Pernikahan negara memerlukan banyak waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Tapi saya berjanji, Nes. Akan saya buat kamu perempuan paling bahagia.”

Bara memajukan wajah untuk mencium kening Nesa, tetapi gadis itu segera menghindar. Dia menggeleng. “Kebahagiaan saya hanya ada bersama Bagus, pacar saya.”

Bara membuang napas kasar. Rasanya kesabarannya menipis, tetapi dia tak ingin menyakiti Nesa secara fisik. Cukup batin gadis itu saja yang terluka. Dan dia berkeyakinan suatu saat dapat menyembuhkan luka yang diciptakan olehnya.

Akhirnya Bara berdiri meninggalkan Nesa yang masih berkutat dengan air mata kesedihannya. Sebelum lelaki jangkung itu mengunci pintu kamar Nesa dari luar, dia mendengar gadis itu berteriak padanya. “Kalaupun kamu berhasil nikahi aku, kamu nggak akan dapat keuntungan apa-apa. Kamu cuma dapat raga tanpa jiwa. Dan rasaku udah benar-benar mati. Setelah ini, silakan bercinta dengan robot, Tuan Barata!”

Bara menyandarkan punggungnya pada pintu. Di dalamnya masih terdengar raung nestapa gadis yang telah dipisahkan dari cintanya. Kelopak mata Bara mengatup. “Bahkan jika memang hanya tubuhmu yang kumiliki, Nes, aku tetap perlu bahagia. Memang itu yang kuinginkan. Itulah faktanya, keseluruhan fisikmu adalah obsesiku, terutama wajahmu.”

“Mas bos, ada yang perlu saya kerjakan lagi?” Romi yang dari teras depan menghambur ke arah majikannya. Dia melihat air muka mas bosnya itu kelelahan dan penuh kerumitan.

Bara membuka kelopaknya, wajah orang yang bertahun-tahun menjadi kepercayaannya langsung menyambut penglihatannya. “Tidak, pastikan saja kejadian tadi tidak terulang lagi di masa depan. Periksa dengan teliti siapa pun tamu yang ingin menemui Nesa.”

Romi mengangguk paham. “Siap.”

“Apa segala sesuatunya sudah siap dan sempurna untuk hariku besok?” Barata ingin memastikan pernikahannya berjalan lancar dan sempurna tanpa kendala. Pokoknya, besok Nesa harus sudah berganti status menjadi istrinya—Nyonya Barata Kusuma.

Bibir Barata tersenyum puas saat Romi mengangguk sebagai jawabannya. Lalu dia bertanya, “Rom, apa menurutmu mereka memiliki perbedaan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status