‘Dia memanggil perempuan itu dengan panggilan Nyonya Dakasa. Sedangkan aku selama ini hanya dipanggil Nyonya Siara,’ rutuk Siara di dalam hati.
Lavira menatap Rino dengan pandangan tidak paham gadis itu tidak mengenal siapa Rino. Melihat kebingungan dan raut polos Lavira, Rino kembali bersuara. “Maafkan saya, perkenalkan nama saya Rino Putra. Saya adalah asisten sekaligus tangan kanan Tuan Dakasa,” tutur Rino memperkenalkan diri.‘Oh, jadi dia tangan kanan Tuan Dakasa? Tapi kenapa dia begitu sopan kepadaku, apalagi dia memanggilku Nyonya Dakasa?’ batin Lavira tidak paham.“Tuan Rino kenapa harus berucap sopan seperti itu kepadanya? Dia tidak pantas diperlakukan seperti itu. Dia kan hanya penebus hutang,” papar Feria nampak tidak suka melihat Rino berbicara begitu lembut dan sopan kepada Lavira. Sedangkan saat bersamanya selama ini, Rino bahkan tidak pernah menanggapi kalimat Feria.“Mari, Nyonya. Saya antar ke sekolah,” Rino bersuara kembali menghiraukan kalimat Feria. Jelas saja hal itu membuat Feria merasa kesal dan marah. Gadis itu menatap benci ke arah Lavira, isyarat akan rasa benci.“Silakan masuk, Nyonya.” Rino berucap sambil membukakan pintu mobil untuk Lavira.“Ekhm … maaf, Tuan Rino. Sepertinya Anda tidak harus melakukan hal ini untukku. Aku juga tidak pantas menyandang status sebagai Nyonya Dakasa. Aku hanya ….”“Apapun itu, Anda adalah istri sah Tuan Dakasa di mata hukum dan agama. Jadi tidak ada kata tidak pantas bagi Anda untuk tidak menyandang status Nyonya Dakasa. Sudahlah, hari sudah semakin siang. Anda bisa terlambat ke sekolah,” papar Rino dengan suara tegasnya.Lavira terpaksa mengikuti kalimat Rino. Gadis itu tidak biasa untuk berdebat dengan orang lain sebab sudah terlalu terbiasa patuh kepada orang lain. Lagipula apa yang dikatakan oleh Rino ada benarnya. Hari sudah semakin siang, dia bisa telambat ke sekolah.*****“Siapa yang menyuruhmu untuk mengantarnya?” tutur Avram dingin.Rino menundukkan kepalanya kepada Avram. “Maafkan saya, Tuan. Tidak ada yang menyuruh saya. Itu semua saya lakukan berdasarkan keinginan saya saja, Tuan,” sahut Rino.Avram menatap datar wajah Rino. Setelahnya laki-laki itu tersenyum miring ke arah asistennya itu. “Kau menyukainya?” tanya Avram tiba-tiba.Jelas saja pertanyaan Avram membuat Rino sangat terkejut. Laki-laki itu menghela napas pelan sebelum menyahut kalimat Avram. “Bukan seperti itu, Tuan. Saya melakukan itu karena menurut saya dia pantas. Bagaimanapun dia adalah istri Anda, Tuan. Jadi saya sebagai asisten Anda, sudah seharusnya ikut melayani istri Tuan,” jelas Rino.Avram menatap wajah Rino seakan menilai. Laki-laki itu tidak menemukan guratan kebohongan di wajah Rino. Merasa tidak penting membahas itu, Avram berdiri dari duduknya dan memberikan sebuah file kepada Rino.“Pantau dia seharian ini, dia akan menjadi targetku nanti malam,” ucap Avram.Rino menatap biodata di dalam sebuah map itu. Setelahnya laki-laki itu mengangguk paham. ‘Yah, setidaknya Tuan Dakasa tidak akan membunuh orang yang tidak bersalah untuk melepaskan sifat iblisnya,’ batin Rino.Memang benar, sekejam apapun Avram. Sampai sejauh ini laki-laki itu tidak pernah membunuh orang yang tidak bersalah. Avram akan mencari target yang memiliki setumpuk catatan hitam yang berkaitan dengannya ataupun tidak berkaitan sama sekali.“Nanti malam bertindak di mana, Tuan?” tanya Rino.“Pancing dia ke bangunan kosong blok M,” sahut Avram.“Baik, Tuan,” sahut Rino patuh.“Kau kembalilah ke kantor, nanti aku kirim materi baru,” titah Avram.“Nanti ada rapat dengan kolega baru, Tuan. Apa perlu kita lakukan rapat online?” tanya Rino.“Tidak usah, kau saja yang menghandle semuanya. Aku hanya akan turun kalau itu memang benar-benar penting,” sahut Avram.“Tapi, Tuan. Apa tidak sebaiknya Anda mulai memperlihatkan diri Anda? Semua karyawan sudah mulai ada yang memberontak dengan alasan pemimpin yang tidak terlihat. Sepertinya mereka dihasut oleh Tuan Fero dan Nyonya Siara. Mereka memperlakukan karyawan dengan tujuan ingin mendapat suara,” papar Rino serius.Avram hanya tersenyum miring menanggapi kalimat Rino. Laki-laki itu nampak tidak merasa terganggu ataupun merasa terbebani dengan laporan dari asistennya itu. “Biarkan saja mereka untuk saat ini. Aku hanya akan memantau sampai mana mereka bertindak. Nanti jika sudah merasa puas, aku akan bertindak. Aku masih merasa nyaman dan betah dengan keadaan sekarang,” jawab Avram.Rino menatap Avram dengan pandangan penuh arti. Setelahnya laki-laki itu menghela napas pelan. Dia sudah begitu kenal sifat dan karakter Avram seperti apa.“Baiklah, kalau begitu saya permisi untuk kembali ke kantor, Tuan,” pamit Rino.“Kirimkan aku biodata putri Amrin itu,” pungkas Avram tiba-tiba.Rino terkejut mendengar kalimat Avram. Setelahnya laki-laki itu tersenyum tipis sambil mengangguk senang. “Baik, Tuan. Akan segera saya kirimkan biodata lengkapnya,” sahut Rino nampak lebih bersemangat.‘Aku harap kamu bisa menghangat karena gadis kecil itu, Tuan. Aku menilai jika karakter lembut dan polos milik Lavira Amrin ini sangat sesuai dengan karakter keras dan dingin milik Tuan Dakasa. Aku juga merasakan aura yang cukup kuat dari tubuh gadis itu. Dia memang cocok bersanding dengan Tuan Dakasa,’ batin Rino menebak dan berharap.*****Joana berdiri dari duduknya dan menatap sosok Lavira yang sedari tadi dia cari. Saat ini mereka sedang berada di kantin sekolah. Joana tersenyum licik menatap Lavira yang masih berjalan ke arah sebuah kursi.“Jadi dia masih bisa bersekolah?” gumam Joana sinis.“Kenapa, Jo?” tanya salah satu teman Joana.Joana menunduk dan menatap satu temannya yang nampak menatapnya bingung. “Tidak apa-apa, itu si gembel. Aku sudah sedari tadi menunggunya. Tanganku sudah gatal,” tutur Joana licik.Mendengar kalimat Joana, satu teman perempuan itu menoleh ke arah pandang Joana. Setelahnya dia ikut tersenyum jahat menatap keberadaan Lavira. “Iya juga, aku tidak ingat kalau sehari ini kita belum bertemu dengannya,” tutur Kili, teman Joana.Status Lavira dengan Joana yang merupakan saudara satu ayah memang tidak terekspos. Itu semua karena keinginan Joana yang merasa malu jika mengakui Lavira sebagai saudara tirinya. Wajah Lavira jauh lebih cantik dari Joana, dan hal itu pula yang membuat Joana tidak menyukai Lavira karena merasa iri.“Ayo kita ke sana, kita kan belum menyapanya sedari tadi pagi,” tutur Joana licik.“Hah, kalau ini aku suka. Ayo kita bermain,” sahut Kili tidak kalah licik.Dua siswi itu mulai melangkah mendekat ke arah Lavira yang sedang menyantap makanannya. Lavira hanya makan sendiri sebab gadis itu tidak memiliki satu teman pun. Itu semua karana hampir seluruh murid perempuan di sekolah itu tidak menyukai Lavira. Mereka tidak menyukai Lavira karena mereka merasa iri dengan kacantikan alami Lavira yang selalu sukses mencuri perhatian para laki-laki.“Hai, Lavira.” Suara seseorang mengalihkan perhatian Lavira dari makannya. Gadis itu menatap Joana dan Kili dengan pandangan waspada. Lavira bisa menebak apa yang akan terjadi kepada dirinya setelah ini.Jelas dari tatapan dan senyum jahat yang terlihat di wajah dua gadis itu. Lavira hanya bisa pasrah dengan nasibnya hari ini. Tidak lepas dari satu hari pun bagi Lavira yang selalu mendapat perlakuan buruk dari Joana dan satu temannya itu.“Wah, apa menu makan siangmu kali ini? Masih tidak berubah, ya. Apa kau tidak bosan?” Kili bersuara sambil menatap jijik ke arah dua potong roti tawar di atas meja itu.“Heh, namanya juga gembel. Bosan tidak bosa, ya harus dimakan supaya tidak mati.” Joana menyahut kalimat Kili sambil tertawa mengejek. Kili ikut tertawa mendengar kalimat Joana. Begitu pula dengan beberapa murid lain yang mendengar perkataan Joana.Lavira hanya dia, gadis itu memang tidak pernah membantah. Seperti apapun orang-orang menghina dan mencaci makinya. Lavira akan tetap dia
“Lebam ini kenapa?” tanya Avram dengan suara dinginnya. “O-oh, i-ini karena ada kejadian di sekolah,” cicit Lavira.Avram masih menatap wajah Lavira dengan pandangan intens. Hal itu membuat Lavira merasa begitu gugup dan kehilangan akal. Bukannya semakin menjauhkan, Avram malah semakin mendekatkan wajahnya kepada Lavira.Lavira menahan napas saat jarak antara wajahnya dengan wajah Avram hanya sekitar tiga senti meter. Bahkan Lavira bisa merasakan hembusan napas hangat Avram menyapu kulit wajahnya. Detak jantung Lavira semakin berlomba di dalam sana.Cup … deg ….Lavira terdiam kaku dengan napas tercekat saat Avram mendaratkan bibirnya tepat di ujung bibir gadis itu. Ujung bibir Lavira yang masih mengeluarkan darah karena tamparan Joana dan Kili tadi di sekolah. Entah apa yang dipikirkan Avram sampai melakukan hal itu kepadanya.Ternyata tidak sampai di sana. Mata Lavira melotot saat gadis itu merasa lidah hangat Avram sedang bergerak di ujung bibirnya. Laki-laki itu seakan sedang men
“Shh ….” Lavira meringis saat Avram memberikan salep pada sudut bibirnya. Laki-laki itu tadi juga sempat mengompres pipi lebam Lavira dengan es batu.Avram menatap wajah Lavira yang saat ini sedang memejamkan matanya seakan menahan sakit. Secara perlahan tangan besar Avram terangkat mengusap salep pada sudut bibir Lavira. Merasakan sentuhan Avram, Lavira membuka matanya dan terkejut saat melihat Avram ternyata sedang menatap intens ke arahnya.Tring … Tring … Tring …Suara telepon genggam Avram memecahkan keheningan di antara sepasang suami istri itu. Avram menarik tangannya dan meraih benda pintar yang saat ini sedang berteriak di dalam saku celananya. “Hem,” deham Avram menjawab panggilan telepon dari Rino.“Kami sudah bersiap, Tuan,” tutur Rino di seberang telepon.Avram tidak menyahut kalimat Rino. Laki-laki itu malah menoleh dan menatap wajah cantik Lavira. Lavira terkejut saat dengan tiba-tiba Avram malah menatap ke arahnya.“Besok,” sahut Avram.“Maaf, Tuan?” tanya Rino tidak m
“Tidur di sini.”Kalimat itu sukses membuat Lavira tertegun di tempat. Matanya membulat, kepalanya perlahan mendongak dan menatap Avram yang sudah sempat menutup mata. Pria itu kembali membuka matanya saat merasakan kepala Lavira bergerak di atas dada bidangnya. Dua pasang mata itu saling tatap hanya beberapa detik, sampai detik berikutnya Lavira mengalihkan wajah.“S-saya cukup berat, Tuan. Nanti Tuan sesak napas karena saya tidur di sini,” cicit Lavira.‘Berat katanya? Bahkan aku tidak merasakan apa pun sekarang. Badan kurus seperti ini mengaku berat?’ batin Avram heran.“Tidak berat, tidur saja,” tutur Avram dengan suara dinginnya.Lavira tak mampu lagi membantah. Seakan sudah menjadi kodratnya seorang Lavira, dia begitu patuh. Bahkan mungkin jika disuruh oleh orang lain untuk melompat dari gedung tinggi, b
Pagi nan cerah itu dinyanyikan oleh kicauan burung-burung. Entah karena terlalu nyaman atau kenapa. Lavira yang biasa terbangun di pagi hari, sekarang nampak masih terlelap nyaman. Dengan tidak sadar di dalam tidurnya, gadis kecil itu saat ini sudah berada di atas tubuh Avram.Entah sejak kepan posisi itu terjadi. Lavira malah terlihat sangat nyenyak dan nyaman di dalam tidurnya. Avram, laki-laki dingin nan misterius itu mulai terusik saat segaris cahaya yang menyelinap dari balik gorden menyapa sebelah matanya. Pria itu masih memejamkan mata, sambil berniat menggelian, tetapi tertahan sesuatu di atas tubuhnya.“Kenapa berat?” gumamnya terdengar serak.Perlahan sepasang kelopak mata Avram mulai terbuka. Beberapa detik, pria tampan itu terdiam di tempatnya. Pemandangan pertama yang dia lihat adalah kepala hitam seseorang yang menghalangi pemandangannya. Avram menggosok pelan kedua matanya dan kembali menatap apa yang berada di atas tubuhnya saat ini.“Ini ....”Beberapa detik terdiam d
Beberapa menit di dalam kamar mandi, Lavira lebih sering melamun. Gadis kecil itu masih memikirkan kejadian beberapa menit yang lalu. Dia terus mengusap wajahnya merasa malu sekaligus takut.“Bagaimana bisa aku berada di atas tubuhnya? Padahal tadi malam aku sudah turun? Ya ampn, ini akibat kalau tidur terlalu lasak. Bagaimana sekarang? Kalau Tuan Dakasa marah bagaimana? Aku bisa dikubur hidup-hidup,” celoteh Lavira malu dan takut.Perempuan itu menarik napas dalam sambil menatap kakinya yan masih berdenyut. Sepertinya hari ini dia akan kesulitan berjalan. Entah keseleo atau sekadar sakit biasa saja. Lavira tidak tahu dan dia tak bisa memperbaiki kakinya sendiri yang sakit.“Ini tidak akan membengkak ‘kan?” gumam Lavira lagi.Beberapa menit berlalu, tanpa sadar Lavira menghabiskan cukup banyak waktu di dalam kamar mandi tersebut. Dia melangkah dan melotot saat tidak menemukan selembar handuk pun di sana. Perempuan polos itu menutup mulutnya dengan kedua tangan saat mengingat jika diri
Tok ... tok ....Avram kembali mengetuk pintu kamar mandi itu. Setelah usaha Lavira hampir setengah jam berdeham tidak jelas. Akhirnya pria itu paham dan mengambilkan handuk untuk gadis manis tersebut. Mungkin sekarang Lavira sudah kedinginan di dalam sana, sebab tubuhnya masih menggunakan baju basah.“Buka,” titah Avram datar.Cklek ....Mendengar suara pintu itu dibuka. Avram langsung mengalihkan wajahnya, tetapi tangannya masih mengulurkan handuk ke arah pintu. Dia berdeham kecil bak orang bodoh, begitu berusaha untuk tidak melihat lekuk tubuh Lavira. Entah kenapa, padahal Lavira adalah istri dan hal itu sudah halal untuk dia tatap.Lavira sendiri meringi saat melihat sosok bertubuh kekar itu berdiri sambil menyodorkan handuk kepadanya. Perempuan itu mengangkat tangan dan meraih handuk tersebut. Dia bingung harus mengucapkan terima kasih seperti apa, sebab Avram masih melarangnya untuk bersuara.“Hemmm,” deham Lavira tidak harus harus bagaimana.“Hem,” deham Avram singkat saat meng
Prang ....Lavira terlonjak saat dengan tiba-tiba sebuah piring melayang hampir mengenai wajahnya. Tubuh gadis itu bergetar ketakutan dengan kepala menunduk tak berani mengangkat pandangan. Masih seperti biasanya, Lavira begitu takut untuk sekadar menatap orang yang sedang marah dan membencinya.“Apa-apaan ini? Apa kau ingin memberi kami makanan seperti yang kau makan selama ini, gembel! Tidak bermutu dan kampungan!” teriak Feria kepada Lavira.Lavira diam, tubuhnya bergetar takut. Bahkan untuk sekadar bersuara pun dia tidak berani. Jari-jari tangannya saling bertautan dengan keringat dingin mulai bercucuran. Hal biasa saat dia menerima amarah dari orang lain. Sedari dulu dia juga akan seperti itu di saat ayah atau mungkin keluarga tirinya murka.“Kenapa kau diam, hah!” pekik Feria menyambung amarahnya.Untuk kedua kalinya Lavira terlonjak mendengar teriakan kemurkaan itu. “M-maaf, Nona. Saya tidak tahu jika Anda tidak menyukai menu itu. A-akan saya ganti dengan yang baru, An-da ingin