Lavira menggelengkan kepalanya cepat saat kesadaran menghampirinya. Gadis itu kembali menoleh dan menatap Avram yang ternyata juga sedang menatapnya. Napas Lavira tercekat melihat tatapan intens mata tajam Avram. Merasa tidak sanggup, Lavira mengalihkan kepalanya dengan gerakan kaku.
“Ma-maaf, Tuan. Saya hanya ingin meminta izin kepada Anda. Saya akan pergi ke sekolah,” tutur Lavira dengan suara pelannya.
Avram menatap penampilan Lavira dari atas sampai bawah. Laki-laki itu baru menyadari jika gadis itu sedang memakai seragam sekolah. Setelahnya Avram kembali sibuk dengan laptopnya seakan tidak tertarik.
Lavira melirik ke arah Avram yang masih tidak bersuara. Melihat Avram kembali sibuk dengan pekerjaannya, membuat Lavira menghela napas pelan. ‘Anggap saja dia mengizinkan aku. Dia kan tidak membanta, itu artinya aku sudah dizinkan,’ batin Lavira.
“Ka-kalau begitu terima kasih, Tuan.” Lavira berucap sambil menundukkan kepalanya ke arah Avram.
Setelahnya gadis itu mulai melangkah mendekat ke arah tas sekolahnya. Namun, baru beberapa langkah, gadis itu kembali menghentikan langkahnya. Lavira kembali membalikkan tubuhnya dan menatap ragu ke arah Avram.
Glek ….
Gadis itu menelan salivanya susah payah sebelum memulai kembali suaranya. ‘Astaga, aku takut kalau aku kembali berbicara. Nanti dia malah mengamuk, tapi ini kan juga penting,’ ucap Lavira di dalam hati.
“Ekhm … maafkan saya kembali mengganggu, Tuan. Sa ….” Kalimat Lavira tergantung saat melihat tatapan tajam Avram kepadanya.
Jantung gadis itu langsung berdetak berkali lipat melihat Avram menatapnya begitu tajam. Sepertinya laki-laki itu tidak suka Lavira terus mengganggunya. Mata Lavira membola tanpa sadar saat melihat tatapan tajam itu.
‘Matilah aku,’ jerit Lavira di dalam hati. Gadis itu menundukkan kepalanya dengan tubuh ketakutan. Bayang-bayang kalimat yang mengatakan kekejaman Avram pun langsung melekat di benaknya.
Perlahan mata tajam Avram mulai melunak. Entah kenapa rasa marah laki-laki itu perlahan menghilang saat melihat binar takut di mata Lavira. Apalagi wajah polos gadis itu membuat Avram seakan tidak tega untuk memarahinya.
“Apa?” tanya Avram begitu dingin.
Lavira terlonjak saat mendengar suara berat yang begitu dingin itu. Gadis itu sangat terkejut tetapi juga merasa bersyukur karena Avram tidak marah kepadanya. “I-itu, mungkin Tuan tidak nyaman dengan keberadaan saya di sini. Jadi, mungkin saya pindah saja dari kamar ini,” lirih Lavira begitu pelan.
Avram nampak diam sambil menatap wajah pucat Lavira. “Tetap di sini,” ucap Avram datar.
Lavira mengangkat kepalanya menatap terkejut ke arah Avram. Gadis itu nampak terkejut dengan perkataan Avram yang seakan tidak mengizinkan dirinya pindah kamar. Lavira hanya mampu menghela napas pasrah tidak berani membantah.
“Ba-baiklah, kalau begitu saya permisi dulu, Tuan.” Lavira kembali melanjutkan langkahnya. Terlihat lesu sebab keinginannya untuk pindah kamar tidak terkabulkan. Entah apa maksud dan tujuan Avram tetap membiarkan dirinya tetap menginap di dalam kamar itu.
Avram menatap pergerakan lesu tubuh Lavira. Laki-laki itu pun tidak tahu dan tidak paham kenapa dirinya malah tidak mengizinkan Lavira keluar dari kamar itu. ‘Mungkin aku hanya sedang merasa ada sesuatu yang menarik dari dirinya,’ batin Avram menebak hatinya sendiri.
*****
Lavira berjalan cukup cepat ke arah ruangan tengah. Mansion luas itu cukup membuat Lavira kesulitan hanya untuk mencapai pintu utama. “Astaga, bagaimana aku bisa ke sekolah, ya? Mana gerbang utama sangat jauh dari sini. Kalau aku berjalan kaki sampai ke depan, bisa menghabiskan waktu seperempat jam. Aku harus cepat.”
Lavira terus memacu langkahnya ingin segera sampai di pintu utama. Namun, pergerakannya terhenti saat mendengar suara berat seseorang. “Wah, siapa ini? Adik manis dari mana ini?”
Lavira menoleh dan terkejut saat melihat seorang laki-laki yang cukup tampan, bersetelan kantor sedang menatapnya dengan pandangan mesum. Hal itu membuat Lavira merasa tidak nyaman. Apalagi saat melihat laki-laki mulai mendekat ke arahnya.
“Fero, jangan ganggu dia. Dia itu penebus hutang keluarga Amrin, dengan kata lain dia itu istri sah Avram,” ucap Siara yang baru sampai.
“Apa? Gadis secantik kamu menjadi penebus hutang? Bahkan harus menikah dengan laki-laki tidak jelas itu? Kasihan sekali nasibmu, lebih baik kamu bersamaku saja.” Laki-laki yang bernama Fero itu berbicara sambil membelai nakal dagu Lavira.
Lavira terdiam tidak mampu berkata-kata. Gadis itu juga tidak berani menepis tangan laknat Fero, meski sebenarnya gadis itu ingin. “Ck, kenapa juga kau memegang dia, Bang? Tidak level sekali,” celetuk Feria yang juga baru datang.
“Sudah, ayo kita ke ruangan makan. Kau sudah menyiapkan semuanya kan?” tutur Siara.
“Sudah, Nyonya. Saya sudah siapkan sesuai dengan yang Anda jadwalkan,” sahut Lavira.
“Bagus, dan apa kau sudah mendapat izin dari suamimu?” tanya Siara lagi.
“Sudah, Nyonya. Tadi saya sudah meminta izin kepada Tuan Dakasa,” balas Lavira.
Mendengar jawaban Lavira, Feria mendekat ke arah Lavira dengan pandangan penasaran. “Jadi kau sudah melihat wajahnya? Seperti apa wajahnya? Pasti sangat menyeramkan, iya kan?” tanya Feria penasaran.
“Feria,” tegur Siara nampak wapada.
“Seperti apa? Sejelek dan semenyeramkan apa wajahya sampai dia tidak berani memperlihatkan wajahnya itu?” sambung Feria tidak menghiraukan teguran Siara.
Lavira menggaruk kepalanya bingung ingin menyahut kalimat Feria seperti apa.’Dia sama sekali tidak jelek apalagi menyeramkan. Dia bahkan sangat tampan, bagaimana caranya aku memberitahu?’ ucap Lavira di dalam hati.
“Sudahlah, tidak usah kau hiraukan pertanyaannya. Ayo ke ruangan makan cepat, Mama sudah lapar,” papar Siara.
“Tapi aku kan penasaran, Ma,” balas Feria kesal.
“Tidak usah membahas itu, Feria. Kamu ingin kita ditendang dari sini? Diamlah,” tegur Siara tegas.
“Itu, Bang Fero malah dengan berani mengganggu istrinya.” Feria berucap sambil menunjuk Fero yang masih nampak mengganggu Lavira.
“Fero,” tegur Siara kesal.
“Aku jamin dia tidak akan menghiraukan gadis ini, Ma. Sudahlah, dari pada dia menganggur, lebih baik dia untukku.” Fero berucap dan berniat menyentuh tubuh Lavira sambil tersenyum mesum.
Lavira nampak ketakutan melihat wajah mengerikan milik Fero. Apalagi saat melihat laki-laki itu sedang berusaha untuk menyentuh tubuhnya. Beruntung suara berat seseorang menghentikan pergerakan Fero.
“Hentikan, Tuan Fero. Apa Anda sudah tidak menghargai Tuan Dakasa? Kenapa Anda malah berusaha mengganggu bahkan sampai berniat menyentuh istri Tuan Dakasa?”
Empat pasang mata menoleh saat mendengar suara berat itu. Lavira dapat melihat sosok laki-laki masuk kategori tampan berwajah datar mendekat ke arah mereka. Laki-laki bersetelan jas kantor lengkap dan nampak begitu rapi.
“Selamat pagi, Tuan Rino,” sapa Feria dengan suara yang dibuat begitu lembut. Sangat terlihat jika gadis itu menyukai Rino yang bahkan tidak meliriknya sama sekali.
“Selamat pagi, Nyonya Dakasa. Mari saya antar Anda ke sekolah,” tutur Rino menghiraukan Ferian dan Siara yang nampak tidak terima dengan sapaan Rino untuk Lavira.
‘Dia memanggil perempuan itu dengan panggilan Nyonya Dakasa. Sedangkan aku selama ini hanya dipanggil Nyonya Siara,’ rutuk Siara di dalam hati.Lavira menatap Rino dengan pandangan tidak paham gadis itu tidak mengenal siapa Rino. Melihat kebingungan dan raut polos Lavira, Rino kembali bersuara. “Maafkan saya, perkenalkan nama saya Rino Putra. Saya adalah asisten sekaligus tangan kanan Tuan Dakasa,” tutur Rino memperkenalkan diri.‘Oh, jadi dia tangan kanan Tuan Dakasa? Tapi kenapa dia begitu sopan kepadaku, apalagi dia memanggilku Nyonya Dakasa?’ batin Lavira tidak paham.“Tuan Rino kenapa harus berucap sopan seperti itu kepadanya? Dia tidak pantas diperlakukan seperti itu. Dia kan hanya penebus hutang,” papar Feria nampak tidak suka melihat Rino berbicara begitu lembut dan sopan kepada Lavira. Sedangkan saat bersamanya selama ini, Rino bahkan tidak pernah menanggapi kalimat Feria.“Mari, Nyonya. Saya antar ke sekolah,” Rino bersuara kembali menghiraukan kalimat Feria. Jelas saja hal
“Hai, Lavira.” Suara seseorang mengalihkan perhatian Lavira dari makannya. Gadis itu menatap Joana dan Kili dengan pandangan waspada. Lavira bisa menebak apa yang akan terjadi kepada dirinya setelah ini.Jelas dari tatapan dan senyum jahat yang terlihat di wajah dua gadis itu. Lavira hanya bisa pasrah dengan nasibnya hari ini. Tidak lepas dari satu hari pun bagi Lavira yang selalu mendapat perlakuan buruk dari Joana dan satu temannya itu.“Wah, apa menu makan siangmu kali ini? Masih tidak berubah, ya. Apa kau tidak bosan?” Kili bersuara sambil menatap jijik ke arah dua potong roti tawar di atas meja itu.“Heh, namanya juga gembel. Bosan tidak bosa, ya harus dimakan supaya tidak mati.” Joana menyahut kalimat Kili sambil tertawa mengejek. Kili ikut tertawa mendengar kalimat Joana. Begitu pula dengan beberapa murid lain yang mendengar perkataan Joana.Lavira hanya dia, gadis itu memang tidak pernah membantah. Seperti apapun orang-orang menghina dan mencaci makinya. Lavira akan tetap dia
“Lebam ini kenapa?” tanya Avram dengan suara dinginnya. “O-oh, i-ini karena ada kejadian di sekolah,” cicit Lavira.Avram masih menatap wajah Lavira dengan pandangan intens. Hal itu membuat Lavira merasa begitu gugup dan kehilangan akal. Bukannya semakin menjauhkan, Avram malah semakin mendekatkan wajahnya kepada Lavira.Lavira menahan napas saat jarak antara wajahnya dengan wajah Avram hanya sekitar tiga senti meter. Bahkan Lavira bisa merasakan hembusan napas hangat Avram menyapu kulit wajahnya. Detak jantung Lavira semakin berlomba di dalam sana.Cup … deg ….Lavira terdiam kaku dengan napas tercekat saat Avram mendaratkan bibirnya tepat di ujung bibir gadis itu. Ujung bibir Lavira yang masih mengeluarkan darah karena tamparan Joana dan Kili tadi di sekolah. Entah apa yang dipikirkan Avram sampai melakukan hal itu kepadanya.Ternyata tidak sampai di sana. Mata Lavira melotot saat gadis itu merasa lidah hangat Avram sedang bergerak di ujung bibirnya. Laki-laki itu seakan sedang men
“Shh ….” Lavira meringis saat Avram memberikan salep pada sudut bibirnya. Laki-laki itu tadi juga sempat mengompres pipi lebam Lavira dengan es batu.Avram menatap wajah Lavira yang saat ini sedang memejamkan matanya seakan menahan sakit. Secara perlahan tangan besar Avram terangkat mengusap salep pada sudut bibir Lavira. Merasakan sentuhan Avram, Lavira membuka matanya dan terkejut saat melihat Avram ternyata sedang menatap intens ke arahnya.Tring … Tring … Tring …Suara telepon genggam Avram memecahkan keheningan di antara sepasang suami istri itu. Avram menarik tangannya dan meraih benda pintar yang saat ini sedang berteriak di dalam saku celananya. “Hem,” deham Avram menjawab panggilan telepon dari Rino.“Kami sudah bersiap, Tuan,” tutur Rino di seberang telepon.Avram tidak menyahut kalimat Rino. Laki-laki itu malah menoleh dan menatap wajah cantik Lavira. Lavira terkejut saat dengan tiba-tiba Avram malah menatap ke arahnya.“Besok,” sahut Avram.“Maaf, Tuan?” tanya Rino tidak m
“Tidur di sini.”Kalimat itu sukses membuat Lavira tertegun di tempat. Matanya membulat, kepalanya perlahan mendongak dan menatap Avram yang sudah sempat menutup mata. Pria itu kembali membuka matanya saat merasakan kepala Lavira bergerak di atas dada bidangnya. Dua pasang mata itu saling tatap hanya beberapa detik, sampai detik berikutnya Lavira mengalihkan wajah.“S-saya cukup berat, Tuan. Nanti Tuan sesak napas karena saya tidur di sini,” cicit Lavira.‘Berat katanya? Bahkan aku tidak merasakan apa pun sekarang. Badan kurus seperti ini mengaku berat?’ batin Avram heran.“Tidak berat, tidur saja,” tutur Avram dengan suara dinginnya.Lavira tak mampu lagi membantah. Seakan sudah menjadi kodratnya seorang Lavira, dia begitu patuh. Bahkan mungkin jika disuruh oleh orang lain untuk melompat dari gedung tinggi, b
Pagi nan cerah itu dinyanyikan oleh kicauan burung-burung. Entah karena terlalu nyaman atau kenapa. Lavira yang biasa terbangun di pagi hari, sekarang nampak masih terlelap nyaman. Dengan tidak sadar di dalam tidurnya, gadis kecil itu saat ini sudah berada di atas tubuh Avram.Entah sejak kepan posisi itu terjadi. Lavira malah terlihat sangat nyenyak dan nyaman di dalam tidurnya. Avram, laki-laki dingin nan misterius itu mulai terusik saat segaris cahaya yang menyelinap dari balik gorden menyapa sebelah matanya. Pria itu masih memejamkan mata, sambil berniat menggelian, tetapi tertahan sesuatu di atas tubuhnya.“Kenapa berat?” gumamnya terdengar serak.Perlahan sepasang kelopak mata Avram mulai terbuka. Beberapa detik, pria tampan itu terdiam di tempatnya. Pemandangan pertama yang dia lihat adalah kepala hitam seseorang yang menghalangi pemandangannya. Avram menggosok pelan kedua matanya dan kembali menatap apa yang berada di atas tubuhnya saat ini.“Ini ....”Beberapa detik terdiam d
Beberapa menit di dalam kamar mandi, Lavira lebih sering melamun. Gadis kecil itu masih memikirkan kejadian beberapa menit yang lalu. Dia terus mengusap wajahnya merasa malu sekaligus takut.“Bagaimana bisa aku berada di atas tubuhnya? Padahal tadi malam aku sudah turun? Ya ampn, ini akibat kalau tidur terlalu lasak. Bagaimana sekarang? Kalau Tuan Dakasa marah bagaimana? Aku bisa dikubur hidup-hidup,” celoteh Lavira malu dan takut.Perempuan itu menarik napas dalam sambil menatap kakinya yan masih berdenyut. Sepertinya hari ini dia akan kesulitan berjalan. Entah keseleo atau sekadar sakit biasa saja. Lavira tidak tahu dan dia tak bisa memperbaiki kakinya sendiri yang sakit.“Ini tidak akan membengkak ‘kan?” gumam Lavira lagi.Beberapa menit berlalu, tanpa sadar Lavira menghabiskan cukup banyak waktu di dalam kamar mandi tersebut. Dia melangkah dan melotot saat tidak menemukan selembar handuk pun di sana. Perempuan polos itu menutup mulutnya dengan kedua tangan saat mengingat jika diri
Tok ... tok ....Avram kembali mengetuk pintu kamar mandi itu. Setelah usaha Lavira hampir setengah jam berdeham tidak jelas. Akhirnya pria itu paham dan mengambilkan handuk untuk gadis manis tersebut. Mungkin sekarang Lavira sudah kedinginan di dalam sana, sebab tubuhnya masih menggunakan baju basah.“Buka,” titah Avram datar.Cklek ....Mendengar suara pintu itu dibuka. Avram langsung mengalihkan wajahnya, tetapi tangannya masih mengulurkan handuk ke arah pintu. Dia berdeham kecil bak orang bodoh, begitu berusaha untuk tidak melihat lekuk tubuh Lavira. Entah kenapa, padahal Lavira adalah istri dan hal itu sudah halal untuk dia tatap.Lavira sendiri meringi saat melihat sosok bertubuh kekar itu berdiri sambil menyodorkan handuk kepadanya. Perempuan itu mengangkat tangan dan meraih handuk tersebut. Dia bingung harus mengucapkan terima kasih seperti apa, sebab Avram masih melarangnya untuk bersuara.“Hemmm,” deham Lavira tidak harus harus bagaimana.“Hem,” deham Avram singkat saat meng