“Hai, Lavira.” Suara seseorang mengalihkan perhatian Lavira dari makannya. Gadis itu menatap Joana dan Kili dengan pandangan waspada. Lavira bisa menebak apa yang akan terjadi kepada dirinya setelah ini.
Jelas dari tatapan dan senyum jahat yang terlihat di wajah dua gadis itu. Lavira hanya bisa pasrah dengan nasibnya hari ini. Tidak lepas dari satu hari pun bagi Lavira yang selalu mendapat perlakuan buruk dari Joana dan satu temannya itu.“Wah, apa menu makan siangmu kali ini? Masih tidak berubah, ya. Apa kau tidak bosan?” Kili bersuara sambil menatap jijik ke arah dua potong roti tawar di atas meja itu.“Heh, namanya juga gembel. Bosan tidak bosa, ya harus dimakan supaya tidak mati.” Joana menyahut kalimat Kili sambil tertawa mengejek. Kili ikut tertawa mendengar kalimat Joana. Begitu pula dengan beberapa murid lain yang mendengar perkataan Joana.Lavira hanya dia, gadis itu memang tidak pernah membantah. Seperti apapun orang-orang menghina dan mencaci makinya. Lavira akan tetap diam, bahkan saat dia mendapatkan kekeran fisik. Bodoh? Yah, Lavira memang bodoh dan gadis itu pun mengakuinya sebab dia tidak punya keberanian.“Maaf, Jo. Aku harus kembali ke kelas.” Lavira bersuara sambil berdiri dari duduknya. Gadis itu berusaha menghindar dari masalah yang mungkin nanti tidak akan bisa dia cegah lagi.“Kau mengabaikan kami? Sudah berani sekali kau. Tidak sopan juga lagi, kami ke sini sengaja untuk menyapamu. Tapi kau malah pergi? Tidak punya adab,” cela Joana sinis.“Mungkin pengajaran kita selama ini masih kurang bagus. Dia perlu dikeraskan lagi,” balas Kili.“Hemm, sepertinya begitu. Baiklah, ini aku lakukan karena kau yang meminta.” Joana berucap sambil menyeringai licik ke arah Lavira.Lavira nampak memucat takut. Gadis itu tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Joana dan Kili kali ini. Namun, dia seakan tidak bisa kabur karena rasa takutnya lebih mendominasi.Plak …Wajah Lavira tertoleh saat merasakan pipi kirinya ditampar keras oleh tangan Joana. Tidak sampai di sana, Kili mulai menarik rambut Lavira secara kasar. Tidak lama kemudian Kili ikut menampar pipi kiri Lavira.Plak … bruk ….Kali ini tamparan itu mampu membuat Lavira terjatuh ke atas lantai dingin kantin sekolah. Gadis itu meringis menahan sakit di pipi kirinya. Sudut bibir Lavira sedikit robek sehingga mengeluarkan darah.Murid perempuan lain bukannya membantu. Mereka malah menertawakan nasib malang Lavira. “Itulah, memangnya enak jadi cantik. Jadi dimusuhi seluruh murid satu sekolah kan?” tutur seorang murid.“Benar, rasakan. Aku juga kesal kepadanya. Seluruh laki-laki incaranku malah menolakku demi dia. Menyebalkan,” sahut satu siswi.*****Siara menatap Lavira dengan pandangan penasaran. “Ada apa dengan wajahmu? Apa kau menjadi siswi nakal di sekolah? Berkali dengan teman untuk memperebutkan laki-laki? Heh, anak jaman sekarang benar-benar,” tutur Siara sinis.Lavira hanya diam, gadis itu masih terus mempersiapkan makan malam di atas meja luas itu. Sampai suara berat seseorang membuat rasa takut Lavira kembali hadir. Dia beruntung tadi pagi Rino membantunya terlepas dari jeratan Fero, sang laki-laki mesum itu.“Hai, cantik. Kamu pandai sekali memasak ternyata. Tadi pagi aku memakan seluruh masakan yang kamu masak, dan itu sangat enak.” Fero berucap sambil merangkul pinggang Lavira, terlihat begitu mengerikan.Lavira nampak risih, gadis itu berusaha untuk melepaskan diri dari rangkulan tangan Fero. “Maaf, Tuan. Tolong singkirkan tangan Anda,” ucap Lavira berusaha melepaskan diri.“Fero, jaga tingkahmu,” tegur Siara nampak ikut kesal.Namun, Fero nampak tidak menghiraukan kalimat Lavira maupun Siara. Laki-laki itu masih merangkul pinggang Lavira. Bahkan Fero berusaha mendekatkan wajahnya kepada wajah cantik Lavira.“Bagaimana kalau malam ini kau tidur denganku?” bisik Fero terdengar begitu mengerikan di telinga Lavira.Plak ….“Shhh … apa sih, Ma?” Fero meringis saat kepala belakangnya baru saja menjadi korban pukulan dari sendok nasi. Siara baru saja memukul kepala belakang Fero menggunakan sebuah sendok nasi. Aksi itu sukses membuat Fero melepaskan rangkulannya pada pinggang Lavira.“Kau, pergilah dari sini,” ucap Siara kepada Lavira.“Baik, Nyonya.” Lavira menyahut, kemudian gadis itu bergegas pergi dari sana. Lavira merasa begitu ngeri dan takut harus berdekatan dengan laki-laki mesum seperti Fero.“Kenapa Mama suruh dia pergi?” protes Fero.“Kau harus berapa kali aku katakan? Jangan asal bertindak, biasanya juga kau mencari kesenangan di luar sana. Tidak usah mengganggu perempuan itu. Jangan mencari masalah, Fero,” tegas Siara.“Ck, lagipula si monster itu pasti tidak menghiraukan istrinya. Lebih baik untukku saja, cantik seperti itu.” Fero berucap malah sambil menarik kursi dan duduk di atas kursi itu dengan gerakan malas.*****“Shhh … masih bengkak dan perih. Mana masih cukup terlihat lebamnya. Aku cuci muka pelan-pelan saja,” gumam Lavira.Gadis itu saat ini sedang berada di kamar mandi berniat mencuci wajah sebelum tidur. Pipi kirinya masih terlihat bengkak dan lebam. Bekas dari tamparan Joana dan Kili saat di sekolah tadi.Merasa cukup dengan kegiatan mencuci mukanya. Lavira mulai bergerak ke arah pintu berniat keluar dari kamar mandi. Tepat saat pintu terbuka, Lavira terlonjak terkejut saat melihat keberadaan Avram berdiri tepat di depan pintu kamar mandi.“Astaga … aaa.” Lavira kehilangan keseimbangan karena terlalu terkejut. Gadis itu hampir terjatuh jika saja Avram tidak segera menahan tubuhnya. Lavira membuka matanya yang sempat dia pejamkan karena bersiap untuk terjatuh.Glek …Lavira menelan air liurnya susah payah saat melihat mata tajam Avram menatap wajahnya intens. Secara perlahan, gadis itu menegakkan tubuhnya mulai menjauh dari Avram. Lavira kembali menunduk dengan wajah panasnya.“Ma-maaf, Tuan,” cicit Lavira begitu pelan.Avram masih diam dengan pandangan tidak lepas dari wajah Lavira. Mengetahui itu, Lavira semakin dibuat ketar-ketir di tempatnya. Gadis itu masih menundukkan wajahnya tidak berani mengangkat kepala.Tap … tap …Napas Lavira tercekat saat matanya menangkap sepasang kaki Avram mulai mendekat ke arahnya. Gadis itu memundurkan langkahnya masih dengan kepalanya tertunduk. Jantung gadis itu saat ini sudah berdemo di dalam sana.‘Kenapa dia semakin mendekat ke sini?’ jerit Lavira di dalam hati.Bruk ….Punggung Lavira bertabrakan dengan dinding dingin di belakangnya. Dengan hal itu malah menambah rasa waspada pada diri gadis itu. Lavira tidak bisa lagi menghindar dari Avram yang saat ini sudah berdiri tepat dihadapannya.Avram mengangkat tangannya dan menarik dagu Lavira. Setelahnya laki-laki itu mengangkat dagu Lavira untuk menatap ke arahnya. Lavira patuh, saat ini gadis itu sudah mendongak menatap Avram yang juga sedang menatapnya.“Ada apa dengan wajah ini?’ cetus Avram dengan suara datarnya.Lavira nampak bingung dengan kalimat laki-laki itu. “Ma-maaf, Tuan?” tanya Lavira tidak paham.“Lebam ini kenapa?” tanya Avram dengan suara dinginnya. “O-oh, i-ini karena ada kejadian di sekolah,” cicit Lavira.Avram masih menatap wajah Lavira dengan pandangan intens. Hal itu membuat Lavira merasa begitu gugup dan kehilangan akal. Bukannya semakin menjauhkan, Avram malah semakin mendekatkan wajahnya kepada Lavira.Lavira menahan napas saat jarak antara wajahnya dengan wajah Avram hanya sekitar tiga senti meter. Bahkan Lavira bisa merasakan hembusan napas hangat Avram menyapu kulit wajahnya. Detak jantung Lavira semakin berlomba di dalam sana.Cup … deg ….Lavira terdiam kaku dengan napas tercekat saat Avram mendaratkan bibirnya tepat di ujung bibir gadis itu. Ujung bibir Lavira yang masih mengeluarkan darah karena tamparan Joana dan Kili tadi di sekolah. Entah apa yang dipikirkan Avram sampai melakukan hal itu kepadanya.Ternyata tidak sampai di sana. Mata Lavira melotot saat gadis itu merasa lidah hangat Avram sedang bergerak di ujung bibirnya. Laki-laki itu seakan sedang men
“Shh ….” Lavira meringis saat Avram memberikan salep pada sudut bibirnya. Laki-laki itu tadi juga sempat mengompres pipi lebam Lavira dengan es batu.Avram menatap wajah Lavira yang saat ini sedang memejamkan matanya seakan menahan sakit. Secara perlahan tangan besar Avram terangkat mengusap salep pada sudut bibir Lavira. Merasakan sentuhan Avram, Lavira membuka matanya dan terkejut saat melihat Avram ternyata sedang menatap intens ke arahnya.Tring … Tring … Tring …Suara telepon genggam Avram memecahkan keheningan di antara sepasang suami istri itu. Avram menarik tangannya dan meraih benda pintar yang saat ini sedang berteriak di dalam saku celananya. “Hem,” deham Avram menjawab panggilan telepon dari Rino.“Kami sudah bersiap, Tuan,” tutur Rino di seberang telepon.Avram tidak menyahut kalimat Rino. Laki-laki itu malah menoleh dan menatap wajah cantik Lavira. Lavira terkejut saat dengan tiba-tiba Avram malah menatap ke arahnya.“Besok,” sahut Avram.“Maaf, Tuan?” tanya Rino tidak m
“Tidur di sini.”Kalimat itu sukses membuat Lavira tertegun di tempat. Matanya membulat, kepalanya perlahan mendongak dan menatap Avram yang sudah sempat menutup mata. Pria itu kembali membuka matanya saat merasakan kepala Lavira bergerak di atas dada bidangnya. Dua pasang mata itu saling tatap hanya beberapa detik, sampai detik berikutnya Lavira mengalihkan wajah.“S-saya cukup berat, Tuan. Nanti Tuan sesak napas karena saya tidur di sini,” cicit Lavira.‘Berat katanya? Bahkan aku tidak merasakan apa pun sekarang. Badan kurus seperti ini mengaku berat?’ batin Avram heran.“Tidak berat, tidur saja,” tutur Avram dengan suara dinginnya.Lavira tak mampu lagi membantah. Seakan sudah menjadi kodratnya seorang Lavira, dia begitu patuh. Bahkan mungkin jika disuruh oleh orang lain untuk melompat dari gedung tinggi, b
Pagi nan cerah itu dinyanyikan oleh kicauan burung-burung. Entah karena terlalu nyaman atau kenapa. Lavira yang biasa terbangun di pagi hari, sekarang nampak masih terlelap nyaman. Dengan tidak sadar di dalam tidurnya, gadis kecil itu saat ini sudah berada di atas tubuh Avram.Entah sejak kepan posisi itu terjadi. Lavira malah terlihat sangat nyenyak dan nyaman di dalam tidurnya. Avram, laki-laki dingin nan misterius itu mulai terusik saat segaris cahaya yang menyelinap dari balik gorden menyapa sebelah matanya. Pria itu masih memejamkan mata, sambil berniat menggelian, tetapi tertahan sesuatu di atas tubuhnya.“Kenapa berat?” gumamnya terdengar serak.Perlahan sepasang kelopak mata Avram mulai terbuka. Beberapa detik, pria tampan itu terdiam di tempatnya. Pemandangan pertama yang dia lihat adalah kepala hitam seseorang yang menghalangi pemandangannya. Avram menggosok pelan kedua matanya dan kembali menatap apa yang berada di atas tubuhnya saat ini.“Ini ....”Beberapa detik terdiam d
Beberapa menit di dalam kamar mandi, Lavira lebih sering melamun. Gadis kecil itu masih memikirkan kejadian beberapa menit yang lalu. Dia terus mengusap wajahnya merasa malu sekaligus takut.“Bagaimana bisa aku berada di atas tubuhnya? Padahal tadi malam aku sudah turun? Ya ampn, ini akibat kalau tidur terlalu lasak. Bagaimana sekarang? Kalau Tuan Dakasa marah bagaimana? Aku bisa dikubur hidup-hidup,” celoteh Lavira malu dan takut.Perempuan itu menarik napas dalam sambil menatap kakinya yan masih berdenyut. Sepertinya hari ini dia akan kesulitan berjalan. Entah keseleo atau sekadar sakit biasa saja. Lavira tidak tahu dan dia tak bisa memperbaiki kakinya sendiri yang sakit.“Ini tidak akan membengkak ‘kan?” gumam Lavira lagi.Beberapa menit berlalu, tanpa sadar Lavira menghabiskan cukup banyak waktu di dalam kamar mandi tersebut. Dia melangkah dan melotot saat tidak menemukan selembar handuk pun di sana. Perempuan polos itu menutup mulutnya dengan kedua tangan saat mengingat jika diri
Tok ... tok ....Avram kembali mengetuk pintu kamar mandi itu. Setelah usaha Lavira hampir setengah jam berdeham tidak jelas. Akhirnya pria itu paham dan mengambilkan handuk untuk gadis manis tersebut. Mungkin sekarang Lavira sudah kedinginan di dalam sana, sebab tubuhnya masih menggunakan baju basah.“Buka,” titah Avram datar.Cklek ....Mendengar suara pintu itu dibuka. Avram langsung mengalihkan wajahnya, tetapi tangannya masih mengulurkan handuk ke arah pintu. Dia berdeham kecil bak orang bodoh, begitu berusaha untuk tidak melihat lekuk tubuh Lavira. Entah kenapa, padahal Lavira adalah istri dan hal itu sudah halal untuk dia tatap.Lavira sendiri meringi saat melihat sosok bertubuh kekar itu berdiri sambil menyodorkan handuk kepadanya. Perempuan itu mengangkat tangan dan meraih handuk tersebut. Dia bingung harus mengucapkan terima kasih seperti apa, sebab Avram masih melarangnya untuk bersuara.“Hemmm,” deham Lavira tidak harus harus bagaimana.“Hem,” deham Avram singkat saat meng
Prang ....Lavira terlonjak saat dengan tiba-tiba sebuah piring melayang hampir mengenai wajahnya. Tubuh gadis itu bergetar ketakutan dengan kepala menunduk tak berani mengangkat pandangan. Masih seperti biasanya, Lavira begitu takut untuk sekadar menatap orang yang sedang marah dan membencinya.“Apa-apaan ini? Apa kau ingin memberi kami makanan seperti yang kau makan selama ini, gembel! Tidak bermutu dan kampungan!” teriak Feria kepada Lavira.Lavira diam, tubuhnya bergetar takut. Bahkan untuk sekadar bersuara pun dia tidak berani. Jari-jari tangannya saling bertautan dengan keringat dingin mulai bercucuran. Hal biasa saat dia menerima amarah dari orang lain. Sedari dulu dia juga akan seperti itu di saat ayah atau mungkin keluarga tirinya murka.“Kenapa kau diam, hah!” pekik Feria menyambung amarahnya.Untuk kedua kalinya Lavira terlonjak mendengar teriakan kemurkaan itu. “M-maaf, Nona. Saya tidak tahu jika Anda tidak menyukai menu itu. A-akan saya ganti dengan yang baru, An-da ingin
Avram menggeram tertahan, entah kenapa dia merasa marah dan tidak suka melihat keadaan Lavira yang seperti itu. Pipinya kembali membengkak bahkan sampai ke mata. Sudut bibir perempuan itu juga sobek dan mengeluarkan darah. Avram tidak tahu saja jika saat ini paha Lavira sudah menghijau karena tendangan dan injakan Feria tadi.“Ambilkan obat dan urus mereka,” desis Avram.“Baik, Tuan. Itu, ekhm ... tolong Anda cek juga bagian paha kiri Nyonya, Tuan,” ucap Rino sedikit ragu melontarkan kata paha pada kalimatnya.Avram menoleh dan menatap Rino dengan mata tajam itu. “Apa saja yang mereka lakukan?” tanya Avram menahan geraman.“Untuk paha, ekhm, Nona Feria tadi sempat menendang dan menginjaknya, Tuan. Mungkin Anda butuh rekaman CCTV, bisa saya kirimkan,” jawab Rino.“S-saya tidak apa-apa, Tuan,” cicit Lavira takut jika dirinya memberikan masalah antara keluarga Avram. Avram menoleh dan menatap Lavira dengan wajah dinginnya.“Tidak apa-apa? Seperti ini kau bilang tidak apa-apa?” Avram meny